Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Achmad Zen Umar Purba
MENGGALI perut bumi jelas perlu aturan. Inilah yang ditunggu para penambang lokal dan asing. Bukan hanya karena aturan lama, yakni Undang-Undang Nomor 11/1967 tentang pertambangan, sudah usang, melainkan jiwa dan substansi undang-undang itu pun sudah jauh ketinggalan.
Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sudah dimasukkan ke DPR sejak beberapa tahun lalu. Namun, sejak pertengahan 2008, pembahasannya praktis tak terdengar. Itu sebabnya, rapat kerja Kamar Dagang dan Industri pada November lalu menjadi penting antara lain karena mendiskusikan nasib RUU yang dirindukan ini.
Sama seperti Undang-Undang 1967 itu, RUU ini mengandung berbagai pokok pikiran kontemporer mewakili zamannya. Misalnya, prinsip demokratisasi menegaskan, RUU ini tak bersifat sentralistis—menyebabkan banyaknya ketentuan menyangkut penyertaan pemerintah daerah. Namun, dalam kaitan ini, pemerintah pusat berhak melakukan ”pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah”. Masuknya hal ini tentu tak lepas dari kejadian akhir-akhir ini, yakni kerapnya peraturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Terkait dengan demokratisasi adalah soal partisipasi masyarakat. Aturan semacam ini sudah seyogianya mengingat kegiatan mengorek isi perut bumi berkaitan dengan bentangan kawasan yang luas: vertikal dan horizontal.
Namun RUU ini ternyata tak mengandung ketentuan mengenai ”jaminan hak-hak masyarakat adat”—seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi 2001. Partisipasi DPR pun, baik dalam kaitan dengan persetujuan maupun konsultasi, dengan sendirinya muncul dalam berbagai ketentuan. Makna sikap RUU ini sangat positif. Dulu pun kontrak karya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Namun partisipasi lembaga ini jangan sampai memperlambat proses pengusahaan pertambangan.
RUU ini di lain pihak juga menunjukkan peningkatan rasa percaya diri negara selaku penguasa sumber daya alam nasional sesuai dengan amanat konstitusi. Pengusahaan pertambangan dilakukan dengan sistem perizinan, tidak lagi kontrak, atau bentuk perizinan daerah bagi golongan bahan galian tertentu. Tampaknya, roh RUU ada pada sistem perizinan ini, yang implikasi dan konsekuensi hukumnya berbeda dari kontrak. Makna izin sudah terang, satu arah dari pemberi ke penerima izin dengan segala implikasi hukumnya.
Jelas, yang ini pastilah bukan berita gembira bagi penambang. Tapi negara berhak menetapkan sistem pengusahaan sumber daya alamnya. Bisa diperkirakan, dengan sistem baru ini negara hendak mempertegas posisinya sekaligus merespons kritik selama ini tentang lemahnya sikap negara terhadap pemegang kontrak. Namun, pada akhirnya, pasar akan turut juga menentukan.
Yang jadi persoalan, dan yang ini sudah lama jadi pengganjal antara eksekutif dan legislatif, adalah menyangkut ketentuan peralihan. Akankah rancangan undang-undang ini, begitu jadi undang-undang, diberlakukan langsung terhadap penambang yang sekarang masih memegang kontrak, seperti pandangan kebanyakan anggota DPR, atau, misalnya, ditunggu sampai berakhirnya kontrak seperti pandangan pemerintah. Mereka yang berpandangan pertama beranggapan bahwa Indonesia, sebagai negara, berdaulat penuh menentukan aturan peralihan yang disukainya sendiri. Adapun pandangan kedua berpegang pada penghormatan kontrak, yang juga merupakan prinsip universal.
Sebetulnya perjanjian atau kontrak dalam RUU ini tidak diharamkan total. Perjanjian usaha pertambangan bisa diadakan khusus di wilayah pencadangan negara. Menurut RUU, di samping wilayah pencadangan negara, ada wilayah usaha pertambangan dan wilayah pertambangan rakyat. Wilayah pencadangan negara, sesuai dengan namanya, dimaksudkan sebagai kawasan khusus. Wilayah seperti ini dapat diusahakan setelah melalui berbagai pertimbangan khusus, antara lain pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, sumber devisa negara, dan penggunaan teknologi tinggi serta modal investasi yang besar.
Setelah dilaporkan ke DPR, penambangan di wilayah pencadangan negara—melalui perjanjian usaha pertambangan—diberikan ke badan usaha dengan prioritas badan usaha milik negara atau perusahaan yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh warga negara Indonesia secara perorangan. Ini mengindikasikan, investor asing dapat memiliki perjanjian usaha pertambangan asalkan ia berwujud PT penanaman modal asing. Berbeda dengan di bidang minyak dan gas (migas), investor asing dapat menandatangani kontrak kerja sama seperti production sharing contract dengan tetap berstatus badan hukum asing atau disebut bentuk usaha tetap.
Seperti pada kontrak kerja sama untuk migas, perjanjian usaha pertambangan pun mesti memuat berbagai substansi pokok, antara lain jaminan kesungguhan; modal investasi; perpajakan; lokasi pengolahan dan pemurnian; penyertaan masyarakat sekitar; divestasi; bagian penerimaan negara/daerah; pengembangan tenaga kerja Indonesia; pengelolaan data mineral dan batu bara; dan penguasaan, pengembangan serta penerapan teknologi pertambangan mineral dan batu bara.
Pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan dan penguasaan data, merupakan ketentuan sangat strategis dalam penambangan, terutama jika dikaitkan dengan konsep ”alih teknologi”. Sayangnya, justru ihwal alih teknologi ini tak disebut sekali pun dalam RUU ini. Dalam Undang-Undang Penanaman Modal (UU No. 25/2007) terdapat ”asas kemandirian” yang menggariskan, sampai kapan pun kita tidak boleh sepenuhnya bergantung pada modal asing. Asas ini mendorong dikembangkannya konsep alih teknologi. Mumpung belum disahkan, RUU Pertambangan ini tentulah masih bisa mengakomodasi masalah yang fundamental bagi strategi pembangunan kita tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo