Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta memutar delapan buah film karya sutradara wanita. Kesuraman dalam film-film itu adalah gambaran dari keperihan perempuan di negara liberal. SITTI Nurbaja bukan hanya ada di Sumatera Barat. Nun jauh di sebuah kampung kecil di Prancis, sebuah negara yang konon liberal, Sitti Nurbaja pernah hidup. Namanya Juliette. Ia putri sulung seorang tukang besi yang miskin dan dirundung utang. Pada usia 17 tahun, Juliette terpaksa mengawini Marcel demi mengatasi kesulitan keuangan keluarganya. Artinya, ia harus melupakan cintanya kepada Pierre. Persamaan nasib Juliette dan Sitti Nurbaja berhenti di situ. Dalam Le Destin de Juliette (Nasib Juliette), Sutradara Aline Isserman lebih banyak menyorot kehidupan perkawinan Juliette dan Marcel yang merupakan sebuah neraka. Neraka itu sudah dimulai dari sebuah rumah gubuk dengan pekarangan yang kering-kerontang. Marcel (Richard Bohringer) diposkan untuk menjadi penjaga rel kereta api. "Bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan di tempat sepi ini?" gumam Juliette (dimainkan Laure Duthilleul). "Ya, tak perlu bekerja. Apa itu berat bagimu?" Marcel mengentak. Tapi "tidak bekerja" sesungguhnya adalah memasak, membersihkan seluruh rumah, mencuci baju, mengurus anak sekaligus diupahi pukulan, jambakan, cekikan, dan tendangan Marcel setiap malam. Acara penyiksaan itu dilakukan setelah Marce] puas tidur dengan perempuan lain. Namun, Juliette sungguh kuat. Bukan karena ia betah berlama-lama dengan suami yang alkoholik, melainkan karena setiap pengacara yang didatangi selalu menganjurkan Juliette agar bertahan di samping suaminya. Juliette bukan sekadar tokoh rekaan Isserman. Film ini berdasarkan kisah nyata. Sebelum menjadi sutradara, Isserman lebih dikenal sebagai wartawan Liberation, sebuah harian terkemuka di Prancis yang kekiri-kirian. Karena itu, tak heran jika Isserman membedah kisah nyata Juliette dengan pisau feminisme yang tajam. Meski cerita terkesan melodramatis, kita tak melihat banjir air mata atau teriakan yang menyayat hati. Film ini begitu hening, tanpa musik dan tak banyak dialog. Isserman lebih suka berbicara lewat kamera. Isserman bukan satu-satunya sutradara perempuan di Prancis. Kita mengenal nama Marguerite Duras (India Song), Pomme Meffre (Le Grain de Sable), atau Diane Kurys (Coup de Foudre) -- sementara di Indonesia, kita baru mengenal Sofia W.D. dan Ida Farida. Sekitar tahun 1940, baru sedikit perempuan Prancis yang bisa berdiri di belakang kamera sambil memberi komando kepada awaknya. Setelah tahun 1960, mulai banyak sutradara wanita Prancis yang memperlihatkan kemampuan berekspresi di dalam film. Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta, sejak 2 Juli hingga akhir bulan ini, memutar delapan buah film karya sineas wanita Prancis. Dan kebanyakan karya yang ditayangkan adalah produksi tahun 1980-an. Adakah perbedaan karya sineas perempuan dan laki-laki? Sebuah film adalah sebuah karya seni. Ketika kita duduk dan menikmatinya, kita memasuki sebuah dunia baru tanpa memusingkan jenis kelamin pembuatnya. Tapi bagaimana kita menilai film Trois Hommes et Un Couffin (Tiga Lelaki dan Sebuah Buaian) dibanding Three Men and a Baby? Versi Prancis film itu adalah karya Coline Serreau, seorang aktris Prancis yang sebelumnya belajar sastra dan teater. Serreaulah pencipta cerita film Trois Hommes et Un Couffin. Sedangkan Three Men and a Baby adalah karya Leonard Nimoy dengan pemain bintang tampan Tom Selleck dan Ted Danson. Tentu saja, seperti biasa, penonton Indonesia disodori versi Hollywood (TEMPO, 25 Februari 1989). Persamaan versi Prancis dan Hollywood tentu saja adalah plot cerita. Kisah tiga lelaki yang direpotkan oleh seorang bayi. Dan bayi itu, Marie, adalah hasil "iseng" Jacques (Andre Dussolier), seorang pilot, dengan salah seorang pacarnya. Yang membedakan sentuhan Serreau dengan Nimoy adalah cara berekspresi. Misalnya, ketika Jacques terkaget-kaget setelah mengetahui bayi itu adalah anaknya, dengan muka putus asa dan bingung dia berjalan ke taman dengan bantal di perutnya. Jacques mencoba merasakan kehamilan. Lantas dia ngoceh, "Apa benar wanita tercipta dari tulang rusuk kita?" Sebuah pertanyaan yang menarik, yang lebih merupakan pertanyaan Serreau sebagai seorang sutradara perempuan. Adegan lain yang menarik adalah ketika ketiga bujangan itu mengundang kawan-kawannya makan malam. Tiba-tiba tangis bayi meledak. Lantas saja seorang tamu lelaki ngoceh bahwa ia lebih suka memelihara anjing daripada seorang bayi. Mempunyai anak memang bukan impian setiap orang di Prancis. Dibanding karya Nimoy yang segar, ceria, dan khas Hollywood, sentuhan komedi Serreau terselip kepedihan dan potret kesuraman. Kesuraman yang sama tersirat dalam Coup de Foudre (Jatuh Cinta) karya Diane Kurys. Sebuah kisah dua wanita, Lena (Isabelle Hupert) dan Madeleine (Miou-Miou), yang sama-sama tidak bahagia dalam rumah tangga. Lena menikah dengan seorang suami yang mementingkan pekerjaannya saja. Sedangkan Madeleine adalah seorang pematung bersuami seorang aktor panggung yang selalu tertipu ketika mencoba berbisnis. Para istri yang tak berbahagia ini bersahabat erat dan bahkan menjadi tergantung satu sama lain ketika rumah tangga masing-masing semakin hancur. Akhirnya, keduanya memutuskan meninggalkan suami mereka. Seperti karya Isserman, film ini pun tidak terlalu mengandalkan dialog. Gambar dan ekspresi wajah setiap pemain adalah faktor utama dari film ini. Kesuraman dalam film-film karya sineas perempuan Prancis ini mungkin gambaran dari keperihan perempuan di negara liberal seperti Prancis itu. Dan juga perempuan di Indonesia. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo