Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jika Obat Tak Lagi Mempan

Nyeri hebat yang disebabkan oleh kanker bisa diredakan dengan memblok saraf penghantar rasa sakit. Dampak sampingnya dinilai sepadan dengan hilangnya penderitaan pasien.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum kini senantiasa tersungging di bibir Li Tsu Tjin. Nenek 77 tahun ini memang masih terbaring lemas di Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta. Tapi tak ada lagi erangan rasa sakit, juga makian, yang keluar dari alat ucapnya. "Padahal sebelumnya isi kebun binatang yang keluar," kata Sri, yang menjaga Li, saat ditemui di rumah sakit, 23 September lalu. Kini sapaan dokter yang menanyakan kabarnya dijawab Li dengan gembira.

Makian keluar bukan karena dokter tak becus menangani Li, melainkan lantaran dia tak bisa menahan nyeri hebat yang menjalar di lengan kirinya. Rasa sakit yang bersumber dari kanker payudaranya memang demikian parah hingga tak mungkin dioperasi. Itu yang menyebabkan keriangan Li lenyap dua bulan belakangan.

Kanker memang "kejam". Rasa sakit yang ditimbulkan oleh sel-sel abnormal itu bisa menjalar jauh dari organ yang diserangnya. Pada Li, sel-sel itu merangsek ke ketiak dan membuat tangan kiri menggembung. Rasa nyeri pun merebak di sana. Jangankan bergerak normal, tersenggol sedikit saja, "Sudah sakit sekali," ujar Li. Saking parahnya, obat antinyeri yang diberikan dokter sebelumnya tak mampu mengurangi penderitaan itu.

Karena obat tak lagi mempan, dokter spesialis anastesi, Albertus Sugeng Wibisono, yang kini merawat Li, mengambil jalan lain. Pak dokter memblokir rangkaian saraf simpatis di bagian leher agar tak bisa mengirimkan sinyal rasa nyeri ke otak. Hasilnya jos, serangan nyeri pada Li pun lolos.

Menurut Sugeng, cara pemblokiran nyeri ini merupakan salah satu metodeinterventional pain management,cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada penanganan nyeri. Lewat manajemen ini, hantaran rasa sakit dihambat tanpa operasi besar atau bahkan tak melakukan operasi sama sekali. "Caranya dengan merusak saraf yang menyampaikan nyeri ke otak," katanya.

Ada beragam teknik yang digunakan dalam mengintervensi. Misalnya dengan menyuntikkan langsung obat antinyeri ke sumber rasa sakit, memotong saraf dengan gelombang frekuensi elektromagnetik yang mengeluarkan arus listrik dan menimbulkan efek panas (radiofrequency ablation), atau memasang stimulator dalam tubuh untuk mengacaukan sinyal nyeri.

Intervensi bisa dilakukan untuk beragam jenis nyeri, baik yang disebabkan oleh cedera struktur saraf (nyeri neuropati) maupun nyeri nosiseptif, yang bersumber dari bagian tubuh lain, semisal otot dan organ tubuh. Kanker masuk rombongan yang kedua ini.

Pada pasien kanker, menurut Sugeng, tindakan intervensi dilakukan setelah pengobatan melalui oral tak mempan. Atau jika obat antinyeri dengan berbagai tingkatan (parasetamol, codein, sampai morfin) sudah tak berpengaruh atau malah menimbulkan lebih banyak efek samping.

Dalam kasus kanker, nyeri biasanya berasal dari organ tubuh yang ditumbuhi sel ganas.Terapi yang biasa digunakan adalah menghancurkan saraf dengan menggunakan bahan kimia, seperti alkohol dan fenol, karena cakupan pendestruksiannya lebih besar. Pada nyeri kanker, saraf yang diblok tak cuma satu, tapi juga rangkaian saraf di atas pusat rasa nyeri.

Sebelum dilakukan pengeblokan, dokter lebih dulu menguji dengan menyuntikkan anastesi lokal yang bertahan dua-empat jam ke jalinan saraf target. Menurut Sugeng, ini untuk mengetahui apakah pengeblokan akan efektif atau tidak. "Jika pasien merasa enak, barulah saraf dirusak dengan suntikan," kata dokter yang sudah mendapat sertifikat dari World Institute of Pain itu.

Pada pasien yang sudah sangat parah, metode ini kadang kurang ampuh. Kalau sudah begitu, Sugeng akan naik ke cara berikutnya, yakni memasukkan obat penghilang rasa nyeri ke ruang epidural atau kanal tulang belakang—tepat sebelum sumsum tulang belakang. Injeksi ini dilakukan menggunakan kateter. Lewat slang kecil itulah dimasukkan cairan berisi obat-obatan seperti morfin atau anastesi lokal.

Kalau upaya ini tak juga mempan, obat penghilang nyeri akan dikirim dengan intraspinal. Metode ini dilakukan dengan mengalirkan obat pereda nyeri secara perlahan-lahan melalui sumsum tulang belakang ke cairan otak. Zat kimia tersebut sedikit demi sedikit digenjot dengan pompa kecil bertenaga baterai yang ditanam pada tubuh pasien.

Menurut dokter spesialis bedah saraf, Alfred Sutrisno, yang juga menerapkan metode ini, intervensi lebih efektif dibandingkan dengan meminumkan obat. Penyebabnya, intervensi langsung menuju titik masalah. "Pada pasien kanker stadium lanjut yang skala nyerinya sangat parah, cara ini bisa menolong banyak," ucapnya.

Misalnya pada pasien kanker usus stadium akhir. Sel ganas yang menyebar membuat saluran pencernaan tak berfungsi normal. Akibatnya, kotoran yang seharusnya dikeluarkan lewat anus melenceng ke vagina. "Bayangkan perihnya. Ini seperti luka yang dikucuri jeruk nipis," ujarnya. "Dan itu terjadi sepanjang waktu."

Dengan campur tangan ini, kata Alfred, nyeri yang ditimbulkan bisa berkurang 60-80 persen. Jangka waktunya pun cukup lama, sekitar enam bulan, sampai simpul-simpul saraf itu meregenerasi dan berfungsi normal kembali. Tapi biasanya pasien yang ditanganinya sudah meninggal sebelum simpul saraf "baru" itu bisa menghantar sinyal.

Namun, Sugeng mewanti-wanti, intervensi kadang tak bisa 100 persen menyelesaikan semua masalah nyeri. Meski saraf sudah diblok, terkadang rasa sakit masih ada atau muncul di tempat lain. Ini terjadi karena sel abnormal itu terus tumbuh, menyebar, dan membuat sumber nyeri baru.

Tampaknya inilah yang terjadi pada Jumaini. Nenek 75 tahun ini tetap mengeluh kesakitan meski telah mendapat injeksi langsung ke epidural. Dengan tangan gemetaran, Jumaini cuma bisamengerang dan minta dielus oleh penjaganya karena sakit yang mendera. "(Tapi) ini sudah mendingan setelah diblok," ucap Komang, si penjaga. Kanker usus Jumaini memang sudah sangat parah.

Dalam kasus seperti ini, setelah mengintervensi rasa sakit, dokter masih memberikan obat oral. Sugeng biasanya akan memadukannya dengan obat antinyeri dari berbagai tingkatan, seperti morfin dan parasetamol.

Intervensi sebenarnya juga tak kalis dari dampak negatif. Menurut Alfred, intervensi bisa menimbulkan banyak komplikasi. Musababnya, saraf simpatis yang diputus itu sebagai lawan saraf parasimpatis, yang berfungsi antara lain menaikkan tekanan darah, memperlambat denyut jantung, dan mempercepat proses pencernaan.

Nah, kalau saraf simpatis dirusak, kata dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Omni Alam Sutera ini, parasimpatis bisa bertindak seenaknya tanpa penyeimbang. Risiko yang muncul bergantung pada bagian mana yang dikoyak. Contohnya, jika pengeblokan dilakukan pada rangkaian saraf hypogastric, yang berhubungan dengan vagina, testis, usus panggul, rahim, dan prostat, itu bisa menyebabkan saluran kencing dan saluran pencernaan terganggu. "Hingga menyebabkan impoten."

Komplikasi juga bisa terjadi jika obat yang disuntikkan tak sengaja mengenai saraf lain. Bisa saja pasien jadi lumpuh. Tapi, menurut Alfred, risiko ini sebanding dengan rasa sakit yang berkurang banyak. "Pain-free until he or she die," ujarnya.

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus