Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 26 Agustus diperingati sebagai hari kelahiran ke-59 Wiji Thukul. Pria bernama asli Widji Widodo ini merupakan salah satu tokoh aktivis sekaligus sastrawan yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Namun sejak tahun 1998 sampai sekarang, dirinya tak muncul lagi karena dinyatakan hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiji Thukul menghilang bukan berarti karya-karyanya pun ikut hilang juga. Bahkan karya puisinya semakin banyak digaungkan atau bahkan menjadi inspirasi bagi orang lain hingga saat ini. Hal ini pun tak luput dari perjuangannya menyampaikan puisi di berbagai tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disebutkan dalam ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Wiji telah banyak menngirimkan sajaknya ke berbagai media cetak lokal hingga internasional. Hal ini membawanya kepada suatu penghargaan bersamaan W. S. Rendra ketika menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Negeri Belanda.
Oleh karenanya, tak diragukan lagi kemampuan dalam berpuisinya. Untuk mengenang hal tersebut, berikut adalah lima puisi yang perlu anda baca.
- Peringatan
Puisi ini merupakan tonggak lahirnya perlawanan pada masa rezim otoritarianisme. Dalam "Esai Pengantar" buku kumpulan puisi Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, menjelaskan bahwa kalimat pendek di akhir sajak yang berbunyi, "Hanya ada satu kata, 'Lawan!'" merupakan ide Thukul yang terpengaruh dari sebuah pusi yang dibuat oleh temannya di teater Jagat.
Lalu kalimat yang awalnya ditujukan untuk perjuangan melawan Belanda, oleh Thukul diambil dan diganti untuk ditujukan kepada perjuangan buruh. Kalimat tersebut menjadi pilihan hidup Wiji Thukul untuk bergabung dengan setiap barisan perlawanan atas rezim militeristik Orde Baru. Puisi tersebut berbunyi sebagai berikut;
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa bicara
Kita harus hati-hati untuk
mereka asa
Kalau rakyat mendengar
dan berbisik ketika
membicarakan masalah itu sendiri
harus waspada dan mendengar
Bila rakyat berani menunjukkan
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
Jika usul ditolak tanpa pertimbangan
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa
alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
- Istirahatlah Kata-kata
Dalam studi yang diterbitkan pada tahun 2019, puisi Istirahatlah Kata-kata ini dimaknai sebagai simbol kritik terhadap suatu rezim yang terwujud dalam gerakan demonstrasi. Istirahat sendiri bermakna atas suatu refleksi dan evaluasi sejauh perlawanan dilakukan.
Dalam puisi ini juga memberitahu bahwa perjuangan tidak boleh berhenti, justru terus harus dilakukan. Makna lain dari istirahat dengan kata kata bukan berarti berhenti dari segalanya, namun perlu menyusun strategi untuk melanjutkan dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Isi dari puisinya sebagai berikut;
istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang meringis
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri
tidurlah, kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan
tak bisa lagi ditahan-tahan
Solo Sorogenen, 12 Agustus 1988
- Kenangan Anak-anak Seragam
Puisi berikutnya dari karya Wiji Thukul berjudul Kenangan Anak-Anak Seragam. Berdasarkan jurnal Wacana Reformasi Dunia Pendidikan terbit pada 2016, puisi ini menggambarkan mengenai wacana reformasi dalam dunia pendidikan. Selain itu, puisi ini juga dapat dijadikan sebagai umpan untuk mengubah sistem pendidikan demi terjalinnya kecerdasan bangsa. Isi puisi tersebut sebagai berikut;
pada masa kanak-kanakku
setiap jam tujuh pagi
aku harus seragam
bawa buku harus mbayar
ke sekolah
katanya aku bodoh
kalau tidak bisa menjawab
pertanyaan guru
yang diatur kurikulum
aku dibentak dinilai buruk
kalau tidak bisa mengisi dua kali dua
aku harus menghapal
mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf
aku harus tahu siapa presidenku
aku harus tahu ibukota negaraku
tanpa aku tahu
apa maknanya bagiku
pada masa kanak-kanakku
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
aku tidak boleh menguap di kelas
aku harus duduk menghadap papan di depan
sebelum bel tidak boleh mengantuk
tapi
hari ini
setiap orang boleh memberi pelajaran
dan aku boleh mengantuk
- Tanpa Judul
Puisi berjudul Tanpa Judul dibuatnya ketika masa pelarian pertamanya pada 1996. Dalam Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (2019), menjelaskan bahwa Wiji ingin memperlihatkan kondisi dirinya yang jauh dari orang terdekat. Meskipun ia lebih bebas, namun dalam puisi ini ia merasa tidak merdeka. Hal ini disebabkan oleh tindakan pemerintah kepada dirinya. Untuk isi lengkapnya sebagai berikut;
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
- Nyanyian Akar Rumput
Melansir sastranesia.com, puisi berjudul Nyanyian Akar Rumput diperuntukkan rakyat yang tidak menerima tindakan pemerintah di masanya. Selain itu menjelaskan bahwa setidaknya nyanyian ini terlalu samar untuk didengar penguasa, bahkan mungkin hanya dianggap angin lewat. Isi dari puisi tersebut sebagai berikut;
jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
Ditulis pada Juli 1988
FATHUR RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.