Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mengenang Wiji Thukul, 5 Puisi Perlawanannya: Istirahatlah Kata-kata sampai Nyanyian Akar Rumput

Wiji Thukul telah membuat banyak puisi semasa masa perlawanannya terhadap rezim, anrtara lain istirahatlah Kata-kata dan Nyanyian Akar Rumput.

27 Agustus 2022 | 06.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 26 Agustus diperingati sebagai hari kelahiran ke-59 Wiji Thukul. Pria bernama asli Widji Widodo ini merupakan salah satu tokoh aktivis sekaligus sastrawan yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Namun sejak tahun 1998 sampai sekarang, dirinya tak muncul lagi karena dinyatakan hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiji Thukul menghilang bukan berarti karya-karyanya pun ikut hilang juga. Bahkan karya puisinya semakin banyak digaungkan atau bahkan menjadi inspirasi bagi orang lain hingga saat ini. Hal ini pun tak luput dari perjuangannya menyampaikan puisi di berbagai tempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disebutkan dalam ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Wiji telah banyak menngirimkan sajaknya ke berbagai media cetak lokal hingga internasional. Hal ini membawanya kepada suatu penghargaan bersamaan W. S. Rendra ketika menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Negeri Belanda.

Oleh karenanya, tak diragukan lagi kemampuan dalam berpuisinya. Untuk mengenang hal tersebut, berikut adalah lima puisi yang perlu anda baca.

  1. Peringatan

Puisi ini merupakan tonggak lahirnya perlawanan pada masa rezim otoritarianisme. Dalam "Esai Pengantar" buku kumpulan puisi Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, menjelaskan bahwa kalimat pendek di akhir sajak yang berbunyi, "Hanya ada satu kata, 'Lawan!'" merupakan ide Thukul yang terpengaruh dari sebuah pusi yang dibuat oleh temannya di teater Jagat.

Lalu kalimat yang awalnya ditujukan untuk perjuangan melawan Belanda, oleh Thukul diambil dan diganti untuk ditujukan kepada perjuangan buruh. Kalimat tersebut menjadi pilihan hidup Wiji Thukul untuk bergabung dengan setiap barisan perlawanan atas rezim militeristik Orde Baru. Puisi tersebut berbunyi sebagai berikut;

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa bicara

Kita harus hati-hati untuk

mereka asa

Kalau rakyat mendengar

dan berbisik ketika

membicarakan masalah itu sendiri

harus waspada dan mendengar

Bila rakyat berani menunjukkan

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

kebenaran pasti terancam

Jika usul ditolak tanpa pertimbangan

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa

alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

  1. Istirahatlah Kata-kata

Dalam studi yang diterbitkan pada tahun 2019, puisi Istirahatlah Kata-kata ini dimaknai sebagai simbol kritik terhadap suatu rezim yang terwujud dalam gerakan demonstrasi. Istirahat sendiri bermakna atas suatu refleksi dan evaluasi sejauh perlawanan dilakukan.

Dalam puisi ini juga memberitahu bahwa perjuangan tidak boleh berhenti, justru terus harus dilakukan. Makna lain dari istirahat dengan kata kata bukan berarti berhenti dari segalanya, namun perlu menyusun strategi untuk melanjutkan dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Isi dari puisinya sebagai berikut;

istirahatlah kata-kata

jangan menyembur-nyembur

orang-orang bisu

kembalilah ke dalam rahim

segala tangis dan kebusukan

dalam sunyi yang meringis

tempat orang-orang mengingkari

menahan ucapannya sendiri

tidurlah, kata-kata

kita bangkit nanti

menghimpun tuntutan-tuntutan

yang miskin papa dan dihancurkan

nanti kita akan mengucapkan

bersama tindakan

bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan

Solo Sorogenen, 12 Agustus 1988

  1. Kenangan Anak-anak Seragam

Puisi berikutnya dari karya Wiji Thukul berjudul Kenangan Anak-Anak Seragam. Berdasarkan jurnal Wacana Reformasi Dunia Pendidikan terbit pada 2016, puisi ini menggambarkan mengenai wacana reformasi dalam dunia pendidikan. Selain itu, puisi ini juga dapat dijadikan sebagai umpan untuk mengubah sistem pendidikan demi terjalinnya kecerdasan bangsa. Isi puisi tersebut sebagai berikut;

pada masa kanak-kanakku

setiap jam tujuh pagi

aku harus seragam

bawa buku harus mbayar

ke sekolah

katanya aku bodoh

kalau tidak bisa menjawab

pertanyaan guru

yang diatur kurikulum

aku dibentak dinilai buruk

kalau tidak bisa mengisi dua kali dua

aku harus menghapal

mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf

aku harus tahu siapa presidenku

aku harus tahu ibukota negaraku

tanpa aku tahu

apa maknanya bagiku

pada masa kanak-kanakku

aku jadi seragam

buku pelajaran sangat kejam

aku tidak boleh menguap di kelas

aku harus duduk menghadap papan di depan

sebelum bel tidak boleh mengantuk

tapi

hari ini

setiap orang boleh memberi pelajaran

dan aku boleh mengantuk

  1. Tanpa Judul

Puisi berjudul Tanpa Judul dibuatnya ketika masa pelarian pertamanya pada 1996. Dalam Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (2019), menjelaskan bahwa Wiji ingin memperlihatkan kondisi dirinya yang jauh dari orang terdekat. Meskipun ia lebih bebas, namun dalam puisi ini ia merasa tidak merdeka. Hal ini disebabkan oleh tindakan pemerintah kepada dirinya. Untuk isi lengkapnya sebagai berikut;

kuterima kabar dari kampung

rumahku kalian geledah

buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih

karena kalian telah memperkenalkan

sendiri

pada anak-anakku

kalian telah mengajar anak-anakku

membentuk makna kata penindasan

sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan

tapi rezim sekarang ini memperkenalkan

kepada kita semua

setiap hari di mana-mana

sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian

adalah bukti pelajaran

yang tidak pernah ditulis

  1. Nyanyian Akar Rumput

Melansir sastranesia.com, puisi berjudul Nyanyian Akar Rumput diperuntukkan rakyat yang tidak menerima tindakan pemerintah di masanya. Selain itu menjelaskan bahwa setidaknya nyanyian ini terlalu samar untuk didengar penguasa, bahkan mungkin hanya dianggap angin lewat. Isi dari puisi tersebut sebagai berikut;

jalan raya dilebarkan

kami terusir

mendirikan kampung

digusur

kami pindah-pindah

menempel di tembok-tembok

dicabut

terbuang

kami rumput

butuh tanah

dengar!

Ayo gabung ke kami

Biar jadi mimpi buruk presiden!

Ditulis pada Juli 1988


FATHUR RACHMAN

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus