Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Astagfirullah, Dana Haji...

Setelah bertahun-tahun terkunci rapat, penghamburan dana hasil ibadah haji akhirnya terungkap. Departemen Agama ternyata jadi lembaga sedekah.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto Headline Edisi 17/34

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya adalah sepucuk surat dari Menteri Agama Maftuh Basyuni. Izin tertulis yang diberikan pada Februari lalu itu menjadi kunci masuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menguak bobroknya pengelolaan dana di Departemen Agama. Audit atas biaya penyelenggaraan ibadah haji dari tahun 2002-2005 lantas berlangsung dan, ketika laporan audit diserahkan pada April lalu, terungkaplah penyelewengan dana yang jumlahnya ternyata membuat banyak orang terkesiap..., naudzubillah.

Tim pemberantasan tindak pidana korupsi, yang mendapatkan hasil audit itu, tak cuma beristigfar. Mereka lalu memeriksa Taufik Kamil, 60 tahun, mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, yang sejak pekan lalu resmi ditahan. Pekan ini, rencananya akan menyusul diperiksa Said Agil Husin al-Munawar, Menteri Agama 2002-2005, yang juga telah dinyatakan sebagai tersangka. Keduanya adalah penanggung jawab Dana Abadi Umat (DAU), sebuah pos anggaran yang menghimpun duit hasil efisiensi penyelenggaraan haji. Pos anggaran tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Dana Abadi Umat.

Menurut ketua tim pemberantasan tindak pidana korupsi, yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Hendarman Supandji, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 700 miliar. ”Sumber penyelewengan berasal dari pengeluaran fiktif, pengeluaran ganda, pengeluaran kemahalan, dan pengeluaran utang yang tidak kembali dari dana efisiensi penyelenggaraan haji,” katanya. Periode musim haji yang menjadi sumber korupsi adalah tahun 2001 hingga 2005.

Angka kerugian yang disebut Hendarman ternyata belum semuanya. Ketika audit direntang ke tahun 1993, tim BPKP ternyata juga menemukan manipulasi di tiga rekening, yaitu Dana Abadi Haji, Dana Kesejahteraan Karyawan, dan Dana Korpri. Ketiga rekening tersebut kini sudah diblokir. ”Karena itu, tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka dalam kasus korupsi di Departemen Agama akan bertambah,” ujar Hendarman. Jika pernyataan Hendarman benar, sel Mabes Polri—tempat kasus ini diusut—mungkin akan kedatangan beberapa mantan Menteri Agama.

Berdasarkan hasil audit BPKP yang diterima Tempo, kerugian akibat salah urus DAU itu mencapai Rp 216 miliar (lihat infografik). Hal itu meliputi tiga kategori, yakni kewajiban penyetoran ke kas negara (Rp 667 juta), kewajiban penyetoran/pengembalian ke kas DAU (Rp 111 miliar), dan penyimpangan penggunaan DAU (Rp 104 miliar). Tidak memungut pajak dan salah investasi mewarnai dua kategori pelanggaran pertama. Tapi yang paling seru justru hasil audit kategori ketiga, yaitu berupa sedekah massal tanpa kendali.

Padahal, menurut Pasal 2 Keppres 22 Tahun 2001, DAU diperuntukkan bagi kemaslahatan umat di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta penyelenggaraan ibadah haji. Kenyataannya, selama masa audit sejak 1 Januari 2001 hingga 30 November 2004, ditemukan ratusan bukti pengeluaran yang tak relevan. Mulai dari sedekah untuk ballboy di lapangan tenis, uang bensin ibu-ibu pejabat Departemen Agama, sumbangan kambing kurban atas nama pejabat Departemen Agama untuk warga kampung, sogokan wartawan, hingga bantuan biaya perjalanan mantan presiden dan kandidat wakil presiden yang berasal dari sebuah organisasi keagamaan.

Sebagian dari dana abadi itu ada yang dikeluarkan rutin setiap tahun untuk pos tertentu, seperti beasiswa dan dana bantuan untuk lembaga pendidikan. Sayangnya, kriterianya tak cukup jelas. Sebab, bantuan itu juga diberikan untuk anak-anak pegawai atau pensiunan Departemen Agama. Bahkan ada juga bantuan untuk membeli tanah. Pos rutin lain adalah tanggungan untuk biaya operasional pejabat Departemen Agama, mulai dari membayar tiket dan akomodasi kunjungan dinas, tagihan telepon dinas dan seluler, perawatan kendaraan, sampai cleaning service.

Salah satu biaya rutin, meskipun tak ada pos khusus, adalah pemberian tunjangan hari raya (THR) dan biaya perjalanan dinas luar negeri untuk anggota dan Ketua Komisi VI DPR (periode 1999-2004), yang antara lain membidangi masalah agama, pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. ”Kalau data itu benar, buka saja. Biar ketahuan siapa yang terima,” kata mantan Wakil Ketua Komisi VI dari PDI Perjuangan, Herry Akhmadi, menantang. Memang, setiap tahun ada tim pemantauan haji DPR. Namun biayanya diambilkan dari dana operasional haji tahun itu. Mantan Ketua Komisi VI Taufiqurahman Saleh juga mengelak. ”Nggak pernah saya terima itu. Tapi nggak tahu juga kalau perorangan,” kata wakil dari Partai Kebangkitan Bangsa yang tertulis dalam laporan audit pernah menerima bantuan uang saku saat berkunjung ke Amerika. Catatan audit tahun 2002 menunjukkan, tak hanya anggota komisi, bahkan staf sekretariat komisi tersebut juga mendapat cipratan bantuan dana umrah. Luar biasa.

Yang mengaku terus-terang menerima adalah Jimly Asshiddiqie, yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Namanya tercatat pernah menerima bantuan biaya umrah tahun 2001. ”Waktu itu saya diundang. Kita kan nggak tahu dananya dari mana,” katanya masygul kepada Tempo. Ia mengaku sedih dan memprotes cara Departemen Agama membantu biaya umrahnya. ”Kalau diminta pemerintah, duitnya akan saya kembalikan,” ujarnya.

Audit BPKP juga mencatat mandulnya fungsi Dewan Pengawas. Dewan Pengawas Dana Abadi Umat terdiri dari Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Menurut BPKP, mandulnya pengawasan diduga karena unsur pengawas kecipratan Dana Abadi Umat. Paling besar diterima MUI, yakni Rp 5 miliar. Selebihnya cuma dijatah Rp 500 juta. Sejak mendapat dana ini, jangankan tugas pengawasan, laporan penggunaan Dana Abadi Umat bahkan tak pernah dilaporkan.

Parahnya, MUI ternyata mengaku sama sekali tidak tahu tentang posisi mereka sebagai anggota dewan pengawas. Menurut Sekretaris Umum MUI, Din Syamsudin, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam kepengurusan dewan pengelola DAU. ”Saya memberikan kesaksian bahwa Ketua Umum MUI tidak pernah diundang dalam pengambilan keputusan oleh badan pengelola DAU,” kata Din. Ia mengakui MUI pernah menerima dana sumbangan Rp 5 miliar dari Departemen Agama yang diterima dari Menteri Agama Tolchah Hasan. MUI sendiri dijanjikan akan mendapat Rp 20 miliar. ”Saya kira baik Muhammadiyah, NU, maupun organisasi Islam lainnya pernah menerima. Dan itu tidak salah,” ujarnya.

Syafi’i Ma’arif, Ketua Umum Muhammadiyah, juga mengakui ketertutupan pengelolaan Dana Abadi Umat. Menurut Syafi’i, Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001, yang juga memasukkan Muhammadiyah sebagai salah satu dewan pengawas DAU, tak berjalan. Sebab, nyatanya, mereka tak pernah diajak bicara tentang pengelolaan dana tersebut. ”Itu sama sekali nggak berfungsi,” katanya. Ma’arif mengaku pernah menerima dana Rp 500 juta. Dana itu diberikan untuk sumbangan organisasi. ”Karena sumbangan, kita tidak pernah diminta membuat laporan,” ujarnya.

Yang menarik, Pengurus Besar NU, organisasi tempat Said Agil Husin berasal, malah mengaku tak tahu-menahu perihal gelontoran dana Rp 500 juta itu. Mereka juga membantah duduk sebagai dewan pengawas. ”Dewan pengawas itu ada di internal Departemen Agama,” kata Achmad Bagja, Ketua Tanfidziyah PBNU. Padahal, tak seperti Muhammadiyah, yang disebut Syafi’i sebagai kurang ”dekat” dengan Depag, PBNU justru sebaliknya. Sejumlah tokoh dan pengurus mereka, berdasar hasil audit, tercatat kerap menerima kucuran dari DAU.

Hingga saat ini tak diperoleh jawaban jelas dari Said Agil Husin al-Munawar maupun Taufik Kamil tentang tuduhan korupsi Dana Abadi Umat terhadap mereka. Menurut Adiya Daswanta Paris, kuasa hukum Taufik Kamil, kliennya mengaku bertindak menurut prosedur. Sedangkan Ayuk F. Shahab, pengacara Said Agil, menyatakan tak sepatutnya tanggung jawab hanya dibebankan kepada kliennya. ”Kebijakan itu sudah berlangsung sejak Menteri Agama sebelumnya,” kata dia. Astagfirullah....

Arif A. Kuswardono, Mawar Kusuma, Agriceli


Indikasi Penyimpangan itu…

1. Hasil investasi Rp 99 miliar di sejumlah bank tidak disetorkan kembali ke Dana Abadi Umat (DAU). Kesimpulan BPKP: Ada kesengajaan manipulasi dari pejabat terkait. Bukti: Sertifikat deposito bukan atas nama Badan Pengelola DAU. Temuan: Bunga dialihkan untuk biaya Korpri, Dana Kesejahteraan Karyawan (DKK) Departemen Agama, pemeliharaan asrama haji seluruh Indonesia dan Wisma Haji di Jakarta.

2. Bantuan kepada Dewan Pengawas sebesar Rp 6,5 miliar. Kesimpulan: Pelanggaran penggunaan dana abadi. Bukti: Dokumen pemindahbukuan ke sejumlah lembaga dan organisasi keagamaan. Temuan: Dana Abadi digunakan untuk biaya operasional sejumlah lembaga dan organisasi keagamaan penting. Efeknya, fungsi pengawasan tidak berjalan.

3. Penyimpangan alokasi sekitar Rp 96 miliar. Kesimpulan: Ada kesengajaan pejabat terkait memberikan dana bukan kepada kegiatan atau lembaga yang berhak sesuai dengan Keppres No. 22 Tahun 2001. Bukti: Data pengeluaran DAU tahun 2001-2004. Temuan: Bagi-bagi THR untuk anggota parlemen, pengawal presiden, bantuan untuk tokoh agama, umrah pejabat, uang saku pejabat dan pimpinan komisi parlemen ke luar negeri.

4. Manipulasi dana Rp 7 miliar. Kesimpulan: Penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) pejabat terkait. Bukti: Pemindahbukuan dan pengeluaran DAU tahun 2001-2004. Temuan: Pengalihan dana untuk tunjangan pejabat Depag, dana taktis perjalanan dinas ke luar negeri, uang jasa, dan uang operasional.

5. Ongkos naik haji 30-an pejabat dan keluarganya senilai Rp 890 juta. Kesimpulan: Menyalahi tujuan penggunaan dana untuk kemaslahatan umat. Bukti: Tanda terima dan daftar pejabat penerima dana. Temuan: Pembiayaan ibadah haji sejumlah menteri, inspektur jenderal departemen, pejabat lembaga keuangan dan pengawasan keuangan negara. Termasuk sejumlah anggota keluarga mereka.

6. Mark-up proyek pencetakan mushaf Al-Quran sebesar Rp 700 juta. Kesimpulan: Panitia tender sengaja memenangkan satu peserta lelang. Bukti: Dokumen penunjukan langsung dan berkas harga penunjukan sendiri (HPS) dari panitia lelang. Temuan: Harga mushaf tersebut lebih mahal dari harga pasar.

7. Bantuan fiktif sebesar Rp 200 juta ke musala, masjid, dan yayasan. Kesimpulan: Pejabat lalai dalam kontrol pemakaian dana. Bukti: Dokumen pemberian bantuan. Temuan: Tidak ada pembangunan seperti disebut dalam dokumen di sejumlah tempat ibadah di Palembang, Sumatera Selatan.

8. Penghindaran pajak sebesar Rp 700 juta. Kesimpulan: Bendaharawan tidak memungut dan menyetor pajak. Bukti: Dokumen pembayaran. Temuan: Sejumlah pembayaran, termasuk hadiah naik haji para juara MTQ dari tahun 2001 sampai 2004, lolos pajak.

9. Tunggakan penyelenggara haji plus sebesar Rp 3,5 miliar. Kesimpulan: Dewan pelaksana tidak melakukan pengikatan agunan atau jaminan atas utang. Bukti: Akta pengakuan utang. Temuan: Tunggakan utang dari enam penyelenggara haji plus yang tak bisa ditagih.

10. Kerugian dalam penyertaan saham sebesar Rp 24 miliar di sebuah bank. Kesimpulan: Ketua BP DAU ceroboh dalam penempatan dana. Bukti: Catatan rapat umum pemegang saham. Temuan: Pemasukan dari pembagian dividen tidak pernah diterima sejak penempatan dana dilakukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus