Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal - wahyu muryadi

Penulis : sudharmono jakarta: (s.n.), (s.a.) resensi oleh : wahyu muryadi

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS Wakil Presiden Sudharmono selalu waswas jika hendak mencukur jenggot. Luka lama di dagunya itu masih terus membekas akibat nahas di masa kanak. Saat ia bergegas turun dari sepur, dagunya terbentur tepian tangga beton peron Stasiun Kabuh, dekat Jombang, Jawa Timur. Akibatnya, "Dagu saya sobek cukup dalam, dan berdarah," kenangnya. Kisah lama itu dijalin kembali, dengan bergaya tutur "saya", dalam otobiografi mini untuk anak-anak ini. Toh Pak Dhar serius menggarap. Untuk mengumpulkan bahan tulisan, ia sekeluarga sampai perlu "napak tilas" menelusuri jejak masa kanak dan leluhurnya dari desa kelahirannya di Cerme, Gresik, Jawa Timur, masa di Jombang dan Surabaya, hingga masa remajanya di Rembang dan Semarang. Tanpa sungkan-sungkan, ia menggambarkan rona kenakalannya semasa kecil yang suka berlari kencang, yang doyan makan onde- onde, kerap terlelap di dekat dalang wayang kulit, nekat mencebur ke bak wudu pesantren, dan sembrono menelan uang logam. Setiap peristiwa diakhiri dengan tarikan hikmah. Garis nasib itu bermula dari kelahirannya di Desa Cerme, 12 Maret 1927 -- didapat dari buku primbon keluarga. Ayahnya, Soepijo Wirodiredjo, adalah anak seorang carik Desa Kebalan, Bojonegoro, Jawa Timur. Dan saat Sudharmono lahir, sang ayah menjadi juru tulis di Cerme, sedangkan ibunya, Raden Nganten Sukarsi, putri asisten wedana di kabupaten yang sama. Begitu lahir, bayi Sudharmono diduga akan berperawakan tinggi. "Konon, teman-teman kecil saya menjuluki sotang walang, kaki panjang seperti belalang," tuturnya. Tapi, saat berusia tiga tahun, ia sudah menjadi yatim piatu. Ia, dan kedua saudaranya, berpindah-pindah, menumpang dari famili yang satu ke yang lainnya. Begitulah. Yang banyak tergambar adalah ketabahan menjalani hidup, dalam penderitaan. Yakni, Sudharmono yang semasa SD (dulu HIS), misalnya, sudah hafal perkalian dan pembagian empat digit. Begitu pula perannya ikut latihan ala polisi di zaman Jepang yang beringas. Tentu, agar diteladani pembacanya. Maklum buku anak, jangan harap ada muatan politik. Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus