Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menggugat snouck hurgronje

Penulis : p.sj. van koningsveld. jakarta : girimurti pasaka, 1989. resensi oleh : mindra faizaliskandiar.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SNOUCK HURGRONJE DAN ISLAM Penulis: P. Sj. Van Koningsveld Penerbif: PT Girimukti Pasaka, Jakarta, 1989, 313 halaman BAGI umat Islam Indonesia, Snouck Hurgronje (1857-1936) memang berada di posisi samar-samar yang membingungkan. Mestikah ia disanjung sebagai sarjana tentang Islam yang cemerlang, ataukah harus dihujat sebagai penipu ulung? Selama ini, di Belanda kemungkinan pertamalah yang populer. Para Orientalis selalu membicarakan Snouck dengan khidmat, hormat, dan kagum. Di tengah sikap seperti itu, tentu menarik bahwa ternyata ada seorang Orientalis Belanda yang bertolak belakang dengan pendapat umum di sana, dan dengan yakin menegaskan, Snouck adalah bajingan. Keuletan Dr. P. Sj. Van Koningsveld untuk membalik-balik berbagai kumpulan arsip maupun mengkaji ulang seluruh karya Snouck ternyata membuahkan hasil yang lumayan cemerlang. Upaya pengorekan sisi negatif Snouck ini diawali ketika pada 1979 Van Koningsveld diundang oleh Lembaga Ketimuran Belanda -- yang didirikan oleh Snouck -- untuk memberikan ceramah bebas. Ia dengan serta-merta menganggap inilah saat yang tepat untuk bertukar pikiran tentang tokoh Snouck. Dalam ceramah pada 16 November 1979 itu, Van Koningsveld dengan gamblang memaparkan bahwa perjalanan Snouck ke negeri Arab ternyata bertujuan ganda, politis (menilai pengaruh Islam atas Hindia Belanda), dan ilmiah (mengumpulkan penjelasan tentang kehidupan orang Islam). Ia juga memaparkan bukti-bukti bahwa perjalanan Snouck ke Arab itu memang bertujuan politis, suatu hal yang mati-matian ditentang para pemuja Snouck. Ia, misalnya, menunjukkan surat dari J. A. Kruyt, Konsul Jenderal Belanda di Jeddah, bertanggal 7 Mei 1884, kepada Menteri Luar Negeri Belanda waktu itu. Kruyt menyatakan bahwa di Mekah banyak ulama dari Hindia Belanda datang bermukim. Adalah penting bagi Belanda untuk memantau para ulama itu selama mereka berada di Mekah, untuk mempelajari masyarakat Islam di Hindia Belanda. Karena itu, Kruyt mengusulkan agar Menteri Luar Negeri mau membujuk Menteri Urusan Tanah Jajahan supaya mengirimkan Snouck ke Jeddah. Akhirnya pada 28 Juni 1884 turunlah persetujuan pengiriman Snouck ke Jeddah, dan Pemerintah Belanda menyediakan dana 1.500 gulden untuk itu. Tetapi, dalam dokumen-dokumen itu tidak pernah diungkapkan bahwa tujuan perjalanan Snouck (sesungguhnya?) adalah ke Mekah. Selalu dikatakan tujuannya ke Jeddah. Padahal, terbukti kemudian, Snouck memang pergi dan sempat tinggal enam bulan di Mekah (Februari-Agustus 1885). Van Koningsveld percaya, semula Snouck memang tidak berniat pergi ke Mekah. Lalu bagaimana Snouck bisa masuk Mekah? Menurut Van Koningsveld, jawabannya mudah saja: Snouck masuk Islam. Sebab, pada waktu itu hanya musliminlah yang boleh masuk Kota Mekah. Sungguh-sungguhkah Snouck masuk Islam? Ya, kata para pemujanya. Tidak, kata Van Koningsveld, sebab ia masuk Islam semata-mata supaya bisa masuk Mekah dan menjalin persahabatan dengan ulama-ulama dari Hindia Belanda. Dengan isi ceramah yang menentang arus itu, tentu tidak aneh bila Van Koningsveld kemudian mendapat serangan bertubi-tubi dari para pemuja Snouck. Setelah itu, berturut-turut muncul karangan Van Koningsveld lainnya, semuanya berbicara tentang Snouck dan membuktikan kebusukannya. Penyelidikan Van Koningsveld atas peranan Snouck dalam upaya penundukan Aceh ternyata membawanya kepada kesimpulan bahwa Snouck adalah tokoh sentral, lebih dari Jenderal Van Heutsz. Van Koningsveld juga dengan teliti berhasil "menemukan" dua bab tulisan yang dihilangkan oleh Snouck dalam bukunya De Atjehers. Seperti diketahui, buku De Atjehers yang dua jilid (1892-1894) itu merupakan sebuah karya etnografis tentang masyarakat Aceh. Kedua jilid buku yang kini sudah dianggap klasik itu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) disusun Snouck berdasarkan laporan penelitiannya tentang Aceh. Atjeh-verslag ditulis pada 1891, disebarkan hanya pada para pejabat pemerintah kolonial saja, dan sampai sekarang belum pernah diterbitkan. Van Koningsveld menemukan adanya dua bab yang terdapat pada Atjeh-verslag, tapi "dihilangkan" pada De Atjehers. Mengapa? Menurut Van Koningsveld, karena kedua bab itu membuktikan sisi negatif Snouck, yaitu besarnya peranan Snouck dalam memenangkan Perang Aceh. "... Snouck dalam kedua bab pertama Atjeh-verslag-nya telah meletakkan landasan bagi pembenaran akhlak untuk Perang Aceh. Dalam kedua bab berikutnya yang telah diterbitkan, bahkan ia menunjukkan strategi operasi militer yang harus dijalankan," tulis Van Koningsveld (halaman 81-82). Demikianlah, sosok Snouck dalam buku ini ditelanjangi habis-habisan. Kedelapan karangan yang menelanjangi Snouck itu ditulis antara 1979 dan 1987. Karangan-karangan itu disusun berdasarkan kronologi pembuatannya. Dan karena semula merupakan karangan lepas, maka tak terhindarkan adanya pengulangan-pengulangan di dalamnya. Banyak hal baru yang bisa diungkapkan buku ini. Meski mutu terjemahannya tidak terlalu bagus -- beberapa kalimat bahkan membingungkan -- dan beberapa kesalahan cetak yang cukup mengganggu, secara keseluruhan buku ini cukup menarik. Mindra Faizaliskandiar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus