SENI lukis Kamasan sudah dikemas. Lalu diberi label "tradisional", bahkan "klasik". Sering ditempeli formula: "mengikuti tradisi dari generasi ke generasi". Dalam hal label-melabel ini dikenal pula "modern" dan "masa kini" -- yang tentu tak pernah diterapkan pada seni lukis Kamasan. Maka, bagi banyak orang, seni lukis Kamasan bukanlah masa kini, melainkan sama belaka dengan masa silam. Benarkah seni lukis yang dikerjakan orang sekarang di Banjar Sangging, Kamasan, Bali -- oleh Nyoman Mandra dan murid-muridnya -- sama seperti seni lukis karya orang aman dahulu? Misalnya oleh para sangging besar masa silam seperti Gede Modara ( 1771 - 1830) ? Atau, lebih kemudian, I Wayan Kayun (1878 - 1956) pelukis langit-langit Kerta Gosa yang terkenal itu ? Pergilah tengok Bulan Kesenian Bali, 27 Februari-21 Maret, di Bentara Budaya Jakarta, yang sedang menyelenggarakan Pameran Lukisan Kamasan. Di situ, pertama-tama, perhatikan nama yang diberikan orang Bali kepada macam seni lukis ini. Dahulu, mereka menamakannya lukisan wong-wongan alias lukisan orang. Memang, unsur utama di dalamnya adalah citra sosok manusia -- dan tidak dikenal cara menggambarkan manusia kecuali cara demikian. Sekarang, mereka menyebutnya "lukisan wayang". Agaknya, sekarang mereka bukan saja sadar akan gaya. Mereka juga melihat tokoh-tokoh yang terlukis itu -- dari Ramayana Mahabarata, Malat, Tantri, Sutasoma -- bukan sebagai orang-orang yang benar ada, melainkan sebagai rekaan, khayal. Satu faktor telah hilang dari pengalaman cerapan mereka terhadap lukisan. Yaitu kepercayaan bahwa yang terlukis itu adalah tokoh-tokoh dan adegan-adegan yang mengacu kepada kenyataan yang pernah ada. Lalu, perhatikan barangnya. Anda melihat barang, yang disebut lukisan, bergantung di dinding. Masing-masing terdiri dari kain yang direntang tegang, pemidang, yaitu rangka kayu perentang (spanraam), dan bingkai. Formatnya mudah diangkut atau dibawa-bawa -- format jinjingan atau tentengan. Macam barang begini sekarang sudah lazim, hingga mungkin Anda menganggapnya universal atau bahkan alami. Tetapi barang semacam ini, dalam kaitan dengan seni lukis Bali, adalah barang baru. Dahulu, para sangging melukis pada langse, tirai berukuran sekitar 180 X 180 cm, pada ider-ider atau kain dengan lebar sekitar 30 cm dan panjang beberapa meter, serta pada parba, yaitu dinding papan, langsung dilukis atau ditutup langse. Mereka juga melukisi badan barang-barang pakai, seperti wadah dari tempurung, cangkang labu, maja (dapat dilihat dalam pameran), dan dulang (wadah sajian). Kain-kain dipajang di pura pada waktu perayaan, ditonton orang banyak. Tanpa pemidang dan bingkai, lukisan segera menyatu dengan sekeliling, menjadi bagian dari suasana perayaan. Dipajang di puri (istana), langse dan parba akan dilihat oleh segelintir orang pun. Pada barang-barang pakai, lukisan sukar mengucilkan diri untuk menjadi pusat perhatian, dan cenderung untuk dicerap secara "marginal" (sampingan), menyatu dengan suasana. Perubahan macam barang, dengan demikian, berkaitan dengan perubahan guna atau fungsi dan perubahan cerapan. Lukisan "pemidang dan bingkai" dibuat untuk dijual -- kepada wisatawan khususnya -- dengan pikiran agar dipasang di dinding. Itulah sebabnya formatnya tentengan atau jinjingan. Format ini, tentu saja, membatasi jumlah adegan yang dapat dilukiskan pada bidang gambar. Kita dapat mengamati lebih jauh dampak yang dibawakan oleh fungsi baru itu. Meskipun dalam pameran di Bentara Budaya diperlihatkan bahan-bahan lukis lama (atal, kencu, ancur, dan lain-lain), para pelukis Kamasan sudah lama merasakan bahwa menggunakan bahan-bahan modern lebih ekonomis. Dorongan untuk mengisi penuh latar belakang dengan aneka flora adalah dampak lainnya -- lalu, bandingkan dengan lukisan di Kerta Gosa yang mengutamakan sosok manusia di latar depan. Kontak dengan cita rasa dari luar menyebabkan pelukis dapat memamerkan lukisan cukup pada tahap ngereka, sketsa hitam putih dengan tinta, seperti dapat dilihat pada pekerjaan Wayan Karyana dan Wayan Pande Sumantra, misalnya. Dibebaskan dari fungsi semula, bermacam perubahan bisa terjadi. Lihat lukisan I Made Sekarwati, Sander Sita, yang kebiruan itu, dan menyimpang dari pewarnaan sediakala. Tentu saja, para pelukis Kamasan masih berpegang pada cara-cara pencitraan tertentu yang telah baku. Tetapi lukisan-lukisan "pemidang dan bingkai", dengan berbagai hal yang terjadi di dalamnya, adalah produk abad XX. Tradisional? Klasik? Mengikuti tradisi dari generasi ke generasi? Barangkali inilah "tradisional modern" atau "tradisional masa kini". Mungkin juga bukan. Sebab, di Banjar Sangging masih dibuat lukisan langse, parba, ider-ider, dan lain-lain yang lebih anut tradisi dan secara fungsional terpadu dengan adat setempat. Tetapi masa depan seni lukis Kamasan ini, agaknya, memang bergantung pada para pelukisnya. Nyoman Mandra dan para muridnya memikul tugas besar. Lebih khusus lagi, tentu, di pundak para murid yang masih sangat muda. Sebab, di antara murid-murid itu ada yang berumur 15 tahun: 6 orang. Sedangkan yang berusia 14 tahun: 1 orang. Bahkan yang 13 tahun: 2 orang. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini