Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah dari Unit Ronggolawe

Memoar bekas anggota Pemuda Rakyat. Kisah hidup dari penjara ke penjara hingga Pulau Buru, gulag Orde Baru di Maluku.

25 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebuah buku memoar bekas anggota Pemuda Rakyat.

  • Berkisah tentang kehidupannya dari penjara Salemba hingga Pulau Buru.

  • Banyak foto aktivitas para tahanan politik selama di Pulau Buru.

IA bersender di sebuah tiang kayu. Rambutnya agak panjang. Bertelanjang dada, ia mengenakan celana setengah cutbray. Di lehernya tampak terlilit sebuah kalung dengan bandul dari kayu. Umurnya sekitar 32 tahun saat itu. Foto itu dijepret pada 1976-1979 di Pulau Buru. Kedua tangannya memegang ikat pinggang. Gayanya seperti anak band 1970-an. Tanah di belakangnya menampilkan gubuk sederhana dengan hamparan tanah luas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya merasa tenang dengan adanya kalung salib yang melingkar di leher. Kalung tersebut didapat dari unit III pada waktu acara Paskah tentang kematian Yesus Kristus di kayu salib,” tulis anak muda itu yang kini berumur 78 tahun. Bandul kayu tersebut ternyata salib yang kala itu baru diterimanya dari seorang pastor yang berkunjung ke Pulau Buru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Tuba bin Abdurahim. Dalam buku yang disunting dengan baik oleh Penerbit Ultimus itu, Tuba menumpahkan kenangannya bertahan hidup di Pulau Buru, Maluku, sebagai tahanan politik selama tiga tahun selama November 1976-November 1979. Sebelumnya, pada 1965-1976, ia mendekam di penjara yang berbeda-beda, dari penjara Salemba, penjara Tangerang, penjara Permisan Nusakambangan, hingga penjara Limus Buntu Nusakambangan.

Kisah dari Unit Ronggolawe

Banyak buku yang telah beredar seputar pengalaman tahanan politik kasus 1965. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang berisi renungan dan surat-suratnya saat menjadi orang buangan di Pulau Buru. Mia Bustam, istri perupa Sudjojono, juga menulis Dari Kamp ke Kamp yang menceritakan 13 tahun keteguhannya hidup dari penjara ke penjara. Sementara itu, Tedjabayu, anak sulung Sudjojono dan Mia Bustam, menulis buku Mutiara di Padang Ilalang yang bercerita mengenai penahanannya di Pulau Buru. Buku Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru, dan buku Martin Aleida, Romantisme tahun Kekerasanjuga merupakan kesaksian pahit kekejaman penyingkiran semasa Soeharto berkuasa. Kini ditambah lagi sebuah memoar yang menceritakan nestapa pesakitan politik tanpa pengadilan di era Orde Baru.

Tuba bukan seorang yang pada masa 1965 aktivis intelektual ternama. Ia bukan jurnalis, sastrawan, atau pemimpin partai politik. Tuba sehari-hari adalah loper koran. Ia anggota Pemuda Rakyat dan marching band Dewan Nasional Pemuda Rakyat. Namun penderitaan yang dialaminya sama hebatnya dengan para pentolan partai. Tuba pada 1962 saat berusia 18 tahun menapak ke Jakarta dari Brebes, Jawa Tengah. Kakaknya, Tohar, adalah seorang anggota Pemuda Rakyat tingkat Kecamatan Sawah Besar yang kemudian menjadi salah satu wakil Partai Komunis Indonesia dalam Front Nasional. Sembari tetap bekerja sebagai loper, Tuba ikut mendaftar sebagai relawan Dwikora. Ia sempat ikut aksi Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat.

Tapi Tuba tak jadi dikirim ke Malaysia. Ia direkrut menjadi anggota marching band Dewan Nasional Pemuda Rakyat untuk persiapan perayaan ulang tahun PKI ke-45 yang digelar secara besar-besaran di Gelora Bung Karno, Senayan. Ia dilatih sebagai penabuh genderang. Menurut Tuba, salah satu mayoret adalah Tari Lang (putri pasangan Carmel Brickman, seorang perempuan Inggris, dan Suwondo Budiardjo). Pada zaman Orde Baru, Carmel—yang kemudian lebih dikenal dengan nama Carmel Budiardjo—di London membentuk organisasi advokasi Tapol dan kemudian menulis buku Bertahan Hidup di Gulag Indonesia.

Sebagai orang yang pernah dibina menjadi relawan Ganyang Malaysia, pada 28 September 1965, Tuba diajak menjadi bagian peleton untuk menjaga kawasan Lubang Buaya, tempat relawan sebelumnya dikarantina. Dia tidak ada prasangka apa pun. Tapi pada 30 September ia kaget melihat tiga truk dengan tentara bersenjata masuk ke hutan. Menjelang fajar, dia baru sadar di atas truk dan di kolong truk terdapat mayat. Ia terkejut, ketika mendekat, ternyata itu adalah mayat Jenderal Ahmad Yani. Saat mendengar suara sahutan tembakan, ia menuju sebuah rumah. Ternyata di situ ia menyaksikan Mayor Jenderal Suprapto dalam kondisi bersarung dan bersinglet tengah diinterogasi sekerumunan orang.

Lalu dari sudut lain dia melihat empat tentara menggiring seorang tentara yang matanya ditutup kain merah menuju sebuah sumur tua. “Stop, Pak. Bapak duduk dan terlentang di sini! Maaf, Pak, demi revolusi,” Tuba mendengar kalimat itu diucapkan dan kemudian melihat sosok tentara yang diperintah itu ditembak dari jarak dekat sekitar 20 sentimeter dengan senapan panjang. Ia juga kemudian melihat seseorang yang ditutup matanya dan hanya mengenakan kaus oblong putih serta bercelana pendek diseret oleh tentara. Lalu terdengar letusan senjata. Dari orang-orang di situ, Tuba mengetahui bahwa dia adalah ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution, Letnan Satu Tendean. “Pemandangan itu mengerikan buat saya,” tulisnya.

Sejak saat itu ia menjadi buron. Ia ditangkap di rumah ibunya di Brebes. Tuba kemudian menjalani penyiksaan di Kepolisian Resor Brebes, Komando Rayon Militer Sawah Besar, dan Komando Distrik Militer Jakarta Utara sebelum berpindah-pindah tahanan. Kisah Tuba dari penjara ke penjara seperti adegan film. Di penjara Tangerang ia menyaksikan bagaimana para narapidana memberontak dan menguasai penjara selama tiga hari. Di penjara Salemba, ia berada di tengah duel berdarah antar-geng napi yang dipimpin seorang eks Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (sekarang Komando Pasukan Khusus) dan napi yang dipimpin empat eks tentara satuan Batalyon Angkutan Bermotor. Akan halnya di Nusakambangan, ia sempat tersesat di hutan lebat dan mengalami penyiksaan brutal oleh tentara penjaga hanya karena masalah sepele. Itu terjadi ketika petugas santiaji P4 datang dan ternyata pertanyaan-pertanyaan seputar ceramah bisa dijawab oleh para tahanan politik, bukan oleh tentara. Akibatnya, para tentara merasa dipermalukan dan kemudian menghajar para tapol.

Tuba di Pulau Buru November 1976-November 1979. Dok Pribadi/Mendaki Bukit Usia: Pemuda Rakyat dalam Tahanan Orde Baru

Di Pulau Buru ia menempati unit yang diberi nama Ronggolawe. Jumlah keseluruhan unit di Pulau Buru 21 unit. Tiap unit menampung rata-rata 800 orang. Para tapol di unit Ronggolawe membangun sendiri delapan barak sederhana. Itu dimulai dari wisma unit yang ditempati oleh komandan unit dan tempat petugas tamu yang datang, musala dan gereja ala kadarnya, tempat perawatan kecil, permakaman, serta barak yang dilengkapi dapur, ruang makan, gudang bahan makanan, bak mandi umum, kakus, kandang ternak, dan empang. Secara keras para tapol harus mengubah lahan Buru menjadi lahan pangan agar bisa bertahan hidup.

Salah satu yang membedakan memoar Tuba dengan memoar mantan tahanan politik Orde Baru lain adalah begitu banyaknya foto di Pulau Buru yang dilampirkan di buku. Ada sekitar 70. Pembaca dapat membayangkan suasana sehari-hari dan kegiatan Tuba bersama para tapol lain di kamp Ronggolawe. Foto itu menampilkan kegiatan para tapol unit Ronggolawe di barak, dari dapur, ruang makan, lumbung padi, gubuk penderesan gula, hingga ruang pertemuan warga. Ada pula foto kegiatan anjangsana antarblok, kegiatan bersepak bola, situasi hutan perbatasan antar-unit dan sungai-sungai, sampai foto penduduk asli Pulau Buru yang bertamu ke barak. Foto-foto kesendirian Tuba selalu menampilkan dia dengan rambut panjang tergerai. Terkadang berjaket.

Semua jepretan itu diambil dari kamera milik seorang tapol dari unit XVII bernama Edijaya, yang memperoleh kamera tersebut secara sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Kamera itu dititipkan kepada pastor yang berkunjung untuk kebaktian. Rol film kamera kemudian diberikan kepada seseorang yang bisa dipercaya untuk bisa dicuci cetak ke kota terdekat, Namlea. Menurut Tuba, hampir setiap minggu ada pastor yang datang dan rata-rata para pastor ini berani menyerempet bahaya dengan membawa barang-barang yang dibutuhkan para tapol dari keluarga. Para pastor pun mau “menyelundupkan” pesan-pesan para tapol ke dunia luar, seperti surat-surat.

Tuba terlihat sebagai orang yang memiliki perhatian pada lagu. Hampir di setiap tahanan ia mencatat lagu-lagu yang diciptakan oleh para tapol yang sering dinyanyikan bersama. Tuba banyak menyimpan “partitur not angka” yang liriknya diciptakan oleh Slamet Riyadi, yang tak lain adalah adik kandung Njono, Ketua PKI Jakarta Raya, dan komposisinya dibuat oleh seniman musik Ary Matulapelwa. Lagu mereka berdua antara lain “Melati di Tepi Cisadane”, “Nusakambangan”, “Karamlah Cita-cita Semula”, dan “Potret Kasihku”.

Notasi komposisi mereka berdua ditampilkan di buku ini. Tuba juga mencatat lagu “Derita di Balik Terali” yang syairnya dibuat Soemarsono W. dan dikomposisikan oleh Ary Matulapelwa. Dari duet yang sama ia menyimpan notasi lagu “Balada Perpisahan”. Ini sebuah dokumentasi arsip tersendiri. Membaca buku Tuba, kita dapat merenungkan betapa orang kecil yang pekerjaannya serabutan, dari tukang parkir, tukang catut karcis bioskop, sampai loper koran, hanyut dalam riak politik dan ikut kandas. Selama 14 tahun ia dijebloskan dari satu kamp ke kamp lain. Salah satu caranya bertahan di tengah penyiksaan dan penderitaan adalah senantiasa menyenandungkan lagu-lagu penyemangat serta harapan keselamatan pada salib.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus