GLOBALISASI terbukti memperkaya mereka yang sudah kaya dan memelaratkan yang miskin. Adalah negara-negara kaya di Barat dan Jepang yang nyata-nyata menarik keuntungan dari globalisasi ini. Sehingga, selagi negeri-negeri kaya tumbuh 2,5 persen setahun, fakir miskin di dunia bertambah 100 juta jiwa. Dunia yang kian miskin dan makin tak stabil pun tersulut kerusuhan di mana-mana.
Ekonomi pasar terbukti lebih buruk dari yang diramalkan kaum Marxis-Leninis. Negeri miskin dipaksa membuka pintu buat barang dari negara kaya, sedangkan negara kaya menciptakan 1.001 cara untuk menutup pintu atau membatasi masuknya barang dari negara miskin. Demikian Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi 2001, dalam bukunya, Globalization and Its Discontents (The Penguin Press, 2002).
"Globalisasi"—integrasi berbagai negara dan bangsa dunia—ini terjadi karena anjloknya biaya transpor dan komunikasi, serta ambruknya hambatan yang mengganjal arus barang, jasa, modal, pengetahuan, dan manusia. Seiring dengan globalisasi, beroperasilah lembaga-lembaga baru secara lintas-negara. Di kalangan swadaya masyarakat ada Transparency International yang bergerak di sektor antikorupsi, Human Rights Watch di bidang hak asasi manusia, dan Gerakan Jubilee yang memperjuangkan pembebasan utang bagi negara-negara termiskin di dunia.
Berbagai perusahaan multinasional raksasa dengan gigihnya mendorong globalisasi. Globalisasi sendiri diatur dan dikontrol tiga organisasi yang dikendalikan oleh Amerika Serikat dan Eropa: Bank Dunia (World Bank), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Dana Moneter Internasional (IMF). Adalah IMF yang menjadi sasaran utama kritik Stiglitz.
Dalam sepak-terjangnya, IMF tak mempedulikan nasib ratusan juta fakir miskin di dunia. Dengan berkedok membantu negara-negara miskin, mereka mengutamakan kepentingan AS dan kreditor asing lainnya. Mereka menjebloskan ekonomi yang sedang sakit menjadi sakit keras, dan akhirnya koma. IMF hanya bersedia membantu ekonomi yang sedang terpuruk—tapi dengan syarat sedia menjalankan kebijakan ideologi fundamentalisme pasar. Ini berarti: membikin pasar modal, membuka pintu selebar mungkin bagi lalu-lintas barang, jasa, dan modal. Peran pemerintah dalam ekonomi diperkecil, antara lain dengan swastanisasi perusahaan negara.
Stiglitz menulis, dampak perbuatan IMF di negara berkembang begitu destruktifnya hingga menjadi bencana. Di Jawa orang biasa mengukur waktu terjadinya peristiwa dahsyat dengan "sebelum banjir Solo" atau "sesudah Galunggung meletus". Sekarang mereka bicara tentang "sebelum IMF" dan "sesudah IMF". Dan "sesudah IMF", malapetakalah yang terjadi.
Selagi ada terpaan krisis moneter, IMF mendesak agar subsidi pangan dan minyak tanah di Indonesia dicabut—padahal inilah bahan bakar kaum miskin. Negeri sedang mengalami resesi, tapi tidak diberi injeksi dana guna menggalakkan roda ekonomi, malah disuruh mengetatkan ikat pinggang. Suku bunga didongkrak (di Indonesia sampai 60 persen), dengan harapan dapat menarik masuk modal dari luar. Akibatnya, seperti diduga sebelumnya: pabrik dan perusahaan dalam negeri ramai-ramai gulung tikar, dan timbul pemecatan massal di mana-mana.
Pengangguran di Indonesia pun melonjak 10 kali lipat. Hampir 15 persen pekerja (1997) kehilangan sumber nafkahnya setahun kemudian, atau gaji dan penghasilannya melorot. Produk bruto domestik (PDB) merosot 13,1 persen pada 1998. Yang kehilangan pekerjaannya menjadi miskin, yang miskin beralih melarat. Kebijakan IMF ternyata gagal membantu ekonomi yang melemah. Modal juga tak masuk ke Indonesia. Yang dikejar tak tertangkap, yang korban jatuh terjerembap.
IMF didirikan dengan kesadaran bahwa pasar tidak selalu dapat dipercaya. Pasar sering melemah, permintaan barang merosot, ekonomi tersuruk dalam resesi dan menyengsarakan mereka yang kesempitan. Untuk mengatasinya, John Maynard Keynes, ayah kandung IMF, menginginkan agar pemerintah turun tangan dengan serangkaian kebijakan untuk merangsang ekonomi agar bergiat kembali. Pemerintah harus memperbesar pembelanjaannya, tak usah takut pada defisit. Pajak boleh juga diturunkan, dan suku bunga ditekan. Inilah yang semula menjadi tugas IMF.
Tapi kini IMF justru bertindak sebaliknya: bantuan hanya diberikan bila negara yang sedang mengalami resesi menghentikan kebijakan yang mengakibatkan defisit, menaikkan pajak atau suku bunga. Akibatnya, ekonomi yang lagi terpuruk tidak bangkit, malah terpuruk, dan tak jarang semaput. IMF, menurut Stiglitz, mulai mengingkari amanat yang dititipkan padanya tahun 1980-an. Saat itulah IMF beralih kiblat dari teori Keynes ke ideologi para misionaris fundamentalisme pasar seperti Ronald Reagan dan Margaret Thatcher.
Pada pertemuan G-22 di Kuala Lumpur Desember 1997, Stiglitz memperingatkan Direktur Jenderal IMF Michel Camdessus: pencabutan subsidi pangan dan BBM menimbulkan kerusuhan di negara-negara miskin. Camdessus dengan tenang menjawab, orang yang ingin sembuh harus bersedia menahan sakit. Ia menyebut Meksiko sebagai teladan. Lima bulan kemudian kerusuhan meledak di Jakarta—yang memaksa IMF mundur.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Perusahaan yang pailit karena suku bunga membubung tinggi tidak akan pulih begitu suku bunga diturunkan (kembali). Masyarakat yang tercabik kerusuhan akibat penghentian subsidi pangan ketika perekonomiannya terpuruk tidak akan langsung pulih saat keran subsidi dibuka lagi. Kerusuhan tidak memulihkan kepercayaan masyarakat bisnis. Ia tidak mengundang modal; sebaliknya mengusir modal.
Tuduhan paling tajam pun menimpa IMF: ia mengorbankan nasib rakyat banyak di negara-negara berkembang demi melindungi kreditor asing. Dalam bukunya, Stiglitz bercerita tentang tawaran Jepang sebesar US$ 100 miliar pada 1997 untuk membentuk Dana Moneter Asia (AMF) guna memulihkan kelesuan ekonomi negara-negara berkembang—hal yang seharusnya dijalankan IMF. Tapi Departemen Keuangan AS, satu-satunya anggota IMF yang punya hak veto, melancarkan seribu satu upaya untuk menggagalkannya.
IMF turut menolak karena perannya tak ingin disaingi. Munculnya Jepang, dan mungkin juga Cina sebagai penyumbang penting AMF, juga akan membuat posisi dan suara mereka sama pentingnya. Ini dikhawatirkan bisa menyaingi hegemoni AS.
Kemurahan hati lagi Jepang terulang lagi saat negara ini menawarkan jumlah yang kecil, US$ 30 miliar. Kali ini diterima, tapi sayangnya tidak untuk merangsang ekonomi yang terpuruk, melainkan hanya buat merestrukturisasi perusahaan dan keuangan. Yang tertolong bukan perusahaan atau lembaga keuangan negeri-negeri terpuruk, tapi bank dan kreditor Amerika dan asing lainnya.
Uang bantuan IMF sendiri dipakai untuk stabilisasi nilai tukar mata uang negara yang dilanda krisis. Tetapi stabilisasi nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap dolar AS ini meningkatkan kemampuan perusahaan untuk membayar utang luar negeri. Lagi-lagi, IMF membela kepentingan kreditor asing.
Stiglitz cemas, kalau IMF terus menyelamatkan kreditor asing, mereka akan kian jorok menilai kemampuan debitor membayar utang. Kritik ini ditangkis IMF: kalau tidak diselamatkan, negara tak akan mampu membayar utang—yang mengakibatkan tak ada yang sudi mengutangi lagi. Omong kosong, kata Stiglitz. Rusia, yang mengemplang utangnya besar-besaran pada 1998, masih bisa mengutang lagi pada 2001. Korea, yang mengancam para kreditor dengan "Jadwalkan kembali utang, kalau mau dibayar", juga sukses menarik kredit baru.
Rata-rata analis mengesampingkan Indonesia ketika menilai peluangnya untuk bangkit dari krisis karena negeri ini dianggap didominasi gemuruh politik dan kekalutan sosial. Namun, Stiglitz justru menganggap sebagian penyebabnya adalah kebijakan IMF.
Jadi, kebijakan pengetatan ikat pinggang IMF di Indonesia kebablasan. Ia mematikan dunia usaha. Kebijakan meningkatkan suku bunga dengan harapan dapat menarik modal masuk ke Indonesia gagal total. Modal enggan masuk ke negara rusuh. Penutupan sejumlah bank yang bobrok menimbulkan kecemasan para nasabah yang kemudian beramai-ramai memompa uangnya dari bank dan melarikannya ke luar negeri. Akhirnya, baik para kreditor asing maupun pengusaha dalam negeri sama-sama tak tertolong.
Analis IMF yang datang ke negara miskin dan menginap 10 hari di hotel berbintang lima, lalu mengeluarkan saran yang berdampak pada kehidupan berjuta-juta orang, juga dikecam. Stiglitz membandingkannya dengan perang berteknologi tinggi. Menjatuhkan ribuan bom dari pesawat 50 ribu kaki di atas bumi—seperti yang diperbuat AS atas Irak—membuat sang pilot tak insaf akan neraka yang diciptakannya, akan keluarga yang dihancurkan hidupnya, akan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya.
Nono Anwar Makarim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini