Filsafat dan ilmu pengetahuan harus saling melengkapi. Masalah filsafat disajikan dalam dialog filsuf dan ilmuwan. ESEI FILSAFAT UNTUK MASA KINI Pengarang: Louis Leahy Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, x, 198 halaman. TEMA-TEMA klasik dalam filsafat masih tetap aktual. Masalah kehidupan manusia, yakni kelahiran, kehidupan, dan kematian, menjadi bahan perbincangan sepanjang masa. Masalah ketuhanan tetap aktual, mulai dari zaman Yunani kuno sampai zaman teknologi. Ini ditunjukkan dalam buku Esai Filsafat tulisan Prof. Dr. Louis Leahy. Pada bagian akhir buku ini, Leahy menegaskan lagi bahwa metafisika yang berarti pula seluruh filsafat masih tetap laku. Ia menekankan hal yang dilupakan dan sering direndahkan oleh filsafat dan teologi Barat, yakni aspek kosmologis (metafisika mengenai alam). Padahal, masalah ini sangat penting, khususnya pada zaman ini, dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu fisika. Gaya pemaparan buku ini bersifat dialog. Terdapat sebuah pembicaraan antara seorang filsuf dan ilmuwan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pokok. Pertama, masalah klasik dikaitkan dengan pengalaman manusia kontemporer. Kedua, Leahy menampilkan hubungan filsafat dan ilmu-ilmu yang sekarang dan pertanyaan mengenai kehidupan seperti kematian, kejahatan dalam kaitan dengan pandangan yang bersifat optimistis dan pesimistis manusia modern terhadap kehidupan. Ketiga, penulis sering menampilkan dialektika dalam membahas masalahnya. Leahy mengawali bukunya dengan makna kehidupan. Di sana disampaikan dengan gaya dialektis, yakni tesis, antitesis, dan sintesis, dengan judul yang menggugah, "Penegasan Kehidupan", "Eksistensi yang Memberontak" dan "Keberanian untuk Berada". Dari seluruh diskusi yang bersifat dialektis ini, pengarang menyimpulkan: tugas manusia ialah mengambil kembali secara baru sebagai miliknya sendiri segala sesuatu yang semula dibebankan kepadanya dan bahkan keberadaan dirinya sendiri (halaman 27). Sifat dialektis ini tampak juga dengan jelas dalam pemaparan mengenai dua sikap yang bertentangan mengenai dampak ilmu pengetahuan, yakni optimisme naif dari kaum awam dan pesimisme dari ahli sains. Sebagai sintesis, Leahy menekankan orientasi baru dalam sains bahwa sains perlu terbuka kepada masalah-masalah yang penting dan krusial yang melampaui batas-batasnya. Dalam usaha mencari makna kehidupan manusia, filsafat dan ilmu pengetahuan tak boleh dipertentangkan, tetapi perlu ada dialog di antara keduanya. Dalam semangat C.G. Jung, seorang psikiater beken murid Sigmund Freud, ilmu pengetahuan mencari filsafat dan filsafat berterima kasih kepada ilmu pengetahuan yang menyiapkan data empiris. Seorang dokter dapat bertemu dengan pasien yang bosan dengan hidup atau putus asa, yang merupakan penyakit paling gawat saat ini. Di sini, si manusia dokter bergulat dengan makna hidup dan itu berarti ia menoleh ke filsafat (antroologis). Leahy sebagai seorang ahli filsafat juga mengajak kita berdialog dengan ilmuwan kontemporer seperti ahli saraf dan bedah, W. Penfield, ahli psikologi Abraham H. Maslow dan Moody, serta pemenang Nobel bidang medis J.C. Eccles. Namun, buku filsafat ini bukannya tanpa catatan. Leahy mengacu pada buku-buku yang ditulis sebelumnya. Itu berarti bahwa, bila ingin memahami secara mendalam masalah yang sedang dibahasnya, kita perlu membaca karangan-karangan Leahy yang lain. Ini menuntut kesibukan yang tidak sedikit bagi pembaca. Dari segi isi dan logika, bagian ketiga mestinya menjadi bagian pertama karena di bagian ketiga itu dibahas kontekstualisasi filsafat atau peranan filsafat untuk manusia dewasa ini. Bila dibutuhkan sebuah judul alternatif, kiranya buku ini lebih cocok berjudul Filsafat dalam Dialog. Judul ini lebih mewakili isi buku. Bukan hanya ajaran filosofis untuk manusia masa kini. Catatan lain adalah bahwa pengarang menyoroti masalah dengan tekanan pada metafisik (antropologi filosofis, teodise, dan kosmologi), dan kurang memberikan porsi yang memadai untuk ilmu pengetahuan modern yang menyangkut pula masalah epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan. Kedua hal yang disebut terakhir ini memang secara implisit ada, dan kurang muncul ke permukaan. Ada tiga hal yang membuat buku ini tetap relevan. Pertama, alur berpikir yang dipakai oleh pengarang ialah metafisika, tapi pembahasannya dalam bahasa modern sehingga tak mengesankan warna skolastik atau akademis. Hidup manusia mempunyai unsur metafisik dan fisik sekaligus sehingga dapat ditelaah oleh filsafat dan juga ilmu pengetahuan positif yang lain. Kedua, buku yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang lancar ini mengajarkan kita bahwa orang tak boleh sombong, baik dari segi filsafat maupun ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan adalah abdi kehidupan (anciilae vitae) sehingga keduanya tak boleh dipertentangkan. Perlu ada perkawinan berbagai ilmu. Pendekatan interdisipliner sangat dibutuhkan bagi manusia teknologis agar menjadi seimbang. Yang terakhir, buku Esai Filsafat ini menunjukkan bahwa perlu dicegah kecenderungan filsafat menjadi sangat positivistis dan ilmu pengetahuan "bermain" seolah-olah sebagai analisa metafisika. Lorens Bagus* *Dosen S-2 Jurusan Filsafat UI, Unpar Bandung, dan STF Driyarkara Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini