Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Atas Nama 'Bisikan Tuhan'

Ratusan anggota jemaat menjual harta benda, lalu bergabung dengan Mangapin Sibuea. Ada motif ekonomi di balik Sekte Gereja Kiamat?

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Panjaitan bermuram durja. Setahun lalu, ia masih punya uang, gelang, kalung, dan cincin emas. Kini, tak satu pun barang berharga itu ada di tangan. Tidak juga uang, walau cuma sesen saja. Ludes. Semua hartanya telah dijual murah. Hasilnya telah pula disetor kepada pengurus "Gereja Hari Kiamat" pimpinan Pendeta Mangapin Sibuea, 59 tahun, yang bikin heboh dua pekan lalu itu. Sang Nyonya percaya betul dengan ramalan sang Pendeta: kiamat akan datang 10 November 2003. Kisah perempuan berusia 49 tahun ini bermula pada akhir tahun lalu. Saat itu, dari Medan, Sumatera Utara, bersama belasan orang lainnya, ia ikut meluncur ke Pulau Jawa. Ia tiba di sebuah gedung di Bale Endah, Bandung, Jawa Barat, masuk ke bangunan yang dinamai para pengikut sekte itu dengan sebutan Pondok Nabi. Dan Mangapin Sibuea? Ia disebut Rasul Paulus Kedua. Rasul Paulus adalah tokoh sentral dalam penyebaran ajaran Yesus bagi umat Kristiani pada masa-masa awal sejarah gereja (Lihat boks, Kisah Sibuea Mencari Kiamat). Sibuea membius mereka dengan janji muluk. Siapa saja yang datang ke pondok ini, begitu katanya, adalah orang-orang pilihan yang akan diangkat ke surga sebelum kiamat datang membunuh bumi. Setelah beberapa pekan di situ, Nyonya Panjaitan menyetor semua uang hasil penjualan harta bendanya kepada pengurus gereja. Hebatnya, semua itu dilakukan dengan tulus ikhlas, tanpa tekanan. Sang Nyonya merasa sangat bahagia. Mangapin membisikinya sebagai orang yang dipilih Tuhan secara khusus untuk diangkat ke surga. Kiamat? Jelas tidak. Ramalan Sibuea meleset-toh, ia masih berdalih bahwa saatnya kiamat mundur dan terjadi tahun 2007. Sesudah kiamat tak datang, Nyonya Panjaitan merasa sebagai orang yang bernasib sial. Tuhan tak bertemu, harta benda tak bersisa pula. "Semua harta saya sudah dijual, ternyata Pendeta Sibuea bohong," tuturnya sembari mengusap butiran air matanya yang terus menetes. Nyonya Panjaitan cuma satu dari 300 anggota jemaat yang menjual harta bendanya demi mengikuti bujukan Pendeta Mangapin Sibuea. Hebatnya, hampir semua pengikut sekte kiamat itu menyerahkan uang dan harta bendanya karena percaya dengan ramalan sang Pendeta soal hari kiamat tersebut. Jumlah setoran tidak dipatok alias sukarela. Pokoknya, "tergantung bisikan Tuhan", begitu istilah populer dalam kelompok ini saat ditanya soal besar-kecilnya setoran. Ada pula yang akhirnya jadi kere. Dengarlah kisah Nyonya Ferdi dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tahun lalu, ia mengikut kebaktian rohani yang digelar sekte ini di sebuah tempat di Kota Kupang. Batinnya bergetar mendengar khotbah Pendeta Sibuea, yang terus-terusan bicara soal hari kiamat. Entah kenapa, ia amat yakin dengan ramalan pendeta itu. Itu sebabnya ia datang ke Bandung awal tahun ini. Nyonya Ferdi tak sekadar beriman soal hari kiamat. Ia juga dengan riang gembira mengikuti semua aturan sekte itu, dari soal puasa hingga kewajiban memberi uang dan harta benda itu. Ia menyetor uang Rp 15 juta kepada pengurus gereja. "Uang itu akan digunakan untuk membiayai acara penyegaran rohani ke Jakarta," tutur Nyonya Ferdi, menirukan ucapan pendeta panutannya, kepada TEMPO. Acara penyegaran rohani tak pernah terlaksana. Polisi keburu membubarkan sekte ini dua pekan lalu. Semua anggota jemaatnya dievakuasi. Dan beberapa pengurus yang disebut rasul dalam gereja ini dibawa ke muka hukum. Mereka disangka melanggar Pasal 156 KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama-yang diancam hukuman lima tahun penjara. Mangapin Sibuea sudah lebih dulu dibekuk polisi. Ia ditangkap Oktober lalu. Kasusnya mulai disidangkan di Pengadilan Bandung, Senin dua pekan lalu. Selain uang tunai, Nyonya Ferdi juga menyerahkan semua perhiasannya, yang nilai nominalnya sekitar Rp 23 juta. Dan saat-saat terakhir sebelum hari kiamat itu tiba, ia juga masih sempat menyerahkan enam buah jam tangan, yang harganya jutaan. Kini, setelah kiamat itu cuma ilusi, Nyonya Ferdi menyesal bukan kepalang. Penyesalan yang sama juga tertanam di benak Nyonya Samosir, seorang ibu rumah tangga yang juga menetap di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebelum hari "kiamat" itu, ia juga turut menyetor sejumlah uang dan perhiasan kepada pengurus gereja. Setelah kiamat tak datang, para pengikut Sibuea terbelah dua. Ada yang masih sepenuh hati percaya, ada pula yang kecewa berat. Mereka yang kecewa itulah yang membuka habis borok sekte ini, mulai dari soal ajarannya hingga soal pungutan dan sumbangan yang harus diberikan kepada pengurus gereja itu. Mereka kini menuntut agar harta dan uang itu dikembalikan lagi melalui para pendeta di Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI). Ada yang menduga, motif ekonomi lebih kental dalam sekte itu ketimbang ajaran agama. Cuma, hingga kini semua dugaan itu ditelisik oleh polisi, juga oleh kalangan gereja sendiri. Tim Crisis Center Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) se-Jawa Barat, misalnya, sedang tekun-tekunnya menelisik keuangan sekte ini. "Kami sedang menginvestigasi jumlah dan kegunaan pengumpulan dana-dana itu," kata Simon Timorason, ketua forum itu, kepada TEMPO. Dari beberapa anggota jemaat, didapat informasi menarik. Duit setoran itu digunakan untuk menyokong kebutuhan makan-minum para jemaat selama berada di Bale Endah itu. Sebagian lagi dipakai membayar sewa listrik dan peralatan sembahyang. Kepada Simon, beberapa anggota jemaat itu menuturkan bahwa uang juga dipakai untuk keperluan makan sehari-hari seperti membeli beras, ikan, dan lauk-pauk lainnya. Besarnya sekitar Rp 7 juta hingga Rp 11 juta setiap bulannya. Pengeluaran itu untuk makan-minum 283 orang. Mereka bisa berhemat karena semuanya serba masak sendiri. Dari pengamatan TEMPO, Pondok Nabi itu memang lebih menyerupai sebuah tempat pengungsian ketimbang sebuah gereja biasa. Selain tempat tidur dan tempat kebaktian, di situ juga terdapat dapur umum yang terus-menerus mengepul siang dan malam. Para anggota jemaat dilarang makan di luar. Tadinya, makan tersedia tiga kali sehari: pagi, siang, dan malam. Tapi, sepekan sebelum tanggal 10 November 2003, yang mereka yakini sebagai "kiamat", jatah makan itu mulai dikurangi. Puasa lahir-batin, begitu perintah para rasul gereja itu. Seorang ibu yang sedang hamil berkisah, diam-diam ia makan sebanyak-banyaknya dan minum sepuas-puasnya. "Itu untuk menjaga janin saya," ujarnya. Mangapin Sibuea sendiri membantah bahwa pihaknya menarik biaya atau harta benda dari para jemaatnya. Sumbangan berdasarkan bisikan Tuhan, katanya, enteng. Besarnya? "Ada yang setor satu juta rupiah, lima juta, dan paling tinggi sepuluh juta rupiah," kata Mangapin kepada TEMPO. Dana digunakan untuk keperluan sehari-hari dan tidak ditumpuk untuk kepentingan pengurus gereja. Pokoknya, "Uang datang, langsung habis," ujar Mangapin, penuh percaya diri. "Semuanya saya lakukan dengan tulus ikhlas," kata Antonius Kadmerun, jemaat asal Sorong, Papua. Ia tak peduli, walau kini tak punya apa-apa lagi. Wenseslaus Manggut, Dwi Wiyana, Upik Supriyatun, dan Bobby Gunawan (Bandung)
Peta Sebaran Sekte Kiamat SEJAK berdiri tahun 1999 lalu, "Sekte Gereja Kiamat" sudah menyebar ke sejumlah kota di seluruh Indonesia. Mangapin-pendeta sekte tersebut yang kini jadi tersangka kasus penodaan agama-bilang bahwa para pengikutnya itu mendengar bisikan yang sama soal hari kiamat. Tapi, menurut Christman Hutabarat, anggota Majelis Gereja Provinsi Jawa Barat-orang-orang itu bergabung karena Mangapin dan para rasulnya giat berpromosi ke sejumlah daerah. Dan di sinilah para pengikut Mangapin menyebar. Medan Sumatera Utara Mangapin juga menjala jemaat dari daerah kelahirannya, Sumatera Utara. Cukup banyak jemaat di wilayah ini yang antusias dengan ajaran Mangapin. Yang ikut ke Pondok Nabi menunggu kiamat itu sekitar 13 orang. Batam Riau Jemaat Mangapin juga berasal dari Batam, Riau. Jumlah persisnya tidak diketahui. Bandung Jawa Barat Mangapin Sibuea juga merekrut pengikutnya dari Kota Bandung dan sekitarnya. Jumlahnya belasan orang. Manado Sulawesi Utara Beberapa jemaat berasal dari daerah ini. Tak jelas berapa jumlah persisnya. Ambon Maluku Pendeta Mangapin dan rasulnya pernah datang ke Ambon untuk menjaring pengikut. Dari provinsi itu, sekitar 46 orang ikut menunggu kiamat di Bale Endah, 10 November lalu. Setelah kiamat itu tak datang, ada yang pulang ke Ambon, dan ada pula yang mengikuti tahap pemulihan di Kota Bandung. Sorong Papua Tahun 2001 lalu, Pendeta Mangapin dan sejumlah "rasul"-nya menggelar kebaktian rohani di Kota Sorong. Lebih dari seratus jemaat hadir di situ. Awal tahun 2003, sebelas orang-semuanya dari Papua-datang ke Bale Endah, Bandung, Jawa Barat, setelah menjual semua harta benda mereka. Kupang Nusa Tenggara Timur Pengikut terbesar sekte ini berasal dari sini. Jumlahnya sekitar 162 orang. Mangapin dan para "rasul"-nya pernah menggelar kebaktian rohani besar-besaran di Kota Kupang. Menjelang "kiamat" Senin pekan lalu itu, sekitar 91 orang dari NTT ikut ke Bale Endah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus