Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini seratus tahun yang lalu, penyair Indonesia termasyhur, Chairil Anwar, lahir di Medan, Sumatera Utara. Selama hidupnya, ia menulis kurang lebih tujuh puluh puisi. Karir kepenyairannya baru bermula saat usianya menginjak dua puluh tahun.
Putra semata wayang pasangan Toeloes dan Saleha ini mulai mengenyam bangku sekolah di Hollands Indische School (HIS), sekolah dasar untuk pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia lalu melanjutkan pendidikannya di Meer Uitegebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah itu, ia tidak lagi bersekolah sebab ingin fokus menjadi seniman.
Ia mengenal dunia sastra setelah pindah ke Batavia, saat berusia 19 tahun. Puisi pertamanya berjudul Nisan terbit pada 1942. Sajak kuatrain buat mengenang nenekandanya itu menyatakan bahwa keridhaan dalam menerima suratan takdir yang benar menusuk kalbu, alih-alih kematian. Sebelum itu, puisi-puisinya kerap kali mendapat penolakan sebab terlampau individualistik dan karena itu tidak sesuai dengan semangat juang Asia Timur Raya.
Puisinya bagai pelor yang menghujam kekuasaan penjajah. Ia pernah mendekam di penjara sebab puisinya yang berjudul Siap Sedia pada 1943. Penjajah saat itu menilai puisinya merupakan propaganda untuk melawan kekuasaan mereka. Frasa "dunia terang", dalam salah satu baris puisi, "Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang," Menurut mereka frasa itu merujuk pada Jepang. Karena itu, puisinya jarang diterbitkan.
A. Teeuw, kritikus sastra Indonesia, menyebutnya sebagai "penyair Indonesia yang sempurna". Ia pun mencatat bahwa karya-karya Chairil banyak diperbincangkan oleh penyair muda dan kritikus pada 1980-an. Sementara itu, H. B. Jassin, menyebutnya bersama Asrul Sani dan Rivai Apin sebagai pelopor angkatan 45 dan puisi modern.
Puisi berjudul Aku atau Semangat menjadi penanda babak baru dalam kesusateraan Indonesia. Dari puisi ini, tampak kemahiran penyair dalam mengolah hasil-hasil bacaannya dari dalam dan luar negeri, seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane.
Sang binatang jalan ini, demikian panggilan akrabnya, menyatakan bahwa pikiran berpengaruh besar pada hasil seni yang tingkatnya tinggi. Dalam esainya, Pidato Radio Chairil Anwal 1943, ia pun menyatakan bahwa penyair tidak mendapat wahyu dan tidak bekerja setengah-setengah dalam kreasi yang berarti menimbang, memilih, dan mengupas.
Nirwan Dewanto, dalam esainya berjudul Situasi Chairil Anwar, menyatakan bahwa Chairil memperluas tradisi perpuisian Indonesia. Sajak-sajak terbaik Charil, menurut dia, ada dalam bentuk kuantrain dan soneta yang mapan dalam berbagai tradisi sastra dunia. Chairil mengembangkan dengan cara tidak menulis satu kalimat lengkap dan utuh pada sebaris kuatrin.
Chairil pernah melengkapi hidupnya dengan menikahi Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa Chairil Anwar. Namun, kedua pasangan ini bercerai pada akhir 1948.
Pada 28 April 1949, seseorang yang meneriakkan keinginan hidup seribu tahun ini meninggal dunia di rumah sakit CBZ. Ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya. Ususnya pecah di usianya yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun. Lantas, ia pun dimakamkan di pemakaman Karet Bivak, Jakarta.
PRAMODANA
Baca juga: 100 Tahun Chairil Anwar, Sang Penyair Sempat Dituduh Lakukan Plagiat Puisi Karawang Bekasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini