Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Tidak Diatur, Mereka Makin Tertindas

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi:

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Budi Karya Sumadi. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMENTRIAN Perhubungan menerbitkan aturan tentang ojek online bulan lalu. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat itu adalah regulasi pertama yang mengatur ojek sepeda motor, yang selama ini tidak diakui negara sebagai angkutan umum.

Kementerian Perhubungan menetapkan batas tarif berdasarkan tiga pembagian wilayah dan berbagai kelengkapan penunjang keselamatan. Zona pertama meliputi Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), Sumatera, dan Bali dengan batas bawah tarif Rp 1.850 dan batas atas Rp 2.300 per kilometer serta biaya jasa minimal (flag fall) Rp 7.000-10.000 untuk empat kilometer pertama. Zona kedua meliputi Jabodetabek dengan batas bawah Rp 2.000 dan batas atas Rp 2.500 serta jasa minimal Rp 8.000-10.000. Adapun zona ketiga meliputi Indonesia bagian tengah dan timur dengan batas bawah Rp 2.100 dan batas atas Rp 2.600 serta jasa minimal Rp 7.000-10.000.

Sebelumnya, perusahaan aplikasi yang menentukan tarif dengan angka rata-rata Rp 1.500 per kilometer. “Itu yang membuat pendapatan pengojek bisa sedikit sekali,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Reza Maulana dan Angelina Anjar, di kantornya pada Jumat petang, 5 April lalu. Regulasi ini mulai berlaku 1 Mei nanti.

Karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengakui ojek sepeda motor sebagai angkutan umum, Kementerian Perhubungan menggunakan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang memberi menteri kewenangan menerapkan diskresi. “Banyak orang yang menjadikan ojek online sebagai profesi, maka mesti diatur,” ucap Budi, 62 tahun.

Pembahasan peraturan yang dilakukan sejak Januari lalu ini melibatkan perwakilan pengojek, perusahaan aplikasi, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan pihak terkait lain. Peng-ojek menginginkan tarif tinggi, yakni Rp 3.000 per kilometer, sementara perusahaan aplikasi meminta bertahan di kisaran Rp 1.500-an per kilometer. Kementerian Perhubungan mempertemukan keduanya.

Selain membuat aturan tentang ojek online, Budi Karya melansir dua regulasi mengenai harga tiket penerbangan, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 yang mengatur tata cara penentuan tarif, dan turunannya, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 2019 yang memberikan batas besaran tarif. Dia mengatakan tiket murah yang selama ini masyarakat nikmati adalah hasil perang tarif antarmaskapai. “Prinsipnya, penerbangan full service satu jam dengan okupansi 60 persen ongkosnya Rp 1 juta. Itu baru mencapai break-even point (titik ketika biaya atau pengeluaran dan pendapatan seimbang),” kata Budi.

Dalam wawancara tersebut, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi menambahi keterangan Budi Karya tentang penentuan tarif ojek online dan angkutan Lebaran.

Mengapa Anda mengeluarkan peraturan tentang ojek online?

Ada ketentuan yang mengatur bahwa diskresi bisa dilakukan, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Menteri punya kewenangan membuat semacam diskresi dan regulasi, sepanjang suatu hal ada di masyarakat dan belum ada aturannya. Ojek online ada di masyarakat. Ini hal yang cuma ada di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Dari konsep awalnya berbagi perjalanan (ride-sharing), kini banyak orang menjadikan ojek online sebagai profesi. Maka harus diatur. Kalau tidak, mereka akan makin tertindas.

Bukankah Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengakui sepeda motor sebagai angkutan umum?

Budi Setiyadi: Regulasi ini lebih tentang perlindungan keselamatan. Judulnya saja “Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat”. Tidak ada “Angkutan Umum”-nya, kan? Lalu dalam regulasi ini kami tidak menggunakan istilah tarif, tapi biaya jasa. Sebab, tarif adalah istilah dalam rezim angkutan umum.

Kenyataannya, regulasi lebih banyak mengatur soal biaya….

Kalau pendapatan cukup, pengojek bisa beli ban sesuai dengan kebutuhan, mengganti rem sesuai dengan waktu pemakaian, dan sebagainya. Tapi, kalau pendapatan mepet seperti sekarang, misalnya, sekitar Rp 1.000 per kilometer, boro-boro sisi keselamatan, kalau bisa, bensin pun mungkin mereka campur dengan air, he-he-he…. Regulasi ini juga banyak mengatur perlindungan keselamatan, baik pengemudi maupun penumpang. Di pasal 4, misalnya, disebut pengemudi harus dalam keadaan sehat, memakai jaket, celana panjang, sepatu, sarung tangan, dan sebagainya.

Apa dasar penentuan biaya jasa antara Rp 1.850 dan Rp 2.600 per kilometer?

Kami menggunakan teori hitungan angkutan umum. Ada aspek biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan pengemudi hari itu, seperti biaya pulsa, bahan bakar. Biaya tak langsung ada banyak, sampai 12 komponen, di antaranya perawatan kendaraan dan pajak. Tarif itu pun jumlah bersih, tidak dipotong lagi. Keuntungan aplikator maksimal 20 persen dari nilai itu, yang dibebankan kepada penumpang.

Tarif promo dan jam sibuk juga harus masuk rentang itu?

Ya. Tarif hanya bisa dalam batas yang kami tetapkan.

Mengapa harus ada pembagian zona?

Budi Setiyadi: Kami mempertimbangkan perbedaan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan transportasi. Di Jabodetabek, orang menggunakan ojek online untuk mencapai simpul angkutan umum seperti Transjakarta atau MRT. Di daerah lain, orang menggunakannya dari satu titik ke titik lain sehingga kami putuskan Jakarta dan sekitarnya menjadi zona tersendiri, zona II. Sedangkan Indonesia bagian timur paling mahal karena harga di sana relatif lebih tinggi, termasuk harga sepeda motor.

Semangat peraturan menteri ini lebih mengakomodasi kepentingan pengojek, perusahaan aplikasi, atau penumpang?

Keduanya. Saya ingin pengemudi mendapat tarif yang patut. Beberapa kali mereka berdemonstrasi, isunya pasti menyangkut tarif. Sekian ratus ribu orang menggantungkan hidup pada usaha ini. Pengemudi ingin kenaikan sampai Rp 3.000 per kilometer. Mereka beralasan penumpang tidak akan keberatan karena selama ini kerap memberikan tip atau membayar dengan pembulatan ke atas. Tapi tarif jangan sampai membuat aplikator bermasalah. Kalau kemahalan, semua penumpang akan pergi. Pengojek hanya berpikir untuk jangka pendek, sementara aplikator berpikir jangka panjang. Menurut mereka, meskipun tarif rendah, toh pengojek tidak hanya mendapat order sebagai pengantar penumpang, tapi juga order membeli makanan, mengantar barang, dan sebagainya. Nah, kami mempertemukan keduanya.

Di mana posisi konsumen?

Penumpang bersamaan dengan aplikator.

Dengan asumsi kenaikan menjadi Rp 3.000 per kilometer, sejumlah ekonom memprediksi akan terjadi penurunan daya beli dan orang beralih ke kendaraan pribadi….

Saya juga melakukan survei kecil-kecilan. Orang berpendapat, dengan biaya Rp 3.000 per kilometer, mereka tidak akan menggunakan ojek online lagi. Sebab, harganya sudah hampir sama dengan taksi online, Rp 3.200 per kilometer. Maka kami tetapkan rata-rata Rp 2.000-an per kilometer.

Apakah tarif itu sudah ideal?

Aturan ini sifatnya sebagai anjuran, tidak mengikat. Ini pedoman. Soal sanksi biar menjadi ranah kepolisian lewat peraturan lalu lintas. Tapi, dibandingkan dengan tarif sebelumnya yang ditetapkan aplikator sebesar Rp 1.600 per kilometer kotor (dipotong 20 persen oleh aplikator), kenaikannya sudah cukup tinggi.

Sebagian kelompok pengojek masih menganggap tarif belum mencukupi kebutuhan mereka. Masih ada kemungkinan peraturan diubah?

Setiap peraturan bisa dievaluasi. Kalau, misalnya, semua pengojek mogok atau aplikator berhenti beroperasi karena merasa rugi, ya, kami evaluasi.

Mengapa tiket penerbangan domestik tak kunjung turun walaupun Anda sudah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2019 tentang tarif penerbangan?

Selama ini masyarakat menikmati harga persaingan. Dengan adanya perang tarif, harga tiket pesawat menjadi murah. Karena itu, saya berusaha mencari besaran tarif yang masih terjangkau oleh masyarakat, tapi maskapai masih punya ruang untuk survive. Kalau dulu, mereka tidak bisa survive. Ini yang mendorong kami membuat aturan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Kami tahu persis di dunia internasional tidak ada regulator yang mengatur tarif. Namun, dengan hanya mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah, saya memberikan kesempatan kepada maskapai untuk memasang tarif tertentu.

Maskapai sudah menurunkan harga tiket pesawat?

Garuda Indonesia mengambil inisiatif dengan menurunkan tarif sebesar 50 persen hingga pertengahan Mei. Lion Air juga sudah menurunkan tarif. Saya tidak tahu besarannya, tapi pasti lebih rendah daripada itu. Saya mengapresiasi mereka karena sudah memberikan beberapa subkelas harga bagi penumpang, bukan hanya subkelas teratas, tapi juga subkelas yang lain.

Budi Karya Sumadi dan Presiden Joko Widodo meresmikan terminal baru Bandar Udara Internasional Radin Inten II di Lampung, Selatan, Lampung, 8 Maret lalu. ANTARA/Puspa Perwitasari

Faktanya, penurunan tarif hanya berlaku untuk rute tertentu, tidak di semua rute.…

Saya melakukan evaluasi, khususnya terhadap rute Jakarta-Surabaya dan Jakarta-Denpasar. Seharusnya yang lain sudah turun.

Apa konsekuensi bagi maskapai yang tidak menurunkan tarif?

Dalam aturan tersebut, saya berwenang menetapkan, misalnya, yang harganya 100 persen (dari tarif batas atas) hanya sebanyak 20 persen, yang 80 persen juga 20 persen, lalu yang 60 persen pun 20 persen, dan seterusnya. Garuda Indonesia kan sudah berjanji memberlakukan diskon 50 persen sampai pertengahan Mei. Setelah itu, saya akan meminta kembali cara penetapannya.

Apa yang membuat harga tiket pesawat tinggi?

Dalam struktur biaya penerbangan, porsi untuk bahan bakar avtur 35-40 persen, leasing 20-30 persen, gaji pegawai 10-15 persen, baru sisanya untuk biaya lain, seperti terminal dan sebagainya. Harga normal untuk mencapai break-even point dalam penerbangan full service selama satu jam dengan okupansi 60 persen sekitar Rp 1 juta per penumpang. Kalau okupansi mencapai 100 persen, ongkosnya berkurang sekitar 30 persen atau Rp 700 ribu. Tapi jarang yang okupansinya 100 persen. Rata-rata 60-70 persen. Jadi saya tidak membela maskapai. Ini fakta, sebesar itulah harga normal mereka.

Beberapa pihak menganggap Anda pro-maskapai dengan menaikkan tarif batas bawah menjadi 35 persen dari tarif batas atas dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019. Pembelaan Anda?

Seharusnya aturan ini dikeluarkan sejak dulu. Jadi konteksnya berbeda. Seolah-olah saya pro-harga mahal. Padahal kenaikan itu bertujuan mengurangi perang tarif karena bisa membuat perusahaan bangkrut. Pemenang perang tarif akan mengontrol harga. Ujungnya, kualitas tidak bisa dikontrol. Itu yang saya takutkan.

Sejak kapan perang tarif terjadi sampai masyarakat yakin bahwa harga tersebut riil?

Sudah lama, sewaktu saya bekerja di Angkasa Pura II, sekitar 2014, sudah terjadi.

Ada pula pihak yang menduga ada kartel dalam kenaikan harga tiket pesawat….

Kalaupun ada, mungkin kartel terselubung. Mereka kan entitas yang berbeda, satunya BUMN, satunya swasta. Bagaimana mau ada kartel? Kan, kepentingannya lain. Jadi saya tidak yakin ada kartel.

Lalu mengapa mereka bisa serentak menurunkan harga pada Januari lalu?

Mungkin hanya kebetulan. Sebelumnya ada musibah yang menimpa Lion Air (pesawat Lion Air PK-LQP jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, akhir Oktober 2018).  Karena itu, orang tidak mau naik Lion Air sehingga hanya tinggal penerbangan milik Garuda Indonesia, Citilink, dan Batik Air.

Adakah korelasi dengan dorongan pemerintah agar maskapai mengisi rute ke sejumlah bandar udara baru dengan okupansi rendah?

Tidak. Bandara baru lebih ditujukan sebagai konektivitas. Tentunya kami berusaha meningkatkan okupansinya. Tapi, untuk bandara-bandara yang berada di daerah terpencil seperti Miangas, Sulawesi Utara, kami tidak menghitung untung-rugi. Kami memberikan fasilitas agar masyarakat bisa mencapai daerah tersebut.

Dengan mahalnya tiket pesawat, pemudik diprediksi memilih menggunakan transportasi darat. Apa antisipasi Kementerian Perhubungan?

Saya berharap harga tiket pesawat tetap bisa dikendalikan. Bus akan kami tambah.

Berapa perkiraan kenaikan angkutan darat untuk mudik?

Terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam berkendaraan dengan adanya jalan tol baru Jakarta-Surabaya, Bakauheni-Terbanggi di Lampung, dan ruas-ruas lain di Trans Sumatera. Ditambah sejak tiket pesawat tinggi beberapa bulan terakhir, operator bus menikmati kenaikan omzet 20-25 persen. Tapi kenaikan jumlah penumpang bus untuk mudik kami prediksi tidak setinggi itu karena banyak yang memilih menggunakan mobil pribadi lantaran ada jalan tol baru. Jadi, kalau tahun-tahun sebelumnya isu utamanya kemacetan, sekarang yang harus diperhatikan adalah keselamatan.

Artinya mudik 2019 tidak lagi diwarnai kemacetan?

Budi Setiyadi: Untuk jalan-jalan nasional, iya. Tapi, untuk jalan tol, mungkin hanya macet di pintu-pintunya, kecuali ada kecelakaan besar. Karena itu, kami akan mengantisipasi dengan pembatasan kendaraan barang. Pengerjaan infrastruktur, seperti jalan tol elevated Jakarta-Cikampek dan kereta api ringan atau LRT, juga akan dihentikan sementara.

 


 

Budi Karya Sumadi

Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 18 Desember 1956

Pendidikan: SMP Negeri 1 Palembang (1972), SMA Xaverius Palembang (1975), Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada (1981)

Karier: Menteri Perhubungan (2016-sekarang), Direktur Utama PT Angkasa Pura II (2015-2016), Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (2004-2013), Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol (2004-2013), Komisaris PT Philindo (2001-2013), Direktur Keuangan PT Pembangunan Jaya Ancol (2001-2004), Direktur Keuangan PT Taman Impian Jaya Ancol (2001-2004), Presiden Direktur PT Wisma Jaya Artek (1996-2001)

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus