Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Chairil Anwar, namanya masih sering disebut dalam suksesnya pemberian warna dalam penciptaan karya sastra di Indonesia. Tepat pada tanggal di 26 Juli 1922, pria yang sering dijuluki Si Binatang Jalang ini lahir ke dunia. Ia merupakan anak semata wayang dari pasangan Toeloes dan Saleha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dunia sastra, puisi-puisinya terbilang popular dan masih sering dibacakan. Disebutkan dalam laman p2kp.stiki.ac.id, Chairil telah menyumbang karya tulisan sebanyak 75 puisi, tujuh prosa, dan tiga koleksi puisi.Ia juga menerjemahkan 10 puisi dan empat prosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara pengarang dan kritikus sastra, HB Jassin mengumpulkan sebagian besar karyanya yang masih tersisa dalam buku berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan. Dan pada tahun 1970, Burton Raffel menerbitkan buku berjudul The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar yang berisikan terjemahan bahasa Inggris dari sejumlah karyanya.
Chairil Anwar dan Puisi Karawang Bekasi
Namun di balik itu, ada kasus menggemparkan untuk seorang Chairil, yaitu kasus plagiarisme hak cipta atas karya seseorang. Dalam jurnal berjudul Legal Protection for the Impaired Creator by Plagiarism Act, ada indikasi suatu plagiarisme atas puisi terkenalnya yang berjudul Karawang Bekasi.
Ia diduga menyontek karya dari penyari Amerika Serikat Archibald MacLeish yang berjudul The Young Dead Soldiers Do Not Speak. Hal ini menimbulkan polemik sepanjang masa, bahkan hingga saat ini. Pasalnya banyak penyair yang menyatakan bahwa karya tersebut ialah plagiarisme.
HB Jassin pun mengatakan bahwa tuduhan tersebut tidak sebenarnya salah. Dalam tulisannya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat membahas puisi Kerawang-Bekasi, menjelaskan meskipun karyanya itu terbilang mirip tapi tetap ada rasa Chairil di dalamnya.
Melansir jendelasastra.com, masih adanya orisinal dalam setiap puisi terjemahannya sehingga tarikan jiwanya pun masih sangat terasa. Begitu pula dalam menulis, ia dapat menjiwai sebuah karya seni dan memasukan yang sesuai kepribadiannya dalam karya yang ia sadur.
Selain itu, karya yang disadur terbilang ciamik karena Chairil memiliki pengetahuan dan bacaan yang dapat dibilang luas, serta pendidikan yang baik membuat berbagai pemikirannya membuat karya yang dibuat lebih tajam.
Sedangkan dalam jurnal berjudul Plagiat di Perguruan Tinggi (pencegahan dan Penanggulangannya, menjelaskan bahwa Jassin menyebut sajak MacLeish hanya sebuah katalisator penciptaan. Ditambah Jassin menyebut tindakannya itu dilakukan karena ada unsur kebutuhan finansial untuk berobat ke dokter. Namun sempat terjadi ketegangan memuncak ketika digelarnya acara di Gedung Kesenian Jakarta yang membuat beberapa tokoh sampai berkelahi.
Terlepas dari plagiartsmenya, Chairil Anwar telah menjadi pelopor perubahan terhadap sajak di Indonesia. Salah satunya mampu membaharui sajak sesudah perang sehigga terasa lebih berbeda.
Chairil Anwar menulis sajak secara produktif mulai 1942-1949. Namun vitalitasnya dalam menulis mulai menurun karena penyakit yang ia derita. Ia pun meninggal di usia muda pada 28 April 1949. Dan, hari ini seabad atau 100 tahun Chairil Anwar diperingati di mana-mana.
FATHUR RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.