Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Meneruskan Tradisi Panembahan Trusmi

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pria tampak serius mengguratkan canting di atas selembar kain mori. Tangan gempalnya tak canggung membuat goresan-goresan membentuk motif Mega Mendung, awan menggumpal-gumpal dan berlapis-lapis, yang biasanya menjadi ornamen utama. Corak seperti itu rupanya menjadi ciri khas batik Trusmi, salah satu ikon seni batik gaya Cirebonan.

Iman—demikian lelaki 42 tahun itu biasa disapa—adalah satu dari sedikit seniman Desa Trusmi yang dianggap menguasai teknik yang baik dalam menggambar batik di wilayah itu. Hampir setiap hari keahliannya diasah dengan menerima pesanan dari berbagai konsumen. "Yang sedang saya kerjakan ini untuk sebuah ruang pamer batik," ia menjelaskan. Menurut dia, kepiawaiannya dalam membatik tak lain merupakan warisan dari sang ayah.

Desa Trusmi di Kecamatan Weru, sekitar lima kilometer dari Kota Cirebon, agaknya merupakan nama yang tak asing lagi bagi kalangan pencinta batik. Desa itu terbagi menjadi Trusmi Wetan dan Kulon. Sepanjang Jalan Panembahan dan Jalan Buyut Trusmi, dua jalan yang membelah desa itu, berderet lebih dari 100 ruang pamer.

Trusmi, nama desa itu, diambil dari nama seorang kesatria pengikut Sunan Gunung Jati, Panembahan Trusmi. Dia ikut menyebarkan ajaran Islam di daerah tersebut, sembari mengajarkan seni batik kepada penduduk setempat. Kini, setiap tanggal 25 Maulid digelar upacara Ganti Welit, sebuah prosesi mengganti atap makam sang panembahan.

Pengembangan batik Trusmi hingga menjadi industri rumahan yang menghidupi komunitas setempat dirintis oleh almarhum Masina, salah satu keturunan Panembahan Trusmi. Masina adalah pendiri Koperasi Batik Budi Tresna—tulang punggung usaha batik di sana—pada 1950-an. Gedung koperasi yang mewah dan bangunan sekolah dasar hingga sekolah tingkat menengah atas adalah tanda keberhasilan bisnis batik Trusmi. Pada masa keemasan, 1950-1968, batik Trusmi telah merambah pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Belanda.

Setelah itu, perlahan bau khas malam alias lilin batik dan obat-obatan pewarna tak sesemerbak sebelumnya. Era batik tulis telah digempur industri batik cetak yang secara leluasa juga meniru desain tradisional. Kesulitan demi kesulitan pun terus mendera pengusaha batik Trusmi. Kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal 2005 ikut andil dalam memukul ketahanan ekonomi Trusmi.

Upaya bertahan hidup dari tumpukan kesulitan itulah yang kini dilakukan Komarudin Kudiya. Dia menciptakan motif-motif baru yang dinamis, tapi tetap berpegang pada pakem batik Trusmi: Mega Mendung dan Wadasan.

NK, Ivansyah (Cirebon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus