Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menonjolnya narasoma

Pagelaran wayang orang narasoma oleh jaya budaya diselenggarakan pada tgl 28 april-1 mei di teater arena tim. sutradara sal murgiyanto merencanakan narasoma sebagai fokus pagelaran. (ter)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAYANG ORANG NARASOMA Sutradara: Sal Murgiyanto Skenario: Sal Murgiyanto, Kris Mukadi, Sjamsu Tj. Produksi: Jaya-Budaya PUTERA Mahkota Kerajaan Mandraka, Raden Narasoma, memang pantas sombong. Ia muncul diiring dua punakawan. Kemunculannya pada babak II Wayang Orang Narasoma, 28 April-1 Mei ini di Teater Arena TIM, agaknya memang direncanakan Sal Murgiyanto sebagai fokus pergelaran. Diperankan oleh Sentot, Narasoma malam itu terasa paling menarik perhatian. Bukan saja dia muncul naik barong (barong ini diilhami oleh wayang topeng yang ditonton Sal Murgiyanto di Yogya tahun lalu) tetapi peran-peran lain barangkali memang diabaikan. Atau paling tidak ditata untuk memunculkan hanya Narasoma. Itu yang kemudian menyebabkan babak-babak terakhir terasa tak begitu tergarap. Setelah Begawan Bagaspati moksa (lenyap jiwa-raga) atas permintaan Narasoma, adegan-adegan berikutnya terasa hanya memperpanjang pertunjukan. Padahal adegan sayembara di Negeri Mandura, ketika Narasoma perang tanding dengan Pandu, bisa menarik. Bahkan menyediakan kesempatan guna menonjolkan watak angkuh Si Narasoma -- satu watak yang mendorong Sal mempergelarkan lakon ini. Kata Sal: "Sekarang ini banyak anak muda seperti Narasoma berkecukupan, pintar dan sombong." Seperti biasanya Grup Jaya-Budaya, yang sejak 1972 mengadakan pengembangan --atau "pembaharuan" -- dalam pergelaran wayang orang, kali ini pun Narasoma disuguhkan dengan tata sandang sederhana, antawecana (percakapan) seperlunya. Pergelaran tak lagi ditekankan pada lakon, tapi lebih pada penampilan watak pelaku. Dalam soal tari memang seperti juga wayang orang biasanya seperlunya. Bedanya: Jaya-Budaya beranggotakan para penari yang menguasai dan terampil benar. Adegan perang misalnya hanya merupakan gerak-gerak sugesti yang artistik, tapi mampu memberikan imaji perang yang seru. Misalnya adegan perang Rahwana melawan Sumantri dalang Sukrosono-Sumantri (karya Sal yang jauh lebih bagus) tahun lalu. Atau perang tanding Narasoma-Pandu kali ini. Singkatnya, yang kita nikmati ialah perwatakan tokoh dalam peristiwa. Bagaimana Narasoma meminta jiwa mertuanya. Bagaimana Bagaspati dengan ikhlas menjalani hukum karma. Lewat sebuah tamsil ("ada madu yang dijaga kumbang berbisa"), Narasoma menyampaikan isi hatinya kepada mertuanya. Sang Begawan bersosok raksasa itu pun paham Narasoma ingin agar ia, bapak isterinya itu, mati. Adegan itu sangat mengesankan. Di arena hanya ada dua pelaku satu tampan gagah tapi angkuh, satunya lagi raksasa tinggi besar namun berwatak pinandita. Pertama kali Narasoma menghunjamkan kerisnya ke dada Bagaspati, justru dia yang terpental jatuh. Betapa kaget Narasoma, karena sebelumnya mertuanya itu telah rela menyerahkan jiwanya. Kata Bagaspati: "Siapakah yang lebih tinggi, antara yang meminta dan yang memberi Raden Narasoma meminta nyawa saya . . . " Narasoma lantas sadar. Sembari menjatuhkan diri, dia menyembah Begawan Bagaspati sambil memohon maaf. Dan begawan itu pun moksa. Adegan tersebut agaknya dibayar Sal terlalu mahal. Ia merupakan fokus pertunjukan yang terlalu kuat, hingga adegan-adegan berikutnya amblas. Betapa tak meyakinkan adegan Negeri Mandura: Dewi Kunti yang disayembarakan, yang menyebabkan datangnya raja-raja dari seribu negara, tak mencerminkan sebab musabab sayembara ini begitu menarik perhatian raja-raja. Hingga ikut sertanya Narasoma dan kalahnya dia oleh Pandu dalam sayembara, kurang bisa mencerminkan kesombongan Narasoma. Teknis, adegan itu pun tak enak dilihat -- kecuali perang tanding Narasoma-Pandu yang pelan, halus, tapi memberi imaji peperangan hidup-mati. Dayang-dayang pengiring Kunti terlalu berlebih. Anak-anak yang muncul justru pada adegan menjelang tengah malam, mengingatkan kita bahwa mereka semustinya sudah saatnya tidur. Pun ketika hampir saja Narasoma ditikam Pandu, dan tiba-tiba Setiawati beserta Madrim (adik Narasoma) masuk melerai perang tanding mereka, komposisi terlalu ramai. Adegan ini berjalan begitu tergesa, semrawut, dan tak jelas. Mungkin Murgiyanto tak perlu menghadirkan pengiring Setiawati dan Madrim begitu banyak. Dari Hongkong Dan garis komposisi yang diagonal justru menambah kesan penuhnya arena. Ini sangat berlawanan dengan batalnya bunuh-diri Setiawati. Hanya ada Madrim, yang tiba-tiba menyuruk masuk ke arena dan merampas keris yang dipegang Setiawati, ketika suasana hening. Dengan singkat tapi tepat, Sal memperkenalkan adanya Dewi Madrim, adik Narasoma, sekaligus menggambarkan wataknya. Juga yang tak sempat digarap Sal ialah Aji Candha Birawa Bagaspati. Aji itu konon demikian sakti -- berujud seorang raksasa kerdil yang kalau dibunuh, tiap tetes darahnya menjelma menjadi raksasa-raksasa kerdil yang lain, begitu. Dengan cara menghadirkan anak-anak lelaki bercelana pendek hitam yang menari-nari tak karuan, tak cukup menampilkan kehebatan Candha Birawa. Uraian ini hanya untuk mengatakan, sebenarnya pergelaran Narasoma terasa belum siap. Sal yang baru pertengahan April lalu pulang dari Hongkong membawa pertunjukan wayang Topeng Cirebon, mungkin kurang waktu. Jadinya, hanya adegan penting saja yang ditekankan: Narasoma meminta matinya Bagaspati. Dan adegan itu memang disuguhkan sangat bagus. Toh ada yang mencoba membela: Swandono, penari Yogya yang menjabat Direktur Pengembangan dan Pembinaan Kesenian. Katanya: "Ini ceritanya memang tentang Narasoma. Bukan Kunti Sayembara, atau yang lain." Boleh saja. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus