Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Blakblakan dan tak segan untuk bertarung. Begitulah karakter yang melekat pada direktur utama perusahaan pelat merah PT Pelindo II, Richard Joost Lino. Ini terbukti dari caranya menghadapi serangan dari berbagai kalangan. Dari pegawai perusahaannya sendiri, sejawatnya, sampai para menteri. Terakhir Lino dilaporkan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, ke Komisi Pemberantasan Korupsi atas tuduhan gratifikasi kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.
Publik juga tak bakal lupa bagaimana Lino meladeni "kepretan" Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli dengan gaya ceplas-ceplosnya yang khas. Baik dalam kasus perusakan beton di pelabuhan oleh Rizal maupun tudingan bahwa Lino "mengadu duit" karena memasang iklan besar di sejumlah media massa.
Juga ketika kantornya—termasuk ruang kerjanya—di Pelindo II digeledah polisi terkait dengan kasus pembelian sepuluh crane yang diduga mengandung penyimpangan, Lino bereaksi keras. Saat itu dia mengadu kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil dan mengancam mengundurkan diri jika persoalan tidak clear.
Lino punya alasan atas semua sikapnya tersebut. "Saya enggak tahu, takut itu apa, sih? Saya ingin jujur kepada diri sendiri," ujar pria kelahiran 7 Mei 1953 ini saat menerima wartawan Tempo Tomi Aryanto, Jobpie Sugiharto, Isma Savitri, Khairul Anam, videografer Denny Sugiharto, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo di ruang kerjanya, Rabu sore pekan lalu.
Dalam wawancara yang berlangsung selama dua jam itu, Lino cuek melontarkan berbagai pernyataan ofensif dan terbuka menuturkan "kisah di balik layar" sejumlah sepak terjangnya.
Selama ini Anda santai saja diserang berbagai pihak. Tapi hari ini pengacara Anda melaporkan Masinton Pasaribu ke polisi. Kenapa?
Saya selama ini kan enggak pernah menuntut balik orang yang menjelek-jelekkan saya. Tapi saya kira kali ini harus dikasih pelajaran, biar orang tidak seenaknya memutarbalikkan fakta. Saya merasa nama saya dicemarkan. Apalagi uangnya hanya Rp 200 juta. Selain Masinton, ada sepuluh orang JICT (Jakarta International Container Terminal) yang saya laporkan ke polisi.
Benarkah Pelindo II mengeluarkan Rp 200 juta untuk membeli perabotan yang dikirim ke rumah dinas Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno?
Tempat pengiriman perabotan itu kan rumah resmi Menteri BUMN. Rumah itu tidak pernah ditempati. Bu Rini kan orang kaya, jadi beliau tinggal di rumahnya. Nah, istri saya kebetulan jadi ketua ibu-ibu BUMN. Mereka biasanya kalau ketemu di ruang rapat BUMN. Bu Rini lalu mengusulkan agar rumah dinasnya dipakai saja daripada tidak terawat. Karena barangnya enggak ada, istri akhirnya minta bantuan inventaris beberapa kursi. Itu semua inventaris Pelindo, bukan gratifikasi. Kalau gratifikasi kan memberi ke pribadi. Enggak ada itu. Di situ juga ada lukisan-lukisan, karena istri saya suka melukis.
Kabarnya nominal Rp 200 juta itu uang muka saja?
Semuanya itu Rp 200 juta. Kalau yang dimaksud orang uang muka, itu nantinya masih ada uang sekian lagi. Enggaklah.
Itu dari Pelindo II atau Pelabuhan Tanjung Priok?
PTP (Pelabuhan Tanjung Priok).
Kenapa anggarannya tidak dari Pelindo II?
Masak, furnitur kayak gitu dari kantor sini? Kantor sini biasanya triliunan, Mas. Masak, dirut beli furnitur Rp 200 juta?
Sebelumnya, Masinton tidak ada komunikasi dengan Anda?
Enggak ada.
Bagaimana Anda mencari tahu soal bocornya data (pembelian furnitur) itu?
Sudah dua orang dari bidang keuangan yang kami proses skorsing. Menelusurinya gampang, kok. Walau dokumen aslinya hilang, mereka bawa. Tapi saya senang karena enggak ada lagi kasus besar yang menjerat saya. Artinya I'm doing right, right? Saya justru berterima kasih sekali.
Kalau dibilang mantu saya dari salah satu keluarga kaya di Malaysia dan bikin usaha di sana, ah thank God. By this, everybody knows that I'm not doing something wrong. Adiknya Pak Jusuf Kalla itu teman saya dari dulu. Dan, ketika mereka bikin usaha pada 2010, Pak Jusuf is nobody. Masak, punya kerjaan di tempat lain enggak boleh?
Mungkinkah laporan Masinton ke polisi itu terkait dengan politik? Karena PDIP kurang cocok dengan Rini, lalu ada kejadian penggeledahan oleh Badan Reserse Kriminal di kantor Anda dan itu membuat Anda bereaksi.
Saya tidak ada urusan dengan politik. I'm not a politician. Makanya kan saya bilang sama Presiden, kalau urusan yang kemarin (penggeledahan oleh Bareskrim) enggak clear, saya pergi. Enggak ada politikus yang kayak gitu, kan?
Tapi laporan Masinton ke KPK tak bisa dilepaskan dari anggapan bahwa Anda dekat dengan Rini.
Enggak begitu. Saya dekat dengan Bu Rini karena profesional. Sebelum Bu Rini jadi menteri, saya enggak kenal. Jadi, kalau dibilang kami dekat, menurut saya itu aneh. Kalau dia appreciate apa yang saya kerjakan, itu lain lagi.
Kemudian ada orang memutarbalikkan fakta. Bilangnya, setelah penggeledahan polisi ketika itu, saya menelepon Pak Sofyan Djalil (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional). Padahal sebenarnya saya yang ditelepon. Saya juga enggak pakai speaker, jadi saya enggak mengerti bagaimana caranya mereka mendapat rekaman percakapan saya dengan Pak Sofyan. Mungkin saja disadap.
Tapi transkrip rekaman yang beredar itu persis seperti pembicaraan telepon Anda dengan Sofyan.
Saya enggak ada urusan. Sewaktu telepon itu saya menyampaikan kekecewaan. "I make this company so rich." Sewaktu saya datang ke sini kan asetnya cuma Rp 6,5 triliun, sekarang Rp 40 triliun. Terus digituin (diperkarakan) pembelian crane yang hanya Rp 46 miliar gitu, lho. Itu plafon proyeknya Rp 59 miliar. Jadi 23 persen di bawah plafon kok masih gini? Kalau mau korupsi kan niatnya enggak kayak begitu.
Yang jadi masalah, crane itu tidak diantar ke pelabuhan.
Ya, itu keputusan manajemen. Bahwa Priok itu lebih butuh, makanya kami taruh di sini. Kan, enggak bener kalau dibilang itu enggak dipakai.
Kenapa Anda sampai bilang akan mundur sebagai direktur utama saat bertelepon dengan Sofyan?
Saya kan bilang, "I make this company so rich." Makanya, kalau soal itu enggak clear di Presiden dan Wapres, besoknya saya akan berhenti.
Banyak yang mengartikan seolah-olah Anda mengancam Presiden ketika itu.
Bukan mengancam. Ini bedanya. Saya dari Indonesia timur, kalau ada apa-apa, ya pisau yang ada saya taruh di meja. Enggak ada sandiwara supaya orang enggak tersinggung. Saya rasa bicara saya wajar selaku profesional. Kan, kalau politician enggak begitu bicaranya. I'm a hundred percent professional.
Dan besoknya, setelah penggeledahan, langsung ada support ya seperti yang Anda minta.
Ya, Anda bisa lihat sendiri, kan? Sehari sebelumnya, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan sudah datang ke sini (Pelabuhan Tanjung Priok) atas permintaan Presiden. Kemudian, sebelum pulang, beliau minta diantar ke Ruang Satu Atap. Itu kan kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, yang dalam rangka mengurusi dwelling time dibikinkan kantor bersama untuk delapan kementerian atau lembaga. Saya antar ke sana, ruangannya ditutup. Enggak ada isi (orang) di dalam, tapi komputer, meja, semuanya lengkap.
Dia lalu foto-foto ruang kosong itu. Jam 16.30 dilihatin ke Presiden, marahlah Presiden. Kok, ini enggak ada apa-apa? Jadinya kan merasa dikhianati. Kemudian sekretarisnya telepon ke saya, bilang Presiden akan datang. Saya lalu bilang kalau bisa Bapak jangan ajak menteri supaya nanti bisa lihat real-nya kayak apa. Sebab, kalau dikasih tahu kan nanti sandiwara. Jadi pilihan saya adalah berterus terang ke Presiden.
Besoknya semua sudah dibereskan?
Besok paginya Presiden datang, semua nyala. It's like fully operated like Pentagon. Nah, kemudian dia tanya ke petugas Bea-Cukai, tapi mereka enggak bisa jawab. Presiden lalu keluar ke dermaga, diikuti menteri dan eselon I. Presiden lalu memanggil saya, "Mana Pak Lino?" Jadi saya maju, dengan ada menteri-menteri di situ, dan lalu saya bilang, "Bapak Presiden, yang di belakang Pak Presiden tadi sandiwara besar." Saya tidak bisik-bisik, jadi semua orang tahu kalau yang ngomong itu saya. Wartawan enggak dengar karena agak jauh, tapi menteri dan semua eselon I mendengar yang ngomong itu sandiwara adalah R.J. Lino. Nah, yang gitu-gitu, apakah itu cari muka? Menurut saya enggak karena saya mesti ngomong terus terang.
Seperti apa reaksi menteri ketika itu?
Muka menteri merahnya kayak apa.
Kalau reaksi Presiden?
Disappointed pastinya, ya. Tapi sebenarnya dia sudah tahu, jadi enggak kaget juga karena sudah siap. Kemudian kami ke ruang rapat, ada wartawan juga di situ. Presiden bilang, "Saya tanya sampai tiga kali kenapa enggak dijawab? Kalau enggak dijawab, akan saya cari tahu dengan cara saya sendiri."
Pak Teten Masduki (kini Kepala Kantor Staf Kepresidenan) kemudian telepon saya, bilang Presiden ingin ketemu saya besok. Saya bilang maaf saya sudah delay satu hari dan mesti ke Belanda. Kalau bisa minggu depan aja. Coba, orang kalau dipanggil Presiden kan biasanya batalin semua agendanya. Saya lalu bilang ke Pak Teten, dua jam setelah Presiden pergi, Ruang Satu Atap kosong kembali. Jadi bagaimana negeri ini? Orang yang kita pilih sebagai Presiden kok digituin?
Sikap Anda itu bikin banyak orang tidak senang kepada Anda.
Saya ngerti. Dengan cara-cara saya seperti itu, banyak orang enggak suka kepada saya. Tapi saya enggak pusing. I'm not doing something for the people personally, but for Indonesia. Saya tidak pusing karena enggak merasa bersalah. Silakan. Orang kan bisa lihat siapa yang standing.
Walau pada akhirnya dilaporkan ke KPK dan Kepolisian RI?
KPK, polisi, Kejaksaan, semuanya. You named it-lah.
Kembali ke soal perbincangan telepon Anda dengan Sofyan. Apa betul Anda bilang bahwa sebelumnya sudah menghubungi Rini dan Luhut Pandjaitan?
Oh, tidak ada. Saya enggak bilang begitu. Saya ngomong itu di depan staf saya pada Senin. Karena kantor digempur kayak gitu, kan saya mesti mengumpulkan staf.
Apa backup Presiden dan Wakil Presiden setelahnya? Sebab, kan Anda bilang kalau tidak ada backup akan mundur.
Saya enggak usah ngomonglah, Anda lihat saja bagaimana reaksi Presiden dan Wapres.
Apakah betul, gara-gara penggeledahan di kantor Anda, Budi Waseso dicopot sebagai Kepala Bareskrim?
Ah, itu kan pertimbangan Presiden. Banyak orang tanya beking saya siapa. Beking saya ya performance saya.
Setelah Budi Waseso dicopot sebagai Kepala Bareskrim, dia mengontak Anda?
Enggak pernah. Saya enggak kenal beliau.
Kenapa soal penggeledahan itu Anda berkomunikasi dengan Sofyan Djalil?
Sofyan Djalil is my friend. I know him dan dia tahu bagaimana sikap saya. Sewaktu saya masuk ke sini kan bagi kalian mungkin cukup aneh, ya. Saya sewaktu diundang interview dengan dia dan sekjennya untuk posisi direktur utama holding company belum kenal dia. Saya bilang, kalau saya direktur, akan saya ubah tujuan perusahaan ini, 20 persen profit, 80 persen pelayanan. Sebab, kalau mikirnya hanya profit, orang enggak mau investasi. Kalau investasi, nanti yang dapet enaknya kan direksi setelah saya.
Seperti apa hubungan Anda dengan karyawan?
Manusia selalu beda-beda, apalagi ini ada "saudara"-nya yang pernah dikeluarkan dan saudaranya di JICT yang memusuhi saya. Ini manusiawi sekali, dan saya enggak apa-apa. Kalau mau ngebocorin rahasia kantor ini, silakan saja. Semua yang saya kerjakan itu clear dan untuk banyak orang. Jadi saya enggak pernah takut, tuh. Biarin aja.
Sebagian pekerja Anda ada yang merasa diperlakukan tidak adil?
Saya ini lahir dari perusahaan, bukan pemerintahan ataupun parlemen. Orang kan kebanyakan cari popularitas agar disenangi banyak orang. Saya enggak pusing oleh itu. Kalau ada orang enggak suka kepada saya, itu urusannya dia. Tapi orang juga harus fair, hasil akhirnya kayak apa. Adakah di negeri ini ada orang yang mengirim 170 orang ke luar negeri yang hampir seluruhnya dibiayai kantor? Sekarang di sini umur pekerjanya awal 30 atau 40-an. Nah, orang-orang yang kami siapkan untuk masa depan jarang yang usianya 50-an tahun.
Lalu kenapa ada orang-orang di JICT yang memprotes Anda?
Sebelumnya, JICT bukan punya kami. Gaji manajer senior di sana Rp 99 juta, lebih tinggi daripada gaji menteri. Yang lulusan SMA gajinya Rp 37 juta. Di Jakarta itu rata-rata gajinya US$ 6.572 sebulan. Dibanding Vietnam, Cina, Thailand, kita lebih tinggi. Rotterdam dan Inggris lebih tinggi daripada kita, tapi kan biaya hidup di sana juga tinggi. Terus bicaranya ingin operasi biaya sendiri karena nasionalis. Nyambung, enggak? Kalau dia nasionalis kan gajinya enggak bisa segini.
Kalau hubungan Anda dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli bagaimana? Di media, Anda dan Rizal terlihat kurang akur.
Bukan masalah enggak akur, tapi beliau kan menteri. Daripada saya dinilai tukang melawan terus, jadi saya diam, mulanya. Tapi, karena cara dan statement-nya sudah berlebihan, mesti saya setop itu. Supaya masyarakat jangan percaya bahwa itu benar. Kalau dia ngomong begitu lalu enggak ada yang membantah bahwa itu salah, masyarakat akan percaya hal yang enggak benar. Enggak boleh itu. Makanya saya bilang Pak Menteri harus belajar lagi.
Sebenarnya apa yang membuat Rizal beraksi menghancurkan beton penutup rel di Priok?
Kan, ada rel kereta api di situ, nah itu bisa diangkat. Memang sudah disediakan untuk gerbong yang datang dua tahun sekali. Makanya, sewaktu beton itu akan diangkat, direktur anak perusahaan saya langsung maju ke depan, bilang jangan.
Soal kereta pelabuhan, sebenarnya kan sudah digagas Ignasius Jonan sejak ia masih di PT Kereta Api Indonesia. Kabarnya, sekarang sudah ada kesepakatan.
Orang berpikir saya menentang kereta api masuk ke Priok. Saya tidak pernah menentang. Cuma, saya bilang, jangan pernah bermimpi kereta api bisa menyelesaikan kemacetan. Kalau kereta api masuk ke Priok, mendapat market share 3 persen saja sudah istimewa. Sebab, di Jepang, yang railway-nya banyak, market share-nya hanya 3,8 persen. Kalau hanya 3 persen lalu kita berfokus ke situ dan enggak mikirin yang lain, ya, enggak bisa mengatasi kemacetan.
Anda dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan beberapa kali berbeda pendapat, ya?
Sekarang sudah baikan. Saya merasa di-support oleh dia, jadi enak kerjanya.
Dulu Anda sempat menyiapkan pelantikan Presiden di pelabuhan, tapi batal. Padahal sudah keluar banyak biaya ya untuk itu?
Saya belum kenal Pak Jokowi sebelum beliau jadi gubernur. Setiap ada masalah terkait dengan pelabuhan, besoknya dia akan datang kemari. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi bonding-nya dimulai dari situ. Kemudian sewaktu kampanye presiden kan dia ke sini, saya briefing soal Pendulum Nusantara, yang kemudian disebut tol laut.
Sempat banyak yang memprotes ketika Anda membikin komite pengawas atau oversight committee?
Sebelum proyek Priok dan JICT mulai, kami bikin oversight committee, yang isinya orang-orang kredibel sesuai dengan banyak saran. Sewaktu kami briefing, saya bilang tolong dilihat proses kami, lalu mengumumkannya ke publik secara periodik agar transparan. Saya juga mengumumkan di koran pada 4 dan 5 Agustus lalu.
Rizal Ramli menyebut Anda "ngadu duit" karena beriklan miliaran rupiah di koran.
Saya melakukan itu bukan hanya sekali, lho. Saya sengaja bikin itu karena orang harus tahu company ini jalan dan saya punya kewajiban mengumumkan ke publik bahwa ini memang investasi besar. Enggak ada maksud mau ngelawan Rizal. Iklan bukan buat itu.
Anda bilang sudah membikin Pelindo II sangat kaya. Itu dari mana saja sampai asetnya berlipat?
Pendapatan kami kan banyak. Orang pikir saya naikin tarif. Enggak, padahal servis jadi lebih baik dan cost-nya customer jadi lebih murah.
Itu secara perusahaan. Lalu apa saja sumbangan Pelindo untuk pembangunan nasional?
Ada enggak kantor yang bikin studi padahal semestinya itu dikerjakan negara? Studi yang saya bayar ke Mckinsey, World Bank, dan lain-lain itu senilai US$ 8 juta. Walau itu bukan kewajiban saya, tapi negeri ini butuh, dan saya mau mengerjakannya. Lalu masalahnya apa?
Studi itu lalu dipakai untuk apa?
Menjadi konsep Pendulum Nusantara dan dwelling time jadi isu. Saya bilang ke DPR, jangan lihat US$ 8 juta ini sumbangan cuma-cuma. Enggak. Kalau semuanya baik, saya juga ikut tumbuh. Makanya sekarang kami sedang dalam proses membangun perusahaan besar di Sorong. Sebelum akhir tahun ini akan dimulai. Kemudian kami dalam proses—ini sudah diizinkan Pak Jonan—minta 35 pelabuhan kecil di Indonesia timur. Sekarang itu pelabuhan-pelabuhan perintis. Kalau dikelola seperti sekarang, seratus tahun lagi masih jadi perintis. Tapi, give it to me, dan akan saya develop itu menjadi satelit yang menyala semua seperti Sorong.
Ini berhubungan dengan rencana Jonan bikin jalur kereta di Indonesia timur?
Februari lalu, saya dipanggil Presiden. Saya, Bu Rini, dan Pak Tjipto (Dwi Soetjipto, bos PT Pertamina). Semua orang bilang logistic cost kita tinggi. Tapi semua orang enggak tahu "sakit"-nya itu kayak apa dan dibenerinnya pakai apa. Pusing, lalu dikasih painkiller. Padahal kan itu tidak mengobati. Saya sampaikan ke Presiden dan Pak Rhenald Kasali, problemnya adalah menteri-menteri bikin program yang enggak in line dengan program Bapak.
Contohnya, pemerintah akan bikin jalan tol Sumatera dari Aceh sampai Lampung. Saya bilang itu perlu sekali, tapi prioritas paling belakang. Sebab, kalau kayak begitu, kita promosi angkutan darat yang mahal dan highly polluted. Semestinya diubah, dari Belawan, Medan, Sibolga itu dibawa ke laut. Lalu di Kalimantan yang mau dibikin rel kereta api. Buat apa? Kenapa enggak memanfaatkan sungai karena hampir semua kota besar di sana dilewati sungai? Lalu di Sulawesi semua kotanya punya pelabuhan kecuali Toraja. Jadi seharusnya yang dipakai angkutan laut. Ini kan simple logic.
Tapi masukan Anda sepertinya tidak berjalan karena Jonan bilang proyek kereta Sumatera dan Sulawesi tetap dilanjutkan.
Itu urusan beliau, yang penting saya sudah menyampaikan.
Kemarin Tim Satuan Tugas Dwelling Time mengusulkan denda Rp 5 juta per hari untuk peti kemas yang parkir lebih dari tiga hari di pelabuhan.
Kemarin saya kirim pesan pendek ke beberapa menteri karena ada surat dari Pak Rizal Ramli. Pertama, dia minta supaya di Pelindo II pakai standar first come first serve untuk kapal. Kelihatannya kan itu bagus. Yang kedua, kontainer yang sudah lebih dari tiga hari harus dikirim keluar. Kalau lebih dari itu, denda Rp 5 juta per hari. Saya kirim komen. Pertama, di sini saya memang sengaja creating internal competition. Di sini saja ada enam terminal yang berkompetisi dan punya customer sendiri-sendiri. Jadi kalau first come first serve enggak bisa begitu. Kalau tujuannya agar enggak ada waiting time, caranya bukan begitu. Kalau saya laksanakan surat itu, kacau-balau pelabuhan.
Yang soal tiga hari, itu untuk menolong siapa dulu? Mengurang dwelling time? Katakanlah kalau dwelling time di Priok tiga hari. Kalau kemudian dikeluarin ke tempat orang lain lagi, kita enggak tahu fasilitasnya kayak apa. Dwelling time kan enggak hanya di sini, tapi juga di sana. Malah lebih mahal karena harus sewa lagi di luar. Nah, di kami, sistem record-nya jelas. Sedangkan kalau di luar, menurut saya, makin brengsek lagi dwelling time-nya.
Presiden tahu bahwa Anda tidak melaksanakan surat keputusan menteri?
Saya bilang sewaktu di Beijing kepada Presiden, "Pak Presiden, ada lima SK Menteri Perhubungan yang tidak saya laksanakan." Kayak gini-gini itu saya dibilang sombong. But telling the truth is expensive.
Anda enggak ada takutnya ya kepada orang? Semua dilawan.
Saya enggak tahu, takut itu apa, sih? Orang-orang itu sandiwara semua, sementara saya ingin jujur kepada diri sendiri. Apa yang saya pikir benar harus saya sampaikan. Saya justru menghadapi masalah paling sulit ketika kasus makam Mbah Priok. Itu karena saya baru datang dari Cina dan belum banyak orang yang saya kenal.
Richard Joost Lino Tempat dan tanggal lahir: Ambon, 7 Mei 1953 | Karier: Staf Direktorat Jenderal Hubungan Laut Departemen Perhubungan (1978-1979), Manager of Technical Department Tanjung Priok Port Development Project (1978-1978), Head of Civil Engineering Department Technical Division Pelabuhan Tanjung Priok (1980-1982), Head of Planning and Development Department Technical Division Pelabuhan Tanjung Priok (1983-1984), Head of Planning Subdirectorate Pelindo II (1984-1988), Head of Civil Engineering Subdirectorate Pelindo II (1988-1990), Senior Advisor PT Terminal Batubara Indah (1990-1992), Senior Port Planner PT Dwipantara Transconsult Jakarta (1992-2005), Managing Director of Port Guigang, Guangxi, Cina (2005-2008), Direktur Utama PT Pelindo II (2009-sekarang) | Pendidikan: Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (1976), The International Institute for Hydralic and Environmental Engineering, Delft, Belanda (1978), Kursus Sediment Transport in Estuarine and Coastal Engineering di Coastal Research Centre, Poona, India (1979), Senior Course tentang Rekayasa Pelabuhan di Tokyo, Jepang (1980), Kursus manajemen proyek di Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia (1981), Master of Management Institute for Education and Development of Management Jakarta (1989) | Penghargaan, di antaranya: The Best Chief Executive Officer versi majalah Tempo (2012), Best Innovative CEO versi majalah BUMN Track (2012 dan 2011) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo