Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konglomerat Oei Tiong Ham dari Semarang merupakan kerajaan bisnis pertama di Asia Tenggara. Sikap anti-kapitalis dan anti-Cina pemerintah membuatnya ambruk. KONGLOMERAT OEI TIONG HAM: KERAJAAN BISNIS PERTAMA DI ASIA TENGGARA Penyunting: Yoshihara Kunio Penerjemah: A. Dahana Penerbit: Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1991, 379 hlm. BUKU yang membahas Oei Tiong Ham Concern (OTHC), sebuah konglomerat yang bermarkas di Semarang, boleh dihitung dengan jari tangan. Hanya ada tiga buah. Yang pertama adalah sebuah studi ringkas yang dibuat bersama oleh almarhum J. Panglaykim serta I. Palmier (1970). Ada lagi buku populer yang ditulis oleh bekas wartawan Liem Tjwan Ling (1979). Dan yang terbaru adalah buku Dr. Kunio Yoshihara, terbit dalam bahasa Inggris 1989, yang ingin saya bahas ini. Buku ini cukup menarik. Yoshihara profesor di Universitas Kyoto di Negara Sakura, adalah penulis buku kontroversial yang berjudul Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (1988), yang kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kapitalisme Semu di Asia Tenggara (1991). Ia tertarik pada OTHC karena kerajaan bisnis itu adalah pelopor dari semua konglomerat yang ada di Asia Tenggara sekarang ini. Tokoh Oei Tiong Ham kini hampir menjadi legenda. Misalnya asal-usul bisnisnya. Banyak yang mengatakan bahwa Oei Tiong Ham bukan seorang pendiri konglomerat itu. Ia hanya meneruskan perusahaan ayahnya, Kian Gwan, sebuah firma impor-ekspor. Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa Oei Tiong Ham pernah diberi modal oleh seorang Jerman, dan setelah berhasil dalam bisnisnya sendiri, ayahnya akhirnya menyerahkan firma Kian Gwan kepadanya. Yoshihara percaya pada cerita kedua. Suatu kenyataan, Kian Gwan menjadi perusahaan raksasa setelah ditangani Oei Tiong Ham. Di samping mengelola firma Kian Gwan, Oei Tiong Ham juga membangun OTHC. Oei Tiong Ham lahir di Semarang pada 1885. Ketika berusia tujuh tahun, ia dibawa ke Daratan Cina oleh ayahnya. Tidak lama kemudian, mereka pun balik ke Jawa. Jadi, Oei Tiong Ham bersekolah di sekolah Hokkian di Jawa dan juga dibesarkan di Jawa. Ia mengerti sedikit bahasa Cina dan Belanda, dan lebih fasih ngomong Jawa. Ketika berusia 20 tahun, ia telah terjun ke dalam usaha ayahnya. Kemudian ia ditunjuk sebagai opsir Tionghoa (dengan pangkat major) oleh penguasa Belanda dan menjadi seorang Cina yang berpengaruh di Hindia Belanda. Selain menjadi pedagang, ia juga mendapat monopoli untuk memungut pajak madat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keuntungan yang diperolehnya dari bisnis candu pada 1890 sampai 1903 berjumlah 18 juta guilder. Pada 1906 ia mendirikan Oei Tiong Ham Bank untuk menopang bisnisnya. Ia terjun ke bidang perkapalan dan angkutan serta industri gula. Di antara perusahaannya, NV Oei Tiong Ham Suiker Fabriekan (pabrik gula) yang paling terkenal dan juga terbesar. Karena itu, Oei Tiong Ham juga dikenal sebagai "Raja Gula". OTHC terus maju dan banyak cabangnya di mancanegara. Dengan istiIah sekarang, OTHC itu adaIah sejenis multinational corporation. Walaupun OTHC masih merupakan bisnis keluarga ia telah memakai manajer profesional dari luar keluarga Oei Banyak pengamat, termasuk Yoshihara, yang berpendapat bahwa sukses Oei sangat ditunjang oleh manajemen modern itu. Ketika Oei meninggal pada 1924 di Singapura, kekayaannya ditaksir 200 juta guilder. Konglomerat itu terus berkembang sampai Indonesia merdeka. OTHC mulai surut pada 1961, setelah diambil alih oleh pemerintah. Cabang-cabangnya di luar negeri yang masih bertahan pun mulai berjatuhan. Yoshihara mau menunjukkan, sukses OTHC telah menggugurkan mitos bahwa perusahaan Tionghoa semata-mata berbentuk kapital dagang dan bukan modal industri. Mereka tak punya minat untuk investasi di bidang industri dan manufacturing. Namun, Oei Tiong Ham lain. Ia menjadi bukti bahwa ada orang Cina yang berbuat demikian sejak zaman kolonial. Menurut Yoshihara, hal paling sulit yang dihadapi perusahaan Cina di Indonesia pada zaman pra-Orde Baru adalah intervensi pemerintah. Sikap pemerintah antikapitalis dan anti-Cina menjadi salah satu sebab tumbangnya kerajaan bisnis OTHC itu. Sebetulnya, robohnya OTHC itu sangat kompleks. Perpecahan dalam keluarga Oei yang besar itu juga merupakan sebuah faktor. Oei Tiong Ham memang punya keluarga yang besar: delapan orang istri resmi dengan 26 orang anak. Setelah Oei Tiong Ham tak ada, salah seorang anaknya (Oei Tjong Hauw) masih mampu mengendalikan keluarganya. Tapi sejak matinya Oei Tjong Hauw secara mendadak, kemelut pun menyusul. Saya kira ada satu pertanyaan menarik yang belum dijawab secara jelas dalam bab pengantar Yoshihara. Apakah benar bahwa konglomerat Oei Tiong Ham itu lain daripada konglomerat yang ada sekarang ini? Bukankah ia menjadi besar juga dengan lisensi istimewa, proteksi, subsidi, dan segalanya? Seperti Kapitalisme Semu, buku Yoshihara ini juga akan mengundang perdebatan. Buku yang terdiri dari sepuluh karangan ini memuat buah karya sejarawan Onghokham tentang kapitalisme Cina di Indonesia pada zaman jajahan Belanda, dua buah karangan Tjoa Soe Tjong (pengelola konglomerat tersebut) mengenai sejarah dan kasus legal OTHC, tulisan Charles Coppel, ringkasan buku Liem Tjwan Ling mengenai Raja Gula, dan karangan pendek Panglaykim/Palmier mengenai OTHC. Yang menurut saya paling menarik adalah wawancara Yoshihara dengan kedua anak Oei Tiong Ham (Oei Tjong Ie dan Oey Tjong Tjay). Cela mencolok yang saya lihat dalam bunga rampai sejumlah penulis ini adalah adanya tumpang tindih. Leo Suryadinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo