Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari balik jendela kamar hotel di Nagoya, Jepang, awal Januari lalu, mata Komarudin Kudiya terus mencermati serpihan-serpihan salju yang menghujani kota itu. Saking terpesonanya, Komarbegitu seniman batik asal Cirebon, Jawa Barat, itu biasa disapamenghambur ke luar seraya meraup salju yang menimbuni halaman hotel.
Komar tak hanya terpesona. Pria berusia 36 tahun kelahiran desa perajin batik, Trusmi, Cirebon, itu berupaya menggali informasi tentang salju, yang baru pertama kali dinikmatinya. Di sela-sela kesibukannya mengikuti pameran kerajinan Indonesia di Nagoya, ia berburu ke sejumlah toko buku. "Saya menemukan sebuah buku tentang salju dan membuat saya semakin terpesona," katanya.
Ternyata dia menemukan semacam kesimpulan, serpihan-serpihan salju yang turun di belahan bumi mana pun berbentuk heksagonal (segi enam) simetris. Strukturnya menyerupai kristal. Setiap kristal salju nan bening, yang rata-rata berdiameter 5 milimeter dengan tebal sekitar 0,1 milimeter itu, mirip bintang berjarum banyak. Kristal-kristal salju itu bentuknya tak sama antara satu dan lainnya. "Bentuk khas kristal salju itulah yang kemudian menginspirasi karya-karya saya," ujar Komar mengungkapkan dasar pijakan gagasannya dalam berkarya.
Memang, selama sekitar lima bulan belakangan, Komar banyak melahirkan motif batik gaya Cirebonan yang bersumber dari bentuk kristal salju. Motif kristal salju itu dituangkan dalam produk kemeja dan kimono. Sebagai latar, ia menyuguhkan warna biru cerah atau biru muda. "Itu tak mengubah motif khas batik Cirebon yang senantiasa berwarna cerah."
Satu di antara ciri khas batik tradisional Cirebonlebih dikenal sebagai batik Trusmiadalah penggunaan warna-warna yang cerah. Biasanya merah, biru, biru langit, hijau pupus. Selain warna, motifnya juga khas. Bentuknya berupa garis-garis lengkung bergelombang. Ini banyak dipakai menggambarkan bentuk awan dan cadas yang tersusun ritmis. Dua motif yang menjadi ciri khas ragam hias batik Cirebonan adalah Mega Mendung dan Wadasan.
Mega Mendung merupakan motif berupa rangkaian gumpalan awan (mega) jalin-menjalin, dan pada beberapa bagian saling menumpuk. Motif ini merupakan gambaran awan mendung yang sangat diharapkan menghasilkan turunnya hujan. Sedangkan Wadasan, biasanya di bawah Mega Mendung, adalah motif berbentuk batu cadas. Ini menggambarkan ketangguhan, kemapanan, dan kekerasan, sebagai fondasi hidup manusia.
Menurut Komar, batik Trusmi juga memiliki garis motif yang kecil. "Itu tak dimiliki oleh motif batik lainnya di Indonesia." Yang jelas, batik gaya Cirebonan itu selalu memiliki warna latar yang lebih cerah atau muda daripada motifnya. "Nah, kekhasan inilah yang tetap saya pertahankan dalam mengembangkan motif-motif batik Trusmi kontemporer," ujarnya.
Sekitar delapan tahun lalu, saat memutuskan terjun total ke dunia batik, Komar memulainya dengan menggambar ulang seluruh motif batik produksi keluarganya. Kakek dan ayahnya adalah seniman batik di sentra perajin batik Desa Trusmi, Kecamatan Weru, Cirebon. "Bahkan kakek saya langsung menuliskan motifnya di kain, tanpa membuat pola lebih dulu."
Rangkaian gambar motif batik warisan keluarganya itu kemudian dikumpulkan Komar dalam beberapa buku. Ia mempelajari setiap detailnya. Anak sulung dari delapan bersaudara itu kemudian mencoba membuat motif sendiri. "Terus terang, ketika pertama kali mencobanya, saya sempat gemetaran," katanya mengisahkan. Motif-motif awal batiknya masih sangat kental dengan motif tradisi para pembatik di kampung halamannya.
Langkah Komar kian pasti setelah karyanya, Selendang Pitaloka, meraih gelar juara pertama dalam Lomba Desain Selendang Internasional di Yogyakarta, pada akhir 1997. Revolusi desain pertama dilakukannya pada tumpal, motif batik dengan lukisan tiga strip yang berjajar. Ia mengubah ukuran lebar tumpal dari 60 sentimeter menjadi 30 sentimeter. Ia juga memasukkan ornamen kaligrafi, motif Yunani, dan Eropa Barat, ke dalam tumpal itu. Hasilnya? Motif Tumpal Reformasi yang dituangkan dalam bentuk sarung.
Setelah itu, dari tangannya lahir aneka motif batik kontemporer gaya Cirebonan. Di antaranya Sekarjagat Belahketupat, Tiga Ranting Rendeng-Rendeng (TR3), Bunga Lili, 150 Kembang, dan Motif Alat Tenun Bukan Mesin. "Aneka motif itu saya gali secara autodidak dari buku-buku tentang desain batik," tuturnya. "Saya juga banyak berguru pada seniman batik senior di Trusmi," alumni Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, itu menjelaskan.
Selain mengembangkan motif, sejak 1998 Komar juga mulai merintis pembuatan batik tak hanya di atas kain katun, tapi ia juga menuangkannya di kain sutra. Lalu, demi memperkenalkan batik-batik rancangannya itu, ia juga kerap mengikuti rangkaian pameran, baik di dalam maupun luar negeri.
Pengalaman dan pergaulannya di sejumlah ajang pameran membuka cakrawala pemikirannya. Batik tak lagi hanya kelanjutan tradisi nenek moyangnya, tapi merupakan kegiatan ekonomi. Bersama istrinya, Nuryanti Widya, yang juga berasal dari keluarga pembatik tradisional Cirebon, ia membuka Rumah Batik "Komar" di Bandung. Lalu, selain di Cirebon, ia juga membuka bengkelnya di Bandung dan Pekalongan.
Sepanjang 2001-2003, saat kuliah program master desain di ITB, wawasannya tentang desain kian luas. Komar mulai memahami bahwa sebuah desain harus sesuatu yang baru (inovatif) dan fungsional. "Dari situlah saya kian terpompa untuk mengeksplorasi desain batik Trusmi, mengembangkan motif-motif baru," ujarnya. "Apalagi, saat ini persaingan di dunia batik kian ketat."
Seorang dosennya di ITB menganjurkan ia membuat desain yang bertema global, bernuansa lingkungan, dan fashionable. "Awalnya, saya agak bingung mau membuat motif seperti apa." Tapi, ketika berkunjung ke Lembaga Oseanologi, Jakarta, ia menemukan ide: membuat motif kerangsesuatu yang bernuansa lingkungan.
Komar membuka literatur tentang kerang. Juga berselancar di Internet. Ia mulai mendalami seluk-beluk tentang kerang, dari sel hingga tekstur kulitnya. Akhirnya, muncullah motif Mollusca. Kebetulan, motif tentang binatang laut itu rupanya sedang jadi tren di sejumlah negara. "Jadi, motifnya memang global dan bernuansa lingkungan."
Sejak itu, Komar banyak menampilkan motif-motif binatang dalam rancangan batiknya. Antara lain motif kuda, kuda laut, ikan tuna, gajah, dan burung. Hingga kini, setidaknya ia telah menghasilkan ratusan motif batik Trusmi kontemporer. Semuanya tersimpan dalam komputernya. "Saya sedang mempatenkan motif-motif batik itu," katanya.
Setiap motif yang diciptakannya hanya berusia empat-lima bulan ke depan. Setelah itu, ia menciptakan motif baru lagi. Komar juga membuat alat cap dari lembaran tembaga dan pelat besi untuk tiap motif batiknya itu. Sekitar 1.500 alat cap batik itu tersimpan rapi di bengkelnya di kawasan Cibeunying, Bandung, Jawa Barat.
Komar terus melangkah. Ia berencana mendalami ilmu desain batik ke jenjang doktoral. Ia juga sedang mempersiapkan batik terpanjang di dunia.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo