Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Salah satu perupa tanah air, Dadang Christanto, mengungkapkan seniman serba bisa, seperti almarhum Danarto, adalah sosok yang langka. Bagaimana tidak, Danarto dikenal sebagai perupa, sastrawan, penulis naskah, sekaligus sutradara teater. Sejumlah karyanya berkontribusi dalam kesenian Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dadang menyebutkan, pada 1973, Danarto pernah membuat pameran tunggal lukisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran bertajuk "Putih di Atas Putih" tersebut dianggap sebagai sebuah pameran radikal dan kontroversial saat itu.
"Para pengunjung pamerannya dijungkirbalikkan pemahamannya tentang ujud lukisan. Ruang pameran disuguhi rentengan kanvas kosong polos putih. Ini 'kegilaan' yang melampaui zamannya," kata Dadang berdasarkan keterangan yang diterima Tempo, Rabu, 11 April 2018.
Danarto juga pernah mengisi ilustrasi figur-figur wayang yang unik dan artistik untuk majalah Zaman. Dari goresannya tersebut, Danarto juga terbukti sebagai pelukis andal.
Sosok Danarto pun makin dikenal sebagai sosok yang konseptual dalam pendekatan dunia seni rupa. Pameran Puisi Konkret jadi satu momen yang menunjukkan bahwa pemikiran dan kreativitas Danarto memang melampaui zamannya.
Sebagai sastrawan, Danarto dikenal sebagai sosok yang punya keunikan genre serta warna tersendiri. Hal itu tercermin dari karya-karyanya, antara lain kumpulan cerpen Godlob (1975), Adam Ma'rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1993), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2008), lalu karya novel Asmaraloka (1999), catatan perjalanan berjudul Orang Jawa Naik Haji (1983), naskah teater Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-ewek (1976), Bel Geduweh Beh (1976), serta kumpulan esai Begitu ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu (1996), dan Cahaya Rasul 1-3 (1999-2000).
Di bidang teater, sosok Danarto, menurut Seno Gumira Ajidarma, punya jejak yang tak kalah meyakinkan. Pada rentang 1962-1974, selain berperan sebagai perancang artistik bagi pementasan Rendra, Arifin C. Noer, dan Teater Sardono, Danarto pernah terlibat dalam penataan artistik misi kesenian Indonesia dalam Expo '70 Osaka, Jepang.