Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hilang Pesisir Karawang Diterjang Abrasi

Pesisir Karawang kian rusak tergerus abrasi. Alih fungsi kawasan dan hilangnya hutan bakau mempercepat kerusakan.

28 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAUT kini menjadi halaman belakang warung Sutrisno. Cuma tanggul dari karung pasir dan ban bekas di atas puing rumah yang menahan air laut menerjang warungnya di pantai Pisangan, Desa Cemara Jaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Meski lima tahun lalu Sutrisno telah menggeser warung menjauhi bibir laut, gempuran gelombang kian menggerus. "Kini, jika menurunkan kaki dari bale-bale warung saat musim pasang, pasti menginjak air laut," katanya.

Sutrisno, 43 tahun, adalah satu dari belasan pedagang yang masih bertahan di pantai Pisangan. Kawasan pantai yang pernah ramai dikunjungi pelancong itu kini kritis. Ratusan warung yang sejak 1998 ramai menjajakan aneka ikan bakar dan penganan itu menghilang dari pantai. Perubahan drastis di pantai itu terjadi akibat air laut semakin jauh menjangkau daratan.

Sejak 2005, seingat Sutrisno, pasang laut terasa meninggi. Pada sore hari, saat mulai pasang, air laut naik kian cepat. Namun pada pagi hari, ketika seharusnya surut, air laut ternyata tetap menggenang. Lahan yang dulu tidak terendam jadi terendam. "Cepat banget, dua-tiga meter terambil. Semua warung itu akhirnya pindah karena air laut naik terus," kata Sutrisno kepada Tempo, pertengahan November lalu.

Air laut ternyata kian jauh menerjang. Sebagian jalan beraspal sepanjang lima kilometer di Desa Cemara Utara tergerus abrasi. Lima tahun lalu, warga desa terpaksa membuat rute baru di kompleks pekuburan Cina di belakang permukiman di seberang jalan. Namun kompleks permakaman seluas satu hektare itu pun kini tak luput dari terjangan air laut. "Kalau musim pasang, kuburan itu juga terendam air, bisa selutut," ujar Sutrisno.

Abrasi terjadi di hampir seluruh pantai utara Karawang, seperti di Kecamatan Pakis Jaya, Tirta Jaya, Pedes, Cibuaya, dan Cilamaya. Sejumlah rumah kini hanya terpisah beberapa meter dari bibir laut. Terjangan air laut, yang sudah menelan rumah penduduk, tak terbendung lagi.

Hidup di bawah ancaman abrasi laut, menurut Kepala Desa Cemara Utara Yong Lim Supardi, justru membuat kekerabatan warganya kuat. Beberapa warga desa yang punya tanah luas merelakan lahannya ditempati korban abrasi. Para pengungsi itu bisa tinggal tanpa perlu membeli tanah. "Sekarang banyak yang numpang mendirikan rumah di tanggul tambak," kata Yong.

Menurut Yong, kondisi itu sebenarnya mengganggu para pemilik tambak. Limbah domestik mengalir ke tambak. "Ikan bandeng mereka ada yang kena air sabun," ujar Yong. "Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada tempat menetap lain. Karena kesadaran bersama, tidak pernah ada masalah di sini."

Tjandianata, sesepuh Desa Cemara Jaya Utara, mengatakan gelombang pengungsi akibat abrasi laut dimulai sejak 1977. Pria 72 tahun itu mengaku mulai menyadari adanya kerusakan akibat abrasi pada awal 1970-an. "Tapi tidak separah sekarang. Dulu kalau pasang air belum pernah naik ke kampung," kata Tjandianata.

Menurut dia, abrasi ganas memaksa warga meninggalkan sebuah dusun yang dulu terletak di utara jalan Desa Cemara. Tatkala masih kecil, Tjandianata sering bermain ke dusun yang pernah dipenuhi pohon kelapa itu. "Banyak teman saya di sana, kami sering menggembala kerbau karena masih ada lahan di sana," kata Kepala Biara Manggala itu.

Di tepi laut, ada sebuah benteng buatan Belanda yang sering digunakan sebagai tempat bermain Tjandianata dan kawan-kawan. Benteng itu memiliki menara dan banyak ruangan. "Dulu kami sering main petak umpet di sana, sekarang tempat itu sudah di tengah laut, terendam semua," ujarnya.

Pengungsian dari dusun itu berlangsung bertahap. Menurut Tjandianata, penduduk memilih mundur lalu menempati lahan-lahan kosong di bantaran kali atau membangun rumah di tanggul tambak. "Itu karena tidak mampu beli tanah, makanya membangun rumah di tanah kosong," tuturnya.

Abrasi mengganas karena pesisir Karawang yang mencapai 84 kilometer itu tak memiliki penahan gelombang yang memadai. Hutan bakau, benteng alami pantai dari terjangan air laut, di kawasan itu pun rusak.

Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia Jatna Supriatna mengatakan abrasi di pesisir Karawang sudah tergolong parah. Jika kondisi itu tak segera ditangani, diprediksi pesisir Karawang bisa tenggelam pada 20 tahun mendatang. "Banyak sawah yang kini sudah di tepi laut itu akan tenggelam," katanya.

Menurut Jatna, kawasan pantai utara Jawa sangat rentan dilanda abrasi. Tanah di sana umumnya terbentuk dari endapan yang terbawa arus sungai. Sedimentasi ini sangat mudah digerus air. Kawasan utara Jawa juga tidak punya terumbu karang kuat untuk menahan gelombang. "Abrasi semakin cepat, apalagi jika hutan bakaunya habis. Padahal dulu Karawang salah satu daerah yang memiliki hutan bakau terluas di utara Jawa," ujarnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang Hendro Subroto, mengatakan hutan bakau di pantai Pisangan rusak ditebangi para pedagang musiman. Menurut Hendro, sebelum 1995 tak ada satu pun warung di pantai Pisangan. "Pohon bakau dan tegakan lain dulu ditanam di sepanjang Pisangan, tapi pelan-pelan pedagang membangun warung dan membabat pohon-pohon itu."

Penanaman pohon bakau, kata Hendro, menjadi program intensif pemerintah yang dilakukan dari Karawang hingga Indramayu. Namun banyak lahan dipakai untuk membangun warung dan tambak ikan. "Saat warungnya habis, mereka membuat lagi di atas mangrove yang masih kecil," ujarnya.

Perubahan garis pantai akibat abrasi, menurut Jatna, sebenarnya terjadi secara alami. Garis pantai maju jika ada pemadatan lahan yang ditumbuhi tanaman. Garis pantai bisa mundur akibat bencana seperti badai besar. Namun intervensi manusia, seperti membuat tambak, menyebabkan perubahan garis pantai bisa berbeda ketimbang proses alami. "Semakin besar ukuran tambak, semakin menjorok ke darat dan memakan lahan yang ada," ujarnya.

Abrasi di Karawang tak terbendung karena wilayah itu tak dilengkapi pemecah ombak yang kuat. "Jakarta masih lumayan karena ada pemecah ombak, pesisir Karawang itu pantai alami," kata Jatna. Menurut dia, pemerintah Karawang perlu membuat rancangan pembangunan kawasan pesisir untuk mengatasi masalah abrasi. "Menjaga kawasan pantai itu tanggung jawab pemerintah daerah masing-masing. Kalau diserahkan semuanya ke pemerintah pusat, kewalahan juga menangani lebih dari 81 ribu kilometer garis pantai Indonesia," ujar Jatna.

Menurut Jatna, Karawang memiliki keuntungan besar karena punya lahan pertanian luas. Beragam industri, dari makanan hingga otomotif, dibangun di sana. Namun hal ini bisa menjadi bumerang karena pencemaran menjadi masalah besar. "Bisa terjadi bencana jika ada industri yang limbahnya bocor ke sungai lalu mengalir ke pesisir. Karawang bisa jadi keranjang sampah."

Gabriel Wahyu Titiyoga, Hisyam Luthfiana (Karawang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus