Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Karya Dengan Catatan Kaki

Didik sunardi memamerkan lukisannya di balai budaya. memiliki seni lukis khas jawa. pada setiap lukisan dicantumkan catatan kaki sebagai keterangannya. misalnya, lukisan pengemudi dan lukisan sipenmaru.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUDUL lukisan itu Pengemudi Bis. Tetapi yang tertera adalah lukisan Petruk versi wayang orang. Kenapa bisa begitu? Anda dipersilakan mendengar sejumlah catatan kaki dari pelukisnya. Dan nerocos-lah argumentasinya. Pengemudi bis, bagi Didik Sunardi, sang pelukis, sungguh persis Petruk, punakawan keluarga Pandawa itu. Bukan Petruk sembarang Petruk, tapi Petruk yang sedang jadi raja, dan tentu mengenakan makota. Maka, kesewenang-wcnangan pun terjadi di mana-mana, ketika Petruk menjadi sangat berkuasa. Begitulah sopir bis. Dan rupanya bukan hanya orang Jakarta saja yang begitu miris melihat sepak terjang para sopir bis. Orang Solo pun begitu -- apalagi bagi Didik, yang menetap dan berkeluarga di kota itu. Menurut Didik, sopir bis itu suka main kebut, main terjang. Pokoknya, hantem kromo. Sama sekali tak mempedulikan peraturan lalu lintas dan rasa kemanusiaan. Lebih-lebih pada lukisan itu terlihat di lubang telinga Petruk menyumba gumpalan kapas. Dengan demikian, Petruk menjadi tidak mendengar apa-apa. Bunyi sempritan pak polisi pun tentu tak didengarnya. Si sopir lalu hanya mendengar suara hatinya sendiri. Tetapi di sisi kepala Petruk itu ada tertera telapak tangan warna cokelat kemerah-merahan. Apa itu? Ini dia kesimpulannya. Menurut Didik, sopir bis yang punya ulah begini sebaiknya digaplok saja. Setelah itu, panjangkan catatan kakinya dan panas argumentasinya. Dapat dibayangkan bagaimana ia memberikan penjelasan satu per satu kepada tiap pengunjung pamerannya. Ada 31 lukisan cat minyak yang rata-rata berukuran 95 x 105 cm. Dipamerkan di Balai Budaya pada 23 sampai dengan 29 November lalu, karya-karya itu menggarap berbagai masalah. Judul-judulnya sudah menunjukkan masalah yang digelutinya, meski lain pula hasil garapannya. Tahun 2000, Era Tinggal Landas, Polusi Bahasa, Emansipasi Wanita, Sipenmaru, Hubungan industrial Pancasila, Politik Rasialis Afrika Selatan, itulah beberapa di antaranya. Didik sungguh mengacu kepada realitas hidup, lalu menguburkannya pada imajinasi. Sulit bagi penonton untuk blsa mengerti lukisannya, setelah membaca judulnya. Pada politik Rasialis Afrika Selatan ditampilkan adegan dua anak laki-laki sedang bertanding catur. Seorang berwarna putih, yang lainnya hitam. Yang putih selalu menganggap dirinya raja, dengan demikian banyak uangnya. Yang hitam selalu saja kalah . Di sebatang pohon begitu pelukis menyebutnya, bergelantungan kotak-kotak dan tetesan-tetesan. Yang berbentuk kotak-kotak berwarna biru artinya darah biru. Dan darah biru milik golongan kulit putih. Sedang tetesan berwarna merah artinya orang-orang hitam Afrika selalu mengucurkan darahnya demi kemerdekaan. Cukup jelas ? Cobalah dengar penjelasannya tentang Sipenmaru. Karya itu memperlihatkan seorang gadis yang rambutnya sedang dicari kutunya oleh ibunya. Ibu di sini berarti ibu guru. Mencari kutu haruslah diartikan mencari kutu buku. Kutu buku artinya orang pandai. Namun begitu, kegiatan mencari kutu adalah suatu usaha untung-untungan. Karena bersifat untung-untungan, itu tak lebih dari porkas. Sebagai lambang porkas, digambarkannya sebuah bola yang biasa disepak. Lalu ia lanjutkan dengan gambar lina buah kelontongan yang artinya gema ke segenap penjuru tanah air. Gema ini berguna sebagai ujung tombak. Lukisan itu masih ditambah pada bagian bawah, angka 1987, yang ditulis secara digital. Ini maksudnya hasil kerja kepiawaian komputer. Dari sini apa boleh jika lukisan itu lalu diartikan bahwa sipenmaru pada dasarnya suatu gaung yang tak jelas maknanya, yang hanya bersifat untung-untungan ? Polisi rupanya dekat dengan dunia kesenian. Ibrahim Sattah menulis puisi, sedangkan Didik, 44 tahun, seoran, purnawira polisi, cocok dengan dunia yang mengaduk-aduk cat itu. Didik sadar benar bahwa dalam budaya Jawa dikenal "ilmu" gathuk, "ilmu" menghubung-hubungkan. Segala sesuatu di tangan orang Jawa selalu dapat dipertemukan, dihubungkan. Bahkan yang paling mokal sekalipun. Ambil contoh: Prabu Puntadewa (tokoh dalam perwayangan Jawa) itu dengan mudah dapat dihubungkan dengan Nabi Adam. Juga tak boleh dilupakan selalu hadirnya sanepan, kiasan dalam tradisi Jawa. Dan Didik melahapnya tanpa batas. Lalu di mana letak kebagusan dan keburukan suatu karya dalam hubungannya dengan cara penyuguhan ungkapan semacam itu ? Agaknya, sudah tak penting lagi melihat baik dan buruk. Karena catatan kaki telah menangkis setiap serangan. Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus