Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mata Dan Pesan Dari Kampung

Lion club kebayoran memamerkan 200 lukisan karya jeihan di wisma metropolitan. karya-karyanya, umumnya menampilkan citra sosok manusia. ada unsur-unsur kesederhanaan, ketentraman, dan spiritualitas.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI lukisan ke lukisan, Anda bertemu dengan citra sosok manusia. Umumnya sendiri. Di sana-sini ada juga yang berdua, bahkan berkelompok. Kebanyakan perempuan atau gadis, ada juga lelaki dan kanak-kanak. Tentu, Anda bertemu pula dengan segelintir citra obyek lain. Kuda, kucing, harimau, perahu dan pantai, bunga. Siapakah mereka, orang-orang dalam lukisan Jeihan? Melihat sikap dan peragat atau atribut -- terutama pakaian -- tampaknya mereka datang dari kehidupan sederhana di kampung. Mereka tampak lugu dan leluasa, akrab. Tidakkah barangkali kesahajaan, keluguan, dan keakraban ini yang dicari para penggemar dan pembeli Jeihan (ia tergolong pelukis laku), yaitu mereka yang hidup dalam lingkungan modern dan canggih di kota besar, dalam lingkungan kostum dan formalitas, lagak dan kosmetik, bisnis dan hubungan lugas? Bukan hanya itu, tentu saja. Jeihan memberi istirahat dan ketenteraman. Ia telah membersihkan orang-orangnya dari kepahitan dan ketegangan . Mereka semua tampak santai: duduk, berbarin, atau sekadar berdiri diam, seenaknya. Blabar, garis batas luar, tubuh mereka meliuk lembut. Wajah tenang, tulus, dan netral. Pandangan mata -- jendela jiwa yang lazimnya memancarkan kepribadian dan dorongan individu, kalau bukan keagresifan -- direndam. Tanpa kecuali, semua mata dalam lukisan Jeihan berupa "lubang gelap" pada muka terang atau bahkan putih rata. Kita tidak bisa yakin adakah obyek di luar yang sedang diamati. Sebaliknya, sosok-sosok itu tampak termenung, "memandang" pikiran atau angan-angan masing-masing. Wajah adalah "pusat" lukisan Jeihan. Ke sana penglihatan kita selalu ditarik. Pada kebanyakan lukisan, "pusat" itu ditempatkan tinggi di bidang gambar, dekat tepi atas. Dengan begini, sosok manusia jadi tampak penting, "ditinggikan", dimuliakan. Tidakkah lukisan Jeihan merupakan pujian kepada manusia, kepada orang-orang sederhana di sekitarnya? Katalog lukisan Jeihan penuh dengan nama-nama orang. Kadang-kadang, wajah itu ditempatkan jauh ke bawah, sehingga latar di belakangnya mendapat tekanan lebih besar dibanding biasanya. Memang, biasanya dalam lukisan Jeihan bidang yang disediakan untuk latar lebih lebar daripada yang diperuntukkan bagi sosok. Latar ini membentuk ruang kosong, memberi kelegaan dan juga kelengangan. Dari sikap berbaring atau duduk sosok kadang dengan dengan atau tangan bertelekan -- kita mahfum bahwa dalam ruang itu tentunya ada obyek yang menahan bobot badan. Obyek-obyek ini kita pahami sebagai ada, tetapi tersirat, tidak terlukis. Sosok-sosok manusia Jeihan bukannya terapung dalam ruang. Dengan cara itu, Jeihan dapat mempertahankan kekosongan latar mempertahankan kelegaan dan kelengangan itu -- sambil menjaga kewajaran dunia yang dilukiskannya bahwa tidak menjadi ajaib. Sekaligus ia mengurangi penggambaran dunia fisik. Tambahkan penyederhanaan bentuk, kurangnya citra massa dan volume, mangkirnya citra sinar dan bayangan, hematnya pemakaian warna, dan beberapa sifat yang sudah disebutkan di muka. Maka, banyaknya pengamat menemukan sifat kerohanian alias spiritualitas dalam karya-karya Jeihan. Di antara karya-karya 1987, terdapat sekelompok yang menarik perhatian, karena memperlihatkan hal baru. Misalnya olesan pisau palet yang lebar, tegas, dan efisien, yang memperlihatkan keyakinan pelukis akan keterampilannya serta menunjukkan kepastian dan kegesitannya bertindak. Kelembutan, kegemulaian, menyingkir. Kepastian, ketegasan, dan ketegaran -- bahkan kegarangan muncul. Sosok menjadi pejal-keras, dan volume tampil. Lihat terutama Bunga Matahari dan Arifah. Sifat baru ini juga tampak pada Petani, Macan Loreng, dan Macan Putih. Jeihan mengambil langkah baru? Dalam rangka Pekan Dana Bakti Sosial 1987, Lions Club Kebayoran memamerkan 200 lukisan cat minyak pada kanvas karya Jeihan di Wisma Metropolitan II Jakarta, dari 30 November hingga 7 Desember. Jika yayasan sosial seperti itu menyelenggarakan pameran seorang pelukis, apa ini memberi alasan bagi penataan pameran yang amatiran, bahkan buruk dan kurang bernilai promosi? Itu hanya berarti: yang perlu dirangkul bukan hanya pelukisnya, tetapi juga tenaga perancang pameran, pemilik peralatan dan perlengkapan, dan beberapa sumber daya lainnya. Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus