Buku terbitan Malaysia boleh masuk ke Indonesia. Seperti buku asing lainnya, mereka juga terkena pemeriksaan kejaksaan dan bea masuk. BUKU-buku asal Malaysia mungkin akan semakin lancar mengalir ke sini. Rabu pekan lalu, hadir sebuah galeri buku yang khusus memajang buku-buku Malaysia, di Jalan Kwitang, Jakarta. Galeri Buku Malaysia (GBM) itu dibuka secara resmi oleh Menteri P dan K Fuad Hassan bersama Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato' Abdullah Zawawi bin Haji Mohamed. Ada 1.500 judul buku, dari berbagai bidang, dipamerkan di ruangan berhawa sejuk di sana. Ada novel, jurnal, sains, puisi, farmasi dan lain-lain. Kehadiran GBM itu, untuk sementara, memang belum disebut sebagai bisnis. "Untuk merapatkan pemahaman dua bangsa bertetangga," kata Dato' Haji Abd. Rahim Bakar, Pimpinan Lembaga Pengelola Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (DBP). Usaha itu, katanya, dirintis sejak 3 tahun lalu, ketika DBP ikut pameran, bekerja sama dengan penerbit Balai Pustaka di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Ujung Pandang. DBP dan beberapa penerbit Malaysia juga sudah terlibat dalam pameran dengan Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI) setiap tahunnya, sejak 1983. Untuk membuka GBM, ternyata jalannya tak terlalu mulus. PT Asmino yang mengelolanya mempersiapkan hampir setahun. Masih banyak hambatan ketika buku-buku itu tiba di bandara SukarnoHatta. Hampir dua minggu buku-buku itu nongkrong di gudang. Padahal, pengiriman sesuai dengan ketentuan yang berlaku yakni ada rekomendasi Departemen P dan K, Kedutaan Malaysia, Departemen Perdagangan, KBRI di Kuala Lumpur. "Biaya siluman di sana-sini ternyata masih diperlukan," kata seorang pengurus GBM. Seretnya proses pemasukan buku dari negeri jiran itu bukan tanpa alasan. Bahasa Malaysia tak beda jauh dengan bahasa Indonesia. Namun buku-buku itu tak bisa leluasa membanjiri Indonesia karena ada ketentuan tak boleh mengimpor buku atau barang cetakan berbahasa Indonesia (TEMPO, 10 Agustus 1991). Kini, sebelum ketentuan itu dicabut, buku-buku berbahasa Melayu Malaysia itu diperlakukan seperti buku bahasa asing lainnya. Salah satu pegangan petugas bea cukai ialah kawat Departemen Perdagangan kepada Dirjen Bea dan Cukai 1984 yang isinya antara lain: "Bahasa Malaysia, meskipun ada persamaannya dengan bahasa Indonesia, dikategorikan sebagai bahasa asing". Dengan demikian, buku-buku itu memang boleh diimpor. Namun harus ada izin lebih dahulu dari Kejaksaan Agung. Sementara itu, Departemen P dan K sendiri juga mengeluarkan petunjuk pelaksanaan impor lektur serta barang cetakan lainnya untuk pelajar dan mahasiswa, termasuk barang cetakan dalam huruf Braille pada 1985. Yang boleh diimpor ialah buku, majalah, brosur, peta globe, dan seterusnya, yang bukan berbahasa Indonesia. Bahasa Melayu Malaysia sejajar dengan bahasa Melayu Brunei atau bahasa Inggris. Sampai saat ini ketentuan itu belum dicabut, atau diperbaiki. Saringan lainnya ialah UU tahun 1963 tentang ketentuan pengawasan bagi buku atau barang cetakan yang diimpor yakni harus mendapat persetujuan dari Kejaksaan Agung. "Kami akan mengikuti prosedur itu," kata Dubes Dato' Abdullah Zawawi. Karena banyak rambu bagi buku Malaysia itu, beberapa sastrawan Malaysia yang sempat berkunjung ke Indonesia Juli lalu mengeluh. Karya sastra mereka kurang dikenal di Indonesia karena "rambu impor" itu. Sebaliknya, karya sastrawan Indonesia dikenal dan dibaca banyak orang di Malaysia. Malah beberapa menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Misalnya, Nyanyi Sunyi-nya Amir Hamzah atau Salah Asuhan karya Abdul Muis. Bahkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer -- yang dilarang di Indonesia -justru populer di Malaysia. "Kami membacanya untuk seni dan sastra," kata Dubes. Koridor itu akan semakin terbuka. Menteri Fuad Hassan ketika ketemu rekannya dari Malaysia, Menteri Pendidikan Dato' Seri Anwar Ibrahim, pada 1986, masalah perbukuan ini dibicarakan pula. Disepakati, buku Malaysia akan gampang masuk Indonesia. Misalnya, untuk kepentingan pameran. Menteri mengakui bahwa ketika itu memang masih ada hambatan untuk memasukkan buku Malaysia. "Dari segi bahasa, tak diperlakukan sebagai buku asing. Tapi kalau untuk dagang, ya ada ketentuan impor," katanya pada TEMPO. Yang pasti dapat keringanan adalah buku-buku pendidikan. Pihak Malaysia tinggal melapor ke Departemen P dan K yang akan membuat rekomendasi ke Departemen Perdagangan untuk pembebasan cukai. Sampai ada perubahan peraturan mengenai impor buku itu, yang dibebaskan bea masuknya baru buku sekolah atau untuk pameran seperti dipajang di galeri itu. Namun, setelah sepekan dipajang, buku-buku itu akan dijual. Banyak peminat yang ingin membeli buku-buku berbahasa Melayu itu. Memasuki hari ketiga pameran, sekitar 100 buku sudah dipesan. Yang laku keras antara lain buku sejarah, hukum, dan novel. Nampaknya pihak Malaysia tak terlalu peduli dengan pengalaman tak menyenangkan pemasaran buku selama ini. Sejak dua tahun lalu, buku-buku Malaysia sempat dititipkan di toko buku Wali Songo, milik Almarhum Mas Agung. Kini dengan modal hampir Rp 8 milyar, bisnis buku Malaysia diharapkan bisa berjaya. "Kami akan menjualnya lebih murah 20% ketimbang buku terbitan Indonesia," kata Sjamsoeddin, Direktur Utama PT Asmino. Apalagi perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan, percetakan, toko buku itu telah ditunjuk oleh pemerintah Malaysia sebagai distributor tunggal buku-buku asal negeri jiran. Semua penerbit Malaysia -ada 20 penerbit besar, dari 150 yang aktif -hanya menyalurkan bukunya lewat PT Asmino. GBM dari mula memang bukan cuma dirancang untuk pameran dan menjual buku. Galeri itu nantinya juga akan dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan antarpenerbit Malaysia dan Indonesia. Misalnya diskusi soal hak cipta, temu penulis atau sastrawan. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini