Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Meneguhkan Identitas, Memburu Kenikmatan

Karya Ariel Heryanto tentang "budaya layar" masyarakat kelas menengah. Kurangnya penjelasan konseptual.

28 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia
Penulis: Ariel Heryanto
Penerjemah: Eric Sasono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Edisi: I, 2015
Tebal: 350 + xvi halaman

PERKARA "identitas" telah lama mengharu biru kalangan ilmuwan dan aktivis di tengah pupusnya kepastian dan masa depan dalam gemuruh globalisasi dan kemelut perubahan politik. Sementara itu, "kenikmatan" menjadi tujuan yang terus diburu para konsumen dan kaum hedonis di tengah deru kapitalisme global. Dua perkara yang seakan-akan tak bertaut itu justru menjadi tajuk buku terbaru Ariel Heryanto, profesor pada Australian National University, yang terbit pertama kali dalam edisi bahasa Inggris setahun lalu.

Lewat riset intensif selama empat tahun (2009-2012), Ariel membabarkannya ke dalam delapan bab pergulatan identitas sekaligus kenikmatan di kalangan kaum muda kelas menengah perkotaan di Indonesia pada dekade pertama abad ke-21. Proses pergulatan itu ditelisik lewat "budaya layar" yang tengah mekar di sini.

Berkelindannya identitas dan kenikmatan barangkali paling kentara terbaca pada bab pertama buku ini ihwal munculnya Islam pop dan bab ketujuh mengenai gelombang Asianisasi yang diusung oleh budaya pop Korea (K-Pop). Munculnya kelas menengah muslim muda dengan aspirasi konsumsinya telah menciptakan distingsi dengan generasi sebelumnya. Bagi mereka, tak ada pertentangan antara mempraktekkan kesalehan dan memburu kenikmatan duniawi. Karena itu, Ariel menampik argumen sederhana yang melihat merebaknya ekspresi Islam populer tersebut sebagai komersialisasi Islam ataupun islamisasi budaya populer.

Alih-alih Ariel menawarkan konsep "post-Islamisme" budaya (diadaptasi dari gagasan Asef Bayat), yakni budaya yang hidup di kalangan elite ataupun orang biasa serta bisa ditemukan ekspresinya pada hiburan dan gaya hidup populer. Contohnya merentang dari pertumbuhan pesat industri busana muslim hingga popularitas film bertemakan Islam, seperti Ayat-Ayat Cinta (2008).

Begitu pula para penggemar K-Pop mengaku tak menemukan kejanggalan menjadi seorang muslim yang baik sekaligus menjadi anggota kelompok penggemar. Bagi Ariel, "post-Islamisme" budaya dan resepsi K-Pop mengisyaratkan perubahan dalam konsolidasi lintas-etnis, menguatnya sosok kelas menengah perkotaan berikut aspirasi kultural dan moralnya, serta gaya hidup dan etos yang baru.

Harus diakui, ketajaman analisis Ariel terbaca pada bab keempat, kelima, dan keenam tentang representasi kekerasan 1965 dan etnis Tionghoa. Ini karena ia telah lama menggumuli dengan intens kedua isu itu. Meskipun setelah reformasi beberapa organisasi nonpemerintah dan mantan tahanan politik aktif memproduksi film tentang kekerasan 1965, agaknya tak tampak gelagat para produser film besar memproduksi film panjang bioskop mengenai kekerasan itu demi melunasi utang sejarah Indonesia. Dengan kata lain, di Indonesia, film belum menjadi ruang belajar kolektif untuk berdamai dengan masa lalu yang sarat kekerasan.

Menarik dicatat, analisis Ariel tentang film kondang Joshua Oppenheimer, Jagal (The Act of Killing), yang dikaitkannya dengan premanisme di Medan. Sebagai calo karcis bioskop, para jagal itu menghabisi mereka yang dianggap komunis karena terancam oleh boikot kelompok kiri terhadap film-film Amerika. Uniknya, cara para jagal itu menghabisi lawan-lawannya meniru gaya film-film Hollywood. Ini mengingatkan tulisan filsuf Slavoj Zizek di majalah New Statesman (12 Juli 2013) yang menyebutkan para jagal itu "hidup dalam fiksi; lebih dari sekadar menganut etika barbarian". Sementara itu, sejumlah film yang merepresentasikan etnis Tionghoa dalam beberapa tahun belakangan menunjukkan tumbuhnya kesadaran menerima perbedaan etnis di kalangan kelas menengah meski dibayangi kesenjangan antarkelas yang kian lebar.

Kendati "budaya layar" menjadi subjudul buku ini, sayangnya tak diberi penjelasan konseptual yang memadai. Bahkan istilah itu absen di bagian indeks. Yang ada ialah penjelasan kelewat ringkas bahwa budaya layar sebagai "bagian dari pranata dan praktik sosial yang secara umum disebut 'budaya populer'" (halaman 21). Penjelasan ini tak mampu menunjukkan kekhasan budaya layar, termasuk persamaan atau perbedaannya dengan budaya visual (visual culture). Demikian pula "kenikmatan" sebagai konsep kunci sesungguhnya kurang dibabar secara konseptual dan hampir tak tampak dalam ulasan tentang representasi kekerasan 1965 ataupun etnis minoritas Tionghoa.

Sebagai karya terjemahan, apa boleh buat, buku ini tak luput dari kekurangan. Penerjemah tidak konsisten mengalihbahasakan istilah "cultural politics" dari teks aslinya: "politik kebudayaan" (halaman 3), "politik budaya" (halaman 21), dan "budaya politik" (halaman 32). Ada perbedaan konseptual antara "budaya politik" (political culture) dan "politik budaya" (cultural politics). Sementara budaya politik berkaitan dengan pengaruh budaya dalam praktek politik, politik budaya melihat budaya sebagai politik itu sendiri.

Selain itu, penerjemahan frasa "under erasure" menjadi "yang dihapus" dalam bab keenam tidak mengena maknanya. Konsep yang berasal dari filsuf Prancis, Jacques Derrida, (tak tercantum dalam Pustaka Acuan buku ini) tersebut sesungguhnya menggariskan sesuatu yang tak akurat, tapi mesti dikatakan, sementara asal-usulnya hanya bisa dikenali sebagai sebentuk jejak.

Meskipun memiliki langgam akademis, buku ini ditulis dalam bahasa yang renyah dan paparan yang gamblang. Karena itu, ia bisa dibaca oleh siapa pun yang berhasrat melongok politik budaya Indonesia mutakhir. Bagaimanapun, ikhtiar penerjemahan buku ini patut dipuji karena mengisi kelangkaan khazanah kajian media, budaya populer, dan masyarakat Indonesia kontemporer.

Budi Irawanto (Pengajar jurusan ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan politik Universitas Gadjah Mada Serta program kajian budaya dan media sekolah pascasarjana UGM)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus