London di pagi hari selalu diawali dengan ringan. Will Freeman, 36 tahun, memulai hari-hari berkabut itu dengan makan pagi, menonton opera sabun, potong rambut di salon, memborong setumpuk CD, kembali ke rumah untuk kemudian menonton opera sabun sore dan, ah…, tentu sesekali menikmati seks dengan perempuan jelita yang kebetulan saat itu tengah lengket dengannya (untuk kemudian ditendang jika sudah bosan).
Prinsip Will (Hugh Grant yang ganteng dan dungu), selama ia tak menikah (tetapi tetap menikmati seks secara reguler), tak punya anak, dan bisa hidup makmur hanya dengan royalti lagu ayahnya (pencipta lagu Natal yang menjengkelkan telinganya), hidup sudah cukup. Cuma, suatu hari secara tak sengaja, seorang anak lelaki bernama Marcus (Nicholas Hoult) meluncur dalam kehidupannya. Ini memang repot, brengsek, dan menyebalkan. Bagaimana bisa hidup yang begitu enteng seperti kapas, dangkal seperti air got itu bisa jadi ruwet dengan kedatangan seorang anak tunggal dari perempuan yang doyan mencoba bunuh diri? Bagaimana caranya agar ia tak perlu berurusan dengan anak remaja ini? Dan, aduh mak, bagaimana caranya agar ia tak perlu menonton ibu dan anak yang gemar menyanyi lagu cengeng Killing Me Softly dengan mata terpejam itu?
Inilah sebuah film yang diangkat dari novel sukses karya Nick Hornby yang laku hingga jutaan eksemplar. Penulis Inggris yang juga menelurkan novel Fever Pitch dan High Fidelity ini menuliskan kegetiran hidup dengan kosakata yang ekonomis dan lincah. Tidak berpretensi sastra, tapi menyentuh. Will, si pemuda tampan yang dangkal dan banal itu, cukup menemui para janda muda cantik di sebuah klub single parent (orang tua tunggal) hanya karena ia menganggap para janda (mati/cerai) muda itu pasti mudah digaet akibat haus seks. Ketololan sikap Will itu diganjar oleh munculnya Marcus, putra Fiona—seorang wanita hippy yang tak pernah menikah dan cenderung ingin bunuh diri.
Karena kehidupan mulai kompleks, Will seperti biasa ingin "membuang" kesulitan itu. Ini kisah yang pahit dan membuat hati kemrungsung. Cuma, kenapa toh kita semua tertawa? Mungkin karena kepahitan hidup dan absurditas nasib hanya bisa menjadi enteng dengan menertawakan diri sendiri. Tragedi perempuan seperti Fiona yang suicidal (berupaya membunuh diri berkali-kali tapi selalu gagal) menjadi peristiwa yang mengenaskan tetapi toh disajikan dengan humor.
Hugh Grant tampil cemerlang, setara dengan penampilannya yang bersinar dalam Four Weddings and a Funeral beberapa tahun silam. Karakterisasi Will dangkal, dan playboy menyebalkan yang perlahan menjadi seorang lelaki yang sensitif dan rendah hati diperlihatkan secara bertahap dengan akting yang luar biasa matang.
Munculnya sosok Rachel (Rachel Weisz), yang akhirnya menunjukkan Will bisa juga jatuh cinta dengan serius, akhirnya melahirkan Will sebagai sosok lelaki yang "normal". Dia ternyata memiliki hati. Dan akhirnya dia juga menyadari bahwa, selain Rachel, orang yang paling ia sayangi dengan tulus adalah si bocah kecil Marcus yang membutuhkan perlindungannya.
Toni Collette, yang berperan sebagai orang tua tunggal, dan Nicholas Hoult, yang berperan sebagai Marcus, mengimbangi dengan pas. Dengan skenario yang memberikan ritme lincah dan dialog yang efektif, film ini adalah sebuah guyuran segar dalam hidup yang serba gerah dan sulit ini. Hanya ada satu kalimat: Hugh Grant is delicious.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini