WAYANG ORANG NARASOMA
Sutradara: Sal Murgiyanto
Skenario: Sal Murgiyanto, Kris Mukadi, Sjamsu Tj.
Produksi: Jaya-Budaya
PUTERA Mahkota Kerajaan Mandraka, Raden Narasoma, memang pantas
sombong. Ia muncul diiring dua punakawan. Kemunculannya pada
babak II Wayang Orang Narasoma, 28 April-1 Mei ini di Teater
Arena TIM, agaknya memang direncanakan Sal Murgiyanto sebagai
fokus pergelaran. Diperankan oleh Sentot, Narasoma malam itu
terasa paling menarik perhatian. Bukan saja dia muncul naik
barong (barong ini diilhami oleh wayang topeng yang ditonton Sal
Murgiyanto di Yogya tahun lalu) tetapi peran-peran lain
barangkali memang diabaikan. Atau paling tidak ditata untuk
memunculkan hanya Narasoma.
Itu yang kemudian menyebabkan babak-babak terakhir terasa tak
begitu tergarap. Setelah Begawan Bagaspati moksa (lenyap
jiwa-raga) atas permintaan Narasoma, adegan-adegan berikutnya
terasa hanya memperpanjang pertunjukan. Padahal adegan sayembara
di Negeri Mandura, ketika Narasoma perang tanding dengan Pandu,
bisa menarik. Bahkan menyediakan kesempatan guna menonjolkan
watak angkuh Si Narasoma -- satu watak yang mendorong Sal
mempergelarkan lakon ini. Kata Sal: "Sekarang ini banyak anak
muda seperti Narasoma berkecukupan, pintar dan sombong."
Seperti biasanya Grup Jaya-Budaya, yang sejak 1972 mengadakan
pengembangan --atau "pembaharuan" -- dalam pergelaran wayang
orang, kali ini pun Narasoma disuguhkan dengan tata sandang
sederhana, antawecana (percakapan) seperlunya. Pergelaran tak
lagi ditekankan pada lakon, tapi lebih pada penampilan watak
pelaku.
Dalam soal tari memang seperti juga wayang orang biasanya
seperlunya. Bedanya: Jaya-Budaya beranggotakan para penari yang
menguasai dan terampil benar. Adegan perang misalnya hanya
merupakan gerak-gerak sugesti yang artistik, tapi mampu
memberikan imaji perang yang seru. Misalnya adegan perang
Rahwana melawan Sumantri dalang Sukrosono-Sumantri (karya Sal
yang jauh lebih bagus) tahun lalu. Atau perang tanding
Narasoma-Pandu kali ini.
Singkatnya, yang kita nikmati ialah perwatakan tokoh dalam
peristiwa. Bagaimana Narasoma meminta jiwa mertuanya. Bagaimana
Bagaspati dengan ikhlas menjalani hukum karma. Lewat sebuah
tamsil ("ada madu yang dijaga kumbang berbisa"), Narasoma
menyampaikan isi hatinya kepada mertuanya. Sang Begawan bersosok
raksasa itu pun paham Narasoma ingin agar ia, bapak isterinya
itu, mati.
Adegan itu sangat mengesankan. Di arena hanya ada dua pelaku
satu tampan gagah tapi angkuh, satunya lagi raksasa tinggi
besar namun berwatak pinandita. Pertama kali Narasoma
menghunjamkan kerisnya ke dada Bagaspati, justru dia yang
terpental jatuh. Betapa kaget Narasoma, karena sebelumnya
mertuanya itu telah rela menyerahkan jiwanya. Kata Bagaspati:
"Siapakah yang lebih tinggi, antara yang meminta dan yang
memberi Raden Narasoma meminta nyawa saya . . . " Narasoma
lantas sadar. Sembari menjatuhkan diri, dia menyembah Begawan
Bagaspati sambil memohon maaf. Dan begawan itu pun moksa.
Adegan tersebut agaknya dibayar Sal terlalu mahal. Ia merupakan
fokus pertunjukan yang terlalu kuat, hingga adegan-adegan
berikutnya amblas. Betapa tak meyakinkan adegan Negeri Mandura:
Dewi Kunti yang disayembarakan, yang menyebabkan datangnya
raja-raja dari seribu negara, tak mencerminkan sebab musabab
sayembara ini begitu menarik perhatian raja-raja.
Hingga ikut sertanya Narasoma dan kalahnya dia oleh Pandu dalam
sayembara, kurang bisa mencerminkan kesombongan Narasoma.
Teknis, adegan itu pun tak enak dilihat -- kecuali perang
tanding Narasoma-Pandu yang pelan, halus, tapi memberi imaji
peperangan hidup-mati. Dayang-dayang pengiring Kunti terlalu
berlebih. Anak-anak yang muncul justru pada adegan menjelang
tengah malam, mengingatkan kita bahwa mereka semustinya sudah
saatnya tidur.
Pun ketika hampir saja Narasoma ditikam Pandu, dan tiba-tiba
Setiawati beserta Madrim (adik Narasoma) masuk melerai perang
tanding mereka, komposisi terlalu ramai. Adegan ini berjalan
begitu tergesa, semrawut, dan tak jelas. Mungkin Murgiyanto tak
perlu menghadirkan pengiring Setiawati dan Madrim begitu banyak.
Dari Hongkong
Dan garis komposisi yang diagonal justru menambah kesan penuhnya
arena. Ini sangat berlawanan dengan batalnya bunuh-diri
Setiawati. Hanya ada Madrim, yang tiba-tiba menyuruk masuk ke
arena dan merampas keris yang dipegang Setiawati, ketika suasana
hening. Dengan singkat tapi tepat, Sal memperkenalkan adanya
Dewi Madrim, adik Narasoma, sekaligus menggambarkan wataknya.
Juga yang tak sempat digarap Sal ialah Aji Candha Birawa
Bagaspati. Aji itu konon demikian sakti -- berujud seorang
raksasa kerdil yang kalau dibunuh, tiap tetes darahnya menjelma
menjadi raksasa-raksasa kerdil yang lain, begitu. Dengan cara
menghadirkan anak-anak lelaki bercelana pendek hitam yang
menari-nari tak karuan, tak cukup menampilkan kehebatan Candha
Birawa.
Uraian ini hanya untuk mengatakan, sebenarnya pergelaran
Narasoma terasa belum siap. Sal yang baru pertengahan April lalu
pulang dari Hongkong membawa pertunjukan wayang Topeng Cirebon,
mungkin kurang waktu. Jadinya, hanya adegan penting saja yang
ditekankan: Narasoma meminta matinya Bagaspati. Dan adegan itu
memang disuguhkan sangat bagus. Toh ada yang mencoba membela:
Swandono, penari Yogya yang menjabat Direktur Pengembangan dan
Pembinaan Kesenian. Katanya: "Ini ceritanya memang tentang
Narasoma. Bukan Kunti Sayembara, atau yang lain." Boleh saja.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini