Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul: 99 Sajak
Penulis: Yudhistira ANM Massardi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Ilustrasi: Ramadhan Bouqie
Tebal: 225 halaman
Tiga puluh tahun hidup dalam kontemplasi di puncak gunung, tokoh Zarathustra dalam kitab Also Sprach Zarathustra karya Friedrich Nietzsche akhirnya turun gunung. Ia merindukan tangan-tangan terkembang, siap menerima buah kontemplasinya yang mengguncang, kontroversial, meski kini kurang bergaung di dunia Timur yang religius: Tuhan sudah mati.
Tiga puluh tahun penyair Yudhistira A.N.M. Massardi mengasingkan diri dari dunia kepenyairannya, hingga pertengahan bulan lalu ia turun gunung dengan sebuah buku puisi di tangannya: 99 Sajak. Buku puisi yang berisi ajakan bercanda. Ada 11 tema yang dipilih penyair dan setiap tema dieksplorasi dalam sembilan sajak. Hasilnya? Dari puisi ke puisi, pembaca bisa merasakan betapa sang penyair seolah-olah menanti para pejalan kaki di ujung jalan, untuk kemudian meletuskan sebuah balon sambil tersenyum. Surprise...!
Yudhistira, kini 61 tahun, penyair produk zamannya pada 1970-an. Kejutan di pengujung cerita adalah gaya yang dipopulerkan oleh penulis naskah drama dan esais Arthur Miller di Amerika Serikat pada 1940-1950-an. Gaya yang pengaruhnya kemudian sangat terasa di kalangan penulis/penyair Indonesia pada 1970-an.
Empat puluh tahun berlalu semenjak Sajak Sikat Gigi yang legendaris tapi kontroversial itu diterbitkan, Yudhistira masih tetap kurang ajar. Dia meneror atau sekadar membuat pembaca tersenyum dengan lompatan logika yang lantas berlabuh di tempat tak terduga. Salah satu puisi dalam bab "Sajak Sembilan Rasa" menggambarkan kehidupan yang tidak boleh muram dan harus dirayakan dengan tari-nyanyi. "Seperti simfoni kehidupan di halaman depan," kata sang penyair. Namun, di pengujung puisi ini, penyair yang karyanya pada 1976-1977 ditetapkan Dewan Kesenian Jakarta sebagai salah satu karya puisi terbaik itu menyalib logika ini dengan ungkapan yang membuat tercekat: "Lo, lihat saja, Dirigennya makan rambutan?! Keren."
Ada kalanya kejutan seperti ini mendekonstruksi-meruntuhkan bangunan lirik yang telah ditegakkan sebelumnya. Ada kekuatan yang tak tertahankan manakala Yudhistira menyinggung perbedaan antara kita (yang kalah, yang dikuasai) dan mereka (para penguasa). "Jadi yang kita proklamirkan 70 tahun silam itu apa?" Kemerekaan atau kemerdekaan? Indonesia merdeka atau Indonesia mereka?" Namun, seperti suara ketidakberdayaan, pernyataan demi pernyataan galak tersebut lantas diakhiri sebuah detachment yang menyentak: "Kenapa kita tiba-tiba dijajah oleh semantika?" Tak jelas benar apakah Yudhistira menelan kembali gugatannya sendiri atau tidak, yang terang sebuah dekonstruksi telah terjadi.
Pada kesempatan lain, dalam "Sajak Sembilan Kota", ia menawarkan kejutan dengan sebuah penutup yang teramat kontemporer. Ia menyamakan Yogya, tempat favoritnya saat ia mengembangkan estetika kesenimanannya, dengan sekeping koin dengan dua wajah: "Gerobak sapi dan android/ Tongseng Pak Min dan global warming." Sebuah deskripsi yang akurat, yang kemudian diakhiri dengan ungkapan cerdas dari dunia kontemporer kita yang sarat dengan hiruk-pikuk iklan dan politik: "Aku mau ginseng Mbah Marijan" dan "Aku mau kaos oblong bergambar sultan perempuan".
Ada banyak kejutan serta perumpamaan musikal yang muncul dalam rangkaian puisi Yudhistira ini. Puisi pembuka dalam bab "Sajak Sembilan Cinta" berbicara tentang penyanyi tenor Pavarotti yang berjas putih menyenandungkan "gunung-gunung dan laut cinta" dan seseorang istimewa yang pelukannya seolah-olah dapat mendatangkan sebuah orkestra dengan para malaikat dari surga. Namun tak terlalu lama membiarkan syairnya larut dalam romantisisme ini, Yudhistira melontarkan humor penutup puisi: "Maaf, Tuan (Pavarotti—Red), mawar putih di saku jas itu, kembalikan kepadaku!"
Musik memang memiliki tempat khusus sebagai ungkapan estetik ataupun sebagai pengirim pesan dalam puisi-puisi ini. Namun, bila dicermati lebih lanjut, tampaklah bahwa perhatiannya pada musik banyak terserap dalam perumpamaan orkestra, partitur, konduktor, dan komposisi. Ya, sebuah alegori pintar untuk menunjukkan keperkasaan Sang Dalang dan ketidakberdayaan sang wayang. Atau sekadar menandaskan keperkasaan Sang Khalik, Sang Pencipta yang menulis masa depan makhluk yang diciptakan-Nya dalam "partitur" kitab Lauhul Mahfuz.
Diakui atau tidak, perkembangan ini lebih banyak memantulkan wisdom, hasil kontemplasi dari perjalanan hidup pribadi seorang Yudhistira, ketimbang pencapaian estetika kepenyairannya. Dalam salah satu "Sajak Sembilan Sungai", ia melukiskan Pastoral Symphony atau Symphony No. 6 in F major karya Beethoven sebagai satu komposisi di mana sebuah sungai menghanyutkan bebunyian brass dan perkusi ke laut lepas, dengan burung-burung yang menari dan ikan-ikan berlompatan.
Yudhistira menyayangkan keengganan kita untuk memetik pelajaran dari pengalaman hidup dan kehebatan Sang Komposer Agung. Berbeda dengan Amir Hamzah yang "rindu rasa, rindu rupa" serta mengharapkan pertemuan "manusiawi" dengan Sang Khalik, Yudhistira justru memandang faktor manusia ini sebagai keterbatasan yang harus diterima dengan lapang dada—tanpa menihilkan aspek transendental manusia. Kita cuma menggesek biola, cello, atau meniup trompet yang memainkan instrumen menurut partitur yang dituliskan Sang Komposer Agung. "Setiap kita punya konser, tapi jangan berpikir kita tukar partitur, apalagi konduktor!"
Sang Waktu yang acap kali merupakan musuh dalam selimut yang perlahan-lahan merenggut kreativitas seorang seniman yang mulai "berumur" itu ternyata bukanlah "lawan" bagi Yudhistira. Tidak semua seniman bisa menerima kenyataan bahwa ia tak setangguh-sehebat dulu. Memang Yudhistira mencoba berdamai dengan waktu yang memutihkan rambut dan menambah kerut di wajahnya, juga bertahan dengan kenakalan-kenakalan mengejutkan dalam puisi-puisi terbarunya—kendati tak selalu berhasil. Namun bukankah ini hal lumrah yang patut diapresiasi?
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo