Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menajamkan Bursa Seni Asia

Sejumlah galeri baru meraup sukses penjualan di Art Basel Hong Kong. Muncul kolektor dari golongan milenial.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
In Extremis karya seniman Cina, Zhao Zhao, dalam pameran Art Basel bertajuk “Encounter” di Hong Kong, Maret 2019. TEMPO/Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASIR hitam berlapis aspal menghampar di tempat hampir seluas lapangan bulu tangkis di area Hall 3 Blok C Hong Kong Convention and Exhibition Centre. Mirip layaknya jalan beraspal di tengah-tengah gedung. Di aspal itu, berserakan seperti serpihan kulit, tapi benda tersebut terbuat dari stainless steel, baja biru, dan kuningan. Bukan sembarang aspal, benda itu karya seniman Cina, Zhao Zhao, berjudul In Extremis (2018).

Zhao Zhao membuat karya ini terinspirasi ketika ia menyaksikan jejak bangkai kucing yang mati di luar studionya. Tubuh kucing itu terlindas kendaraan dan serpihannya menyebar ke mana-mana. Dengan instalasi ini, ia ingin mendorong pengunjung memahami bagaimana berbagai kelompok menghadapi kematian mereka sendiri. Sebuah karya pengingat kematian. Karya Zhao Zhao ini bersama karya instalatif 11 seniman dari 14 negara lain dipamerkan di area bursa seni Asia, Art Basel Hong Kong, dalam tajuk “Encounter”.

Para seniman itu adalah Lee Bul, Jose Davila, Elmgreen & Dragset, Latifa Echakhch, Joel Andrianomearisoa, Gerasimos Floratos, Chiharu Shiota, Pinaree Sanpitak, Simon Starling, Mit Jai Inn, Zhao Zhao, dan Tony Albert. Pameran dikurasi oleh Alexie Glass-Kantor, kurator independen sekaligus Direktur Eksekutif Artspace di Sydney, Australia. Karya seniman-seniman itu terpasang sejak 27 hingga 31 Maret 2019. Selama hampir sepekan, pameran ini menarik 88 ribu pengunjung, naik 8.000 orang dibanding tahun lalu.

Karya Chiharu Shiota, seniman Jepang yang tinggal di Berlin, berupa imaji perahu terbuat dari benang wol putih melayang pada kawat dan tali. Karya itu terlihat rapuh dengan tali-tali hitam tipis menjuntai. Imaji perahu itu terlihat berbeda jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Seperti hendak terbang dari dasar laut menuju awan. “Ia ingin mengemukakan ide tentang penerimaan ketidakpastian, menembus laut mencari tujuan. Perahu seperti pembawa mimpi dan harapan. Sama seperti kisah para imigran,” ujar Glass-Kantor saat tur untuk media, Rabu, 27 Maret lalu.

Adapun karya Latifa Echakhch, seniman dari Maroko, berupa lukisan awan putih di langit biru, terpasang seperti pada besi patah sebelah. Lukisan itu seolah-olah hendak jatuh. Pengunjung bisa melihat awan itu seperti hendak runtuh. Sedangkan Simon Starling, seniman Inggris yang tinggal di Denmark, membuat taman kecil dengan tanaman merambat dan rerumputan serta sebuah nisan di pelat yang di bawahnya menempel beberapa selongsong rudal. Bentuk taman itu mirip kapal selam nuklir. Atau karya Lee Bul berupa balon raksasa seperti pesawat Zeppelin.

Alexie Glass-Kantor menjelaskan, ia memilih 12 seniman dari Asia, Afrika, dan Eropa ini dengan bantuan beberapa galeri. “Mereka mengirimkan proposal, mengajukan beberapa seniman, yang kami seleksi dengan ketat. Berkali-kali bolak-balik untuk kuratorial,” ucapnya.

Selain menyajikan “Encounter”, panitia Art Basel membuat dua pameran pendamping, yakni “Kabinett”, yang memfokuskan karya dari jagat Asia yang kental akan lokalitas, dan “Discover”. Art Basel Hong Kong sudah terselenggara tujuh kali di Hong Kong dan menjadi bagian dari 50 tahun Art Basel Global. Pameran ini diramaikan 242 galeri dari 35 negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia, termasuk 21 galeri pendatang baru. Beberapa galeri di sektor utama menampilkan karya tunggal seniman tersohor, seperti Liu Xiaodong (Eslite Gallery) dan Christopher Wool, serta karya abstrak dari Wu Da-yu. Karya-karya tersebut menjadi harapan dari Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Australia, tak terkecuali karya para seniman Indonesia dari dua galeri.

Sebelum pembukaan resmi untuk umum, dalam seksi preview buat media, undangan VIP, dan kolektor pada 27 Maret 2019, area bursa seni di Hall 1 dan 3 Hong Kong Convention and Exhibition Centre sudah ramai pengunjung disertai proses transaksi. Contohnya Hauser & Wirth, yang menjual karya Mark Bradford, yang merupakan mixed media di kanvas berjudul Superman, senilai US$ 2 juta dan karya lukisan akrilik di kanvas milik Jack Whitten seharga US$ 1,75 juta. Atau galeri White Cube, yang menjual karya Andi Warhol, Campbell’s Elvis (1962), yang laku dengan harga US$ 2,85 juta. Sedangkan lukisan cat minyak Georg Baselitz dari Galerie Thaddaeus Ropac (Inggris, Prancis) terjual dengan harga 1,6 juta euro.

Marc Spiegler, Direktur Global Art Basel, dalam sambutannya menyatakan pameran tahunan global ini menjadi ajang bursa seni yang cukup penting dan menyumbang perekonomian yang signifikan. “Mempertemukan para seniman, galeri, dealer, dan kolektor dari Asia, Eropa, Amerika, Australia, Afrika, hingga Rusia,” ujarnya. Menurut dia, dalam skala besar, market dikatakan luar biasa kuat, terus berkembang, dan pertumbuhannya menguntungkan sejumlah galeri kecil.

Beberapa galeri cukup sumringah atas digelarnya perhelatan ini. “Semua karya, kecuali satu karya, dijual kepada kolektor yang baru mengenal kami,” ujar Stephanie Fong, pendiri dan Direktur Galeri FOST, Singapura, dalam siaran pers yang diterima Tempo.

Atau suara Sutima Sucharitakul, pendiri dan Direktur Nova Contemporary Bangkok, yang juga pertama kali berpartisipasi dan menuai sukses dengan penjualan karya seniman Myanmar. ”Kami galeri muda dan Art Basel adalah platform yang hebat untuk mengenalkan seniman Asia Tenggara kepada audiens internasional.”

Imaji perahu yang terbuat dari benang wol putih karya Chiharu Shiota dalam Art Basel Hong Kong, Maret 2019. TEMPO/Dian Yuliastuti

Demikian juga David Zwirner, pendiri David Zwirner London, New York, Hong Kong. “Edisi tahun ini yang paling sukses sejak kami ikuti. Apalagi didukung dengan kehadiran galeri kami di sini dalam setahun ini. Tanggapan untuk seniman kami menakjubkan.”

Amy Lo, Co-Head UBS Wealth Management Asia-Pacific dan Chief Executive of UBS Hong Kong, partner Art Basel, menyatakan Cina menyumbang 45 persen impor karya seni Asia dan semuanya masuk melalui Hong Kong tahun lalu. Menurut laporan The Art Market 2019 dari hasil analisis data sepanjang 2018 yang disusun analis pasar seni, Direktur Art Economics Dr Clare McAndrew, market seni global pada 2018 mencapai US$ 67,4 miliar. Ini adalah tahun kedua pertumbuhan positif yang membawa market pada level tertinggi kedua dalam 10 tahun. ”Keuntungan nilai penjualan lebih dari 9 persen pada 2008-2018,” katanya.

Temuan menarik dari laporan survei Art Economics dan UBS kepada para kolektor kaya pada 2018 memperlihatkan profil kolektor baru yang sangat berbeda di Asia. Sebanyak 46 persen kolektor yang disurvei di Singapura adalah kolektor milenial. Representasinya mencapai 39 persen dari total di Hong Kong dan mereka membeli secara daring (online).

Tercatat juga dalam laporan McAndrew soal partisipasi dan keberadaan karya seniman perempuan. Market utama galeri mencatat andil karya seniman perempuan yang menanjak hingga 43 persen. Namun angkanya menurun ketika mereka makin mapan. Kesenjangan seniman perempuan dan laki-laki masih sangat jauh.

Adeline Ooi, Direktur Asia Art Basel, menyatakan cukup susah melihat selera pasar dan karya termahal di bursa seni seperti Art Basel. “Banyak faktor dan kategori. Ada yang menyukai karya old master, seniman pendatang baru, karya instalasi.”

Bagi para kolektor, Art Basel Hong Kong juga sangat menarik. Pameran ini bukan hanya sebagai tempat pertemuan, tapi juga menjadi tempat para seniman bersuara. “Art Basel ini juga untuk memberi seniman tempat dan suara tentang karya mereka,” ujar Cindy Chua-Tay, kolektor sekaligus wali amanat The Solomon R. Guggenheim Foundation.

Menurut dia, banyak karya seniman Asia yang potensial, termasuk dari Indonesia. Chua-Tay senang terhadap dinamika lingkungan seni di Asia yang dinamis dan terus berkembang. Ia bersama sekelompok kolektor, termasuk pendiri Yahoo!, Jerry Yang, memantau karya para seniman Asia. Ia melihat perkembangan seni di Indonesia cukup menarik. Beberapa kolektor, menurut Chua-Tay, sangat mendukung seniman; menyuarakan seniman dan mengoleksi karya mereka.

DIAN YULIASTUTI (HONG KONG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus