SEMUA teman-temannya kaget. Mereka seperti tak percaya bahwa Sanento Yuliman berpulang ke Rahmatullah pada hari Kamis dinihari 14 Mei. Mereka mengenal kritikus seni rupa kelahiran Majenang, Jawa Tengah, ini sebagai kawan yang pendiam, rendah hati, tak pernah mengeluh, apalagi marah. Ia memang pergi dengan sangat mendadak. Meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang masih kecil, ia meninggal karena perdarahan di otak. Sepanjang hidupnya selama 51 tahun, ia tak pernah menderita sakit berat. Di hari-hari terakhirnya, memang ada tugas cukup berat yang harus dikerjakannya. Ia, misalnya, tengah menyusun kurasi Jakarta Art and Design Expo 1992. Ia juga sedang menyiapkan beberapa saran untuk penyelenggaraan Queensland Art Gallery's AsiaPacific Triennial yang diselenggarakan bulan September 1993 di Brisbane, Australia. Bahkan beberapa saat sebelum meninggal, ia baru saja menyelesaikan surat pernyataan kesediaannya menjadi kurator pameran seni rupa kontemporer Indonesia 1993 di Contemporary Art Center, Adelaide, Australia. Reputasi almarhum sebagai kritikus seni rupa paling terkemuka sehariharinya sebagai pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB -- memang dikenal sangat luas. Berkat konsistensinya sebagai kritikus itulah, pada tahun 1984 ia menerima Hadiah Adam Malik. Lulus dari FSRD ITB pada tahun 1968, skripsinya memang tentang kritik seni lukis Indonesia. Belakangan ia menggondol gelar doktor dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Paris, Perancis, dengan disertasi mengenai pelukis S. Sudjojono. Salah satu kerja besar yang belum diselesaikannya ialah menulis buku sejarah seni rupa Indonesia. Sebelum berpulang, ia memang sedang memperbaiki bukunya, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar yang disusunnya pada tahun 1976 atas permintaan Dewan Kesenian Jakarta. Sebagai seniman, Sanento ternyata juga punya perhatian terhadap teater dan sastra. Selain menjadi salah seorang pendiri Studi Teater Mahasiswa di Bandung, pada tahun 1966 ia juga menulis puisi Laut, yang belakangan mendapat penghargaan sebagai puisi terbaik 1967 dari majalah Horison.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini