Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Membicarakan non pri

Buku "nonpri di mata pribumi" berisi berbagai pe- mikiran pejabat, bekas pejabat dan tokoh beken me- ngenai kaum nonpri. kesenjangan ekonomi salah satu penyebab ketegangan pri dan nonpri.

3 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesenjangan sosial dianggap menjadi penyebabnya. Peluang Cina di luar ekonomi sangat terbatas. PRIBUMI dan nonpribumi berada dalam satu wadah. Kali ini bukan dalam forum pengumpulan dana di hotel paling mewah Jakarta atau patungan bisnis milyaran. Juga bukan dalam arena pertentangan rasial. Tapi dalam sebuah buku, Nonpri di Mata Pribumi. Pekan lalu, buku yang disunting tokoh pembauran Junus Jahja itu berisi berbagai pemikiran pejabat, bekas pejabat, dan tokoh-tokoh beken mengenai kaum nonpribumi. Pendapat mereka dihimpun dari makalah atau pernyataan yang termuat di media massa. Mereka antara lain Menteri Rudini, L.B. Moerdani, Emil Salim, Siswono Yudohusodo, Radius Prawiro, Ali Moertopo, dan tak ketinggalan Pak Harto, Bung Karno, dan Bung Hatta. Para tokoh masyarakat yang dikutip antara lain Abdurrahman Wahid, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Sayidiman Suryohadiprojo. Semuanya ada 48 tokoh pribumi yang berbicara tentang soal keturunan Cina. Berbagai pendapat itu dikumpulkan Junus Jahja bertahun-tahun dan diterbitkan oleh Yayasan Tunas Bangsa. "Untuk sementara hanya dicetak 3.000 eksemplar. Harganya Rp 10.000," katanya. Kalau laku keras, 5.000 buah akan dicetak lagi. Harapannya mungkin terkabul. Di samping masalahnya lagi hangat, diskusi syukuran terbitnya buku itu pun sudah menarik sekitar 200 tokoh masyarakat. Tampil sebagai pembicara di aula PP Muhammadiyah Jakarta itu adalah Sayidiman, Jakob Oetama, dan Fahmi Idris. Ada dua hal yang menjadi benang merah pemikiran para tokoh dalam buku itu. Menurut para pembicara, ketegangan antara pri dan nonpri lebih banyak terjadi antara penduduk asli dan warga keturunan Cina. Yang juga terungkap, keturunan Cina dianggap susah membaur. Salah satu sebabnya adalah kesenjangan ekonomi. "Selama kesenjangan itu masih ada, maka gagasan pembauran hanyalah impian kosong," kata Sayidiman. Kesenjangan ekonomi ini sering menjadi pemicu berbagai kerusuhan rasial. Untuk itu, buku Nonpri di Mata Pribumi agaknya mencoba memberi jawaban. "Buku ini mencoba menggambarkan peta bumi pemikiran tentang usaha-usaha pembauran," kata Junus Jahja. Proklamator Bung Hatta dalam tulisannya "Warga Negara Indonesia Turunan Tionghoa", misalnya, memandang pangkal sulitnya pembauran berkaitan erat dengan faktor sejarah. Belanda ketika itu membedakan kelas warga negara. Orang Eropa kelas satu, Cina kelas dua, dan pribumi kelas tiga. "Belanda di Indonesia menimbulkan pertentangan kelas dengan perbedaan ras," tulis Bung Hatta. Dalam perjuangan kemerdekaan, mereka dianggap kurang partisipasi. Ketika mulai memperbaiki ekonomi, keturunan Cina lebih cepat berperan dan menikmati keuntungan. Menteri KLH Emil Salim dalam tulisannya "Membina Keselarasan Hubungan antara Pribumi-Nonpri" menunjuk sikap oportunistis keturunan Cina. "Nonpribumi selalu berorientasi dan selalu dekat pada pihak yang berkuasa," tulisnya. Ketika Belanda berkuasa, nonpri berpihak pada Belanda. Masa Jepang, nonpri mengabdi Jepang. Tegasnya, "Golongan nonpri bisa mengabdi semua pihak berkuasa dalam masa apa pun," katanya. Menteri Siswono Yudohusodo, yang juga dikenal sebagai pengusaha, mengungkap peta konglomerat Indonesia. Dari 40 konglomerat besar, hanya 25% yang pribumi. Yang tampak mencolok adalah nilai asetnya. Konglomerat pribumi hanya punya Rp 240 milyar sementara nonpri diperkirakan sebesar Rp 5.500 milyar. Namun, di luar bidang ekonomi tampaknya peluang keturunan Cina tak terlalu leluasa. Ketua PB NU Abdurrahman Wahid menulis, "jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah." Ia pun menunjuk adanya "kesepakatan" tak tertulis yang memperlakukan orang Cina yang kemudian berbentuk pembatasan ruang gerak mereka. "Mau jadi tentara? Boleh masuk Akabri, lulus jadi perwira. Tapi harus siap menerima kenyataan, tak akan naik pangkat lebih dari kolonel. Mau masuk politik? Bagus, tapi jangan menduduki jabatan kunci," demikian dalam tulisannya "Beri Jalan Orang Cina". Budayawan Umar Kayam, dalam "Frustrasi dan Stereotipe", memandang bahwa strategi pembauran telah membuat kedudukan Cina semakin sulit "Seandainya saya jadi Cina di negeri ini, tentu saya akan merasa frustrasi sekali," tulis Umar Kayam. Bahkan, kata guru besar UGM itu kaum pribumi masih berpandangan kuno terhadap kaum Cina. "Dalam keadaan sosial politik yang rawan, Cina selalu dijadikan tempat pelampiasan frustrasi," katanya. Salah satu pelampiasan frustrasi pernah terjadi dalam kerusuhan rasial Agustus 1973 di Bandung. Mengenai masalah itu, buku Nonpri di Mata Pribumi mengutip sikap Pak Harto yang tertulis dalam Otobiografi Pak Harto. "Peristiwa ini tak ubahnya dengan kejadian 10 Mei 1963, yang kalau tak cepat diatasi bisa menjalar dan sangat membahayakan usaha pembangunan kita." Bagian selanjutnya dikutip lagi, "Ketidaksenangan saya terhadap peristiwa ini adalah karena sebenarnya sekian tahun ke belakang saya sudah bicara mengenai orang-orang keturunan Tionghoa ini. Saya tahu itu soal yang sangat sensitif." Selanjutnya tertulis, "Kita harus menarik garis yang jelas antara orang Cina warga negara asing dan warga negara Indonesia keturunan Cina. Ia adalah warga negara Indonesia yang punya kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia asli." Memang, seperti pendapat Menteri L.B. Moerdani "Redam Isu Keturunan" bahwa isu keturunan akan sangat mudah menjalar menjadi isu mayoritas-minoritas yang akan semakin parah. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus