Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Alatas adalah diplomat terbaik yang pernah dipunyai Republik Indonesia. Lincah, penuh humor, dengan temperamen seimbang, ia pandai berbicara dan menguasai bahasanya dengan sempurna. Lebih dari itu: ia mempunyai pandangan strategis, dan dipercayai—baik oleh kawan maupun lawan.
Dengan diplomasinya yang piawai, Alex—demikian ia dipanggil di antara sahabat—selalu menemukan jalan untuk mencapai tujuan. Kepiawaiannya diakui diplomat berbagai negara. Olara Otunnu, diplomat unggul dari Afrika dan Direktur United Nations Peace Academy, pernah mengatakan kepada saya, sangat disayangkan Ali kehilangan kesempatan menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa karena masalah Timor Timur yang dihadapi Indonesia pada waktu itu.
Dia berpendapat, Ali adalah tokoh yang dipercayai dunia internasional karena keunggulannya sebagai diplomat, kepribadiannya matang dan seimbang, sehingga akan bisa menjadi model seorang Sekretaris Jenderal PBB dari dunia berkembang yang berhasil.
Seorang diplomat Meksiko, setelah bertemu dengan Widjojo Nitisastro di Watergate Hotel, Washington, DC, pada pertengahan 1970-an, mengatakan kepada saya, seyogianya Widjojo dan Ali Alatas dibuatkan patung oleh negara-negara berkembang karena jasa-jasa keduanya dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam Conference for International Economic Cooperation (CIEC) di Paris, yang digagas Presiden Prancis Giscard d’Estaing. Ali adalah mata lembing Indonesia dan negara berkembang ketika bertugas sebagai Wakil Tetap Republik Indonesia di Jenewa, yang sehari-hari menangani masalah-masalah dalam CIEC tersebut. Berkat perjuangan Ali, kepentingan negara berkembang diperhitungkan dalam perekonomian dunia, terutama dalam mencegah gejolak harga-harga komoditas yang berasal dari negara-negara itu.
Ali Alatas sangat berjasa untuk ASEAN, terutama dalam usaha merumuskan ideologi ASEAN di bidang keamanan, yaitu ide ketahanan nasional dan ketahanan regional yang digagas Indonesia. Ia juga berhasil menyelesaikan konflik Kamboja dengan melanjutkan inisiatif Indonesia berupa Jakarta Informal Meeting, yang dimulai oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, dan dengan mengetuai Konferensi Paris bersama Prancis.
Ia kemudian masih ikut menyelesaikan pertikaian antara Hun Sen dan Pangeran Ranaridh pada 1997. Sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, ia sangat dihargai dalam usaha-usahanya di kawasan Asia Tenggara dan di ASEAN. Selain ikut menyelesaikan masalah Kamboja, Indonesia telah membantu penyelesaian konflik di Filipina Selatan antara Moro National Liberation Front di bawah pimpinan Nur Misuari dan pemerintah Filipina.
Setelah tidak menjabat Menteri Luar Negeri, Ali Alatas menjadi anggota Eminent Persons Group (EPG), yang ditugasi ASEAN Summit memberikan masukan tentang Piagam ASEAN yang sangat maju untuk masa depan ASEAN. Sayang, pada akhirnya usul-usul penting dalam draf yang dihasilkan EPG itu tidak diterima oleh pemerintah ASEAN, dan hasil akhir yang dicapai tidak seprogresif usul-usul semula.
Lebih dari diplomat unggul, Ali adalah patriot sejati dan negarawan yang selalu loyal kepada Republik. Dalam karangan saya yang dimuat Washington Quarterly beberapa tahun lalu, saya pernah ragu apakah Republik Indonesia dapat mempertahankan kesatuannya setelah mengalami begitu banyak konflik, seperti di Aceh, Maluku, Papua, dan Kalimantan. Saya masih ingat, Alex menegur saya atas pernyataan tersebut dan menyatakan bahwa menurut dia, bagaimanapun, Indonesia akan tetap bersatu.
Patriotismenya sangat menonjol dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia menghadapi masalah yang ditimbulkan aneksasi Timor Timur oleh pemerintah Soeharto. Adam Malik (dan Ali Moertopo) menghendaki penyelesaian diplomatik dengan dileburnya Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan masa percobaan delapan tahun sebelum dilakukan referendum. Tapi usaha ini gagal karena ulah Portugal sendiri, sehingga akhirnya dilakukan aneksasi militer untuk mencegah Unilateral Declaration of Independence oleh Fretilin menjadi kenyataan, pada November 1975.
Ketika pemerintah Habibie memutuskan memberikan referendum agar rakyat Timor Timur segera memilih untuk merdeka atau tidak, Ali Alatas sedang berunding dengan Menteri Luar Negeri Portugal agar ada masa otonomi penuh sebelum referendum diberikan. Alilah yang paling kecewa terhadap keputusan pemerintah Habibie, tapi ia tetap tunduk kepada putusan mendadak tersebut.
Ali Alatas memang percaya kepada doktrin luar negeri yang bebas dan aktif serta selalu berusaha melaksanakannya. Dalam usaha-usaha ini, dua negara adikuasa pada waktu itu, terutama Amerika Serikat, sangat menghargainya. Duta Besar Amerika Serikat di PBB pada 1980-an yang sangat konservatif, Jeane Kirkpatrick, mengakui banyak usul yang diajukan Indonesia sewaktu Ali menjabat duta besar di PBB. Atas usahanya pula banyak hubungan negara berkembang dengan negara Barat dipererat meskipun landasan kebijakan mereka kadang berbeda.
Sebagai diplomat, Ali berjasa membantu Duta Besar Indonesia di Washington, Soedjatmoko, merehabilitasi hubungan yang penting dengan Amerika Serikat pada awal pemerintahan Soeharto. Ali juga sangat berjasa membantu Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri, bahkan menjadi kepala staf ketika Adam menjadi wakil presiden.
Dalam usaha-usaha di bidang ekonomi internasional, Ali sangat dipercayai kelompok teknokrat yang dipimpin Widjojo, dan dalam banyak hal Menteri Luar Negerilah yang memimpin tim koordinasi ekonomi luar negeri Republik Indonesia.
Di bidang keamanan, ia sangat dekat dengan Benny Moerdani, sehingga perbedaan antara Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan dalam menghadapi masalah keamanan tertentu, seperti masalah Kamboja, dapat diselesaikan secara baik dan positif.
Ali Alatas pulalah, yang sangat maju pemikiran dan kepekaannya terhadap masalah hak asasi manusia, yang berhasil meyakinkan Soeharto tentang kegunaan dan pentingnya dibentuk Komite Nasional Hak Asasi Manusia untuk Republik Indonesia. Mungkin sekali Soeharto dan Ali berbeda tentang tujuan pembentukan komisi itu, tapi setelah meluncur dan berkembang dengan pesat, Komite Nasional Hak Asasi Manusia punya iramanya sendiri.
Ketika Presiden Soeharto menjadi Ketua Gerakan Nonblok pada awal 1990-an, Ali berusaha merombak gerakan itu untuk lebih memperhatikan kerja sama di bidang ekonomi. Sayang, maksud baik ini terbentur pada masalah pelaksanaan dan kontinuitas yang selalu menjadi kelemahan Gerakan Nonblok.
Bagi Center for Strategic and International Studies (CSIS), Ali Alatas lebih dari itu semua, karena ia adalah teman dan anggota keluarga besar CSIS. Adalah kehormatan yang tinggi bagi CSIS bahwa ia bersedia menjadi anggota Dewan Penasihat CSIS. Beratus kali ia ikut berbincang-bincang dan mengemukakan pandangan dan ide pada pertemuan yang diselenggarakan CSIS, baik di dalam maupun di luar negeri. Kami selalu yakin ia dapat diandalkan bila menjanjikan sesuatu. Selama bersama di CSIS, kami mendapatkan pula ciri lain Ali Alatas, yaitu selalu bekerja keras serta perfeksionis dalam tulisan dan pandangan yang diajukannya.
Sekarang ia sudah tiada. Telah pergi seorang teman, seorang mitra bergulat di bidang hubungan internasional demi kepentingan Indonesia, seorang patriot sejati yang selalu dapat diandalkan bantuan dan pemikirannya bila diperlukan oleh siapa pun: pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga swadaya masyarakat, wiraswasta, ahli hukum, universitas, CSIS, dan lain-lain. Kami berjanji melanjutkan perjuangan dan pengorbanannya.
Jusuf Wanandi, Wakil Ketua Dewan Penyantun Yayasan CSIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo