Sebuah komedi dengan artis-artis Hollywood, tetapi bukan dengan tradisi Hollywood. Di tangan Stephen Frears, komedi ini menjadi sebuah renungan panjang. PADA suatu malam yang basah dan becek, Bernie Laplante (dimainkan Dustin Hoffman) menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat. Ia melihat sebuah pesawat terbang jatuh dan nyaris meledak. Laplante terpaksa berhenti. Dengan sumpah serapah yang kasar dan rasa jengkel, ia toh menolong membukakan pintu pesawat dari luar dan membantu para penumpang keluar. Tapi setelah itu, tanpa memusingkan kepahlawanannya, ia nyelonong meninggalkan tempat itu sembari ngomel karena salah satu sepatunya hilang. Tiba di rumah istrinya, yang sudah lama berpisah dengannya, ia dimaki habis-habisan karena terlambat menjemput anaknya. Sementara itu, berita di televisi menyiarkan peristiwa kecelakaan pesawat itu sekaligus mencari sang ''pahlawan misterius''. Apakah Laplante seorang pahlawan? Dia sendiri tak peduli. Sehari-hari, pekerjaan Laplante adalah menjual barang curian. Sebagai selingan, ia mencari peluang untuk mencopet dompet orang, melalap uang tunainya, dan menjual kartu kreditnya. Jadi, bagaimana mungkin orang seperti Laplante menjadi pahlawan yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi orang-orang yang tak dikenalnya? Adalah tugas Gale Gayle (diperankan Geena Davis), reporter handal TV Channel 4, untuk mencari jejak ''sang pahlawan misterius''. Selain merasa berutang budi karena Gayle termasuk penumpang yang ditolong Laplante Gayle didorong oleh nafsu meraup berita-berita eksklusif. Seperti biasa, film-film yang dibuat oleh sutradara Inggris Stephen Frears berpihak pada kaum minoritas. Sebelumnya, dalam film My Beautiful Laundrette, Frears membela kaum imigran di Inggris dan kaum homoseksual dalam film Sammy and Rosy Get Laid, Frears berbicara soal emansipasi wanita. Kali ini, dengan menggunakan aktor-aktor Hollywood, Frears membela orang semacam Laplante. Ia bukan orang suci, tapi juga bukan orang jahat. Laplante adalah sosok orang marginal, yang mewakili jutaan orang di Amerika. Meski Accidental Hero adalah sebuah film komedi, Frears menolak untuk menggunakan kaidah-kaidah Hollywood. Karena itu, jangan mengharapkan ucapan jenaka para aktor atau adegan orang jahat yang terpeleset kulit pisang. Komedi di tangan Frears adalah sebuah renungan panjang. Mengapa Laplante yang menolong 54 penumpang itu justru masuk penjara, dan mengapa John Bubber (Andy Garcia), gembel yang ganteng itu, justru disangka pahlawan, diberi satu juta dolar dan dipuja-puja orang? ''Hidup menjadi semakin kompleks dan kau tak akan mudah menjawabnya seperti menjawab sebuah teka-teki silang,'' kata Laplante kepada anaknya melalui telepon sambil menahan air mata, satu-satunya adegan yang mengharukan dalam film ini. Laplante tak dapat menjelaskan mengapa ia berada di penjara yang dingin, sementara Bubber tengah menikmati empuknya kasur hotel. Dengan sigap Frears membolak-balik adegan kehidupan yang kontras antara kemewahan Bubber dan kesengsaraan Laplante. Ini adalah bagian yang terasa ''kejam'' tapi sekaligus menggelikan. Inilah cara Frears menertawakan dunia. Bagi Frears, pers adalah pihak yang bertanggung jawab dalam mengungkap ''kebenaran''. Masalahnya, ''Kebenaran ada banyak lapis,'' kata Gayle. ''Semakin kita masuk ke lapisan dalam, kita menyentuh kebenaran yang baru, dan bersamaan itu kita akan menangis, karena itulah kenyataan,'' katanya sambil meneteskan air mata. Frears mengerti bagaimana kompleksnya untuk mengungkapkan kebenaran. Karena itu, ia menertawakan wartawan yang pontang- panting mengejar ''kebenaran'' yang sesungguhnya amat relatif. ''Kebenaran'' di mata Gayle dan rekan-rekannya adalah berita sensasional yang mampu menyita perhatian masyarakat. Dan Frears menggambarkan itu semua sebagai sebuah parodi. Lihat bagaimana Gayle yang bagai kelebihan adrenalin ketika mendengar ada tokoh akan membunuh diri lihat bagaimana juru kamera TV malah berdoa agar malam itu terjadi bencana besar lainnya agar ''berita pukul 11 menarik pemirsa''. Perhatikan pula bagaimana kedua bos TV Channel 4 yang berteriak-teriak ''jangan sampai kau menolong orang itu, biar saja dia bunuh diri, agar kita dapat berita bagus!'' Frears menggambarkan pers sebagai institusi yang dahsyat kekuasaannya, yang mampu membuat masyarakat memuja seorang penipu seperti Bubber. Lebih gila lagi, masyarakat adalah korban yang menikmati pengaruh pers. Pers telah menciptakan Bubber sebagai pahlawan, maka Bubber akan dipertahankan sebagai pahlawan meskipun belakangan diketahui bahwa Laplante adalah penyelamat yang sesungguhnya. Dan Frears, sebagai sutradara yang menentang tradisi Hollywood, lebih suka menyajikan kenyataan hidup. Sosok macam Laplante tak akan pernah menjadi pahlawan di mata masyarakat. Ia memang mendapatkan sebagian kekayaan Bubber yang akan digunakan bagi ongkos sekolah anaknya. Sementara Bubber tetap menjalankan perannya sebagai ''dewa penyelamat jiwa manusia''. ''Banyak hal yang tak bisa kau nilai berdasarkan penglihatan dan pendengaran saja,'' kata Laplante kepada anaknya. Ia tak membutuhkan ketenaran dan pemujaan itu. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini