Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mata Seorang Pemanah
S. Prasetyo Utomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM gelap malam, Kakek melangkah gagah. Menjauhi pergelaran wayang kulit. Menuju ladang jagung. Aku mengikuti langkahnya memasuki gubuk kecil. Menyalakan api pada ranting-ranting kering, membakar jagung. Bu Lik Kanti—anak bungsu Kakek yang belum menikah—menyusul kami, mengantar dua cangkir kopi pahit. Ada gula aren di lapik yang bisa kami gigit sebelum menyesap kopi. Bu Lik Kanti segera kembali ke rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kakek tak menghendaki pencuri menyusup ke ladang jagung pada tengah malam. Ia cemas ladang jagungnya dihabisi pencuri.
Dengan tongkat kayu sonokeling, Kakek menyusup ke ladang jagung dalam gelap. Aku mengikuti langkah Kakek, menghalau seorang lelaki muda berwajah beringas. Geram, Kakek tetap berdiri di ladang jagung, yang berbatasan dengan Hutan Gandapati. Lelaki muda itu meninggalkan jagung-jagung yang terserak di tanah dan urung dimasukkan ke karung.
"Kita mesti meminta Subro untuk menjaga ladang jagung ini. Ia seorang pemanah. Matanya tajam dan bidikan anak panahnya tepat," kata Kakek, tak mengalihkan pandangan dari hutan. Rupanya Kakek mulai geram terhadap lelaki muda yang selalu mencuri jagung pada tengah malam itu.
"Lik Subro mau menjaga ladang kita?"
"Mudah-mudahan dia mau!"
"Ladang jagung ini dulu milik keluarga Subro," kata Kakek. "Aku mengalahkan ayah Subro dalam tomprang 1). Taruhannya ladang jagung yang kumiliki sampai sekarang."
Aku merasa ada sesuatu yang dipendam dalam perasaan Kakek mengenai pencuri yang menyusup ke ladang jagung itu. Mungkin Kakek ingin menaklukkan pencuri jagung dari Lembah Kelelawar yang tak mengenal rasa takut itu.
***
TERLIHAT Lik Subro sungkan berhadapan dengan Kakek. Menjelang sore, Kakek menghampiri pemanah itu di dekat pagupon 2). Lik Subro sedang berlatih memanah. Kulihat semua anak panahnya tertancap di pusat lingkaran target. Ia memang keturunan pemanah: ayah, kakek, buyut, dan leluhurnya dikenal sebagai pemanah ulung. Dalam cerita orang-orang, Lik Subro memiliki ketajaman penglihatan yang dapat menembus semak belukar dan rimbun pepohonan hutan untuk bisa membidik binatang buruannya.
Aku melihat Lik Subro gugup di hadapan Kakek. Ia tak berani menatap mata Kakek dan selalu menunduk. Apa yang terjadi pada lelaki itu? Ia tangguh, perkasa, dan tajam sepasang matanya saat berburu celeng di Hutan Gandapati, tapi kini mendadak menjadi lelaki tanpa daya dan kehilangan keperkasaan di hadapan Kakek.
"Jagalah ladang jagungku dari serbuan pencuri!" pinta Kakek kepada Lik Subro.
"Bawalah busur dan anak panah. Biar tak ada lagi pencuri yang menyerbu lahan itu."
"Akan saya jaga ladang jagung itu. Siapa pun yang nekat mencuri jagung yang siap dipanen, akan tertembus anak panahku!"
"Kau bisa memanah dalam gelap malam?"
"Akan saya coba memanah dalam gelap malam. Mudah-mudahan saya bisa mengusir pencuri di ladang jagung."
"Kau berani berhadapan dengan pencuri dari Lembah Kelelawar?"
Terdiam sesaat, Lik Subro merenung, lalu menukas, "Saya mesti hati-hati berhadapan dengannya."
Kakek meninggalkan pelataran. Lik Subro meneruskan berlatih memanah. Bidikan anak panahnya selalu tertancap di pusat lingkaran papan target. Lik Subro memiliki tatapan yang tajam dan bidikan yang tak pernah melenceng.
***
MALAM setelah isya, aku melihat sepasang mata Lik Subro kembali menyala. Kami menyusup ke ladang jagung dekat Hutan Gandapati yang wingit. Sepasang matanya tampak cemerlang, tajam, menangkap sosok manusia yang mematahkan tongkol-tongkol jagung dari batangnya. Ia membidikkan anak panah dengan mata tajam yang cemerlang. Melesatlah anak panah itu menembus pepohonan jagung. Beberapa kali anak panah mengenai sasaran. Tak melukai tubuh pencuri. Pencuri itu kebal senjata. Ia tak peduli pada Lik Subro, dan dengan tenang mematahkan tongkol-tongkol jagung dari dahannya.
Tatkala sadar bahwa anak panah tak menembus tubuh pencuri jagung, Lik Subro mulai termangu. Ia tampak bimbang. Ia terdiam memandangi pencuri jagung yang terus bergerak mematahkan tongkol-tongkol jagung dengan suara gemeretak. Pencuri itu seorang diri, dan tak membalas perlakuan Lik Subro. Dibiarkan saja anak-anak panah tergeletak di tanah. Berserakan.
Melangkah pulang, menuruni jalan setapak di sela rerumputan, sepasang mata Lik Subro tampak redup. Sepasang mata yang tak bergairah. Aku tak lagi melihat sepasang mata yang tajam penuh dengan kecerdikan membidikkan anak panah.
Memasuki pendapa rumah Kakek, Lik Subro tertunduk. Bu Lik Kanti menyuguhkan kopi. Tak sedikit pun Lik Subro mengangkat muka.
"Pencuri itu sungguh tangguh!"
"Apa yang terjadi?"
"Saya memerlukan bantuan agar anak panah dapat menembus tubuh pencuri," kata Lik Subro, tertahan. "Ia kebal senjata."
Lama Kakek terdiam. Memandangi Lik Subro. "Baik. Tinggalkan anak-anak panah di rumahku. Biar kusepuh doa. Besok malam kita lawan bersama pencuri itu."
Sepasang mata Lik Subro kembali bercahaya. Cemerlang dan tajam. Ia menemukan harga diri.
***
LEPAS isya, Lik Subro mengetuk pintu pendapa. Aku yang membukakan pintu. Seperti biasa, sepasang matanya tajam dalam gelap malam, seperti bisa menembus batinku. Ia ingin bertemu Kakek. Bu Lik Kanti menyuguhkan kopi serta sukun goreng, lalu buru-buru meninggalkan pendapa.
"Ayo, kita hadapi pencuri yang kebal itu," kata Kakek. "Seluruh anak panahmu sudah kusepuh doa."
Lik Subro menerima anak-anak panah dengan tangan gemetar. Aku menyaksikan Lik Subro masih menunduk, belum berani menatap wajah Kakek. Sepasang matanya memancarkan ketakjuban. Kami berangkat menyusuri jalan setapak ke ladang jagung, Lik Subro tampak gagah sebagai seorang prajurit di medan laga. Ia memandangi hamparan ladang jagung dengan mata yang tajam. Mata seorang pemburu binatang liar di hutan.
"Kita berjaga-jaga di sini," kata Kakek, berhenti di gubuk. Membakar jagung muda dalam nyala api ranting-ranting kering. Sepasang mata Lik Subro menembus batang-batang jagung.
"Lihat, pencuri itu masuk ladang jagung seorang diri."
"Lelaki muda itu sungguh nekat. Rupanya ia baru saja menemukan guru yang memberinya ilmu kebal senjata."
Lik Subro seperti tak sabar ingin segera menghadapi pencuri yang sengaja merusak kebun jagung untuk menunjukkan kesaktiannya.
"Ia sudah mulai memetiki tongkol jagung dan memasukkannya dalam karung," kata Lik Subro. Kali ini sepasang matanya kembali menampakkan bahwa ia seorang pemburu. "Biar saya panah dadanya!"
"Jangan!" suara Kakek menahan dendam. "Arahkan anak panahmu pada selangkangannya. Dulu dia menggagahi Kanti di sendang. Anak gadisku tak mau nikah sampai kini. Aku ingin pencuri itu akan terus mengingat peristiwa malam ini."
Sepasang mata Lik Subro berkilau saat membidikkan anak panah. Sepasang mata seorang pemanah yang menaklukkan buruannya dengan anak panah yang disepuh mantra. Anak panah meluncur dari busurnya. Melesat dalam gelap. Menembus celah batang-batang jagung, menghunjam sasaran, lalu terdengar suara lelaki memekik kaget, menjerit kesakitan, "Aaahrghhhh!"
Pandana Merdeka, Februari 2024
Keterangan
1) Tomprang: pacuan burung dara
2) Pagupon: kandang merpati
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo