Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Merak yang Memamerkan Bulu Merak Lain

Ruang manusia awal itu hanya berisi manusia Jawa ditambah beberapa tengkorak untuk menjelaskan evolusi umat manusia.

5 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berlama-lama menanti jawaban kali ini tak perlu kulakukan. Belum sampai seperempat jam, telepon genggamku sudah bergetar, jawaban tiba. “Menarik sekali tawaranmu. Minggu ini bisa masuk?” Begitu terbaca pada layar ponsel baruku. Masih diselingi gambar beberapa jempol dan wajah-wajah tersenyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Belum tahu,” jemari kedua tanganku sigap mengetik jawaban. “Tergantung apa bisa dapat wawancara.” Kembali, jawaban segera masuk, “Kalau bisa minggu ini, aku tunggu sampai Jumat.” Begitu cepatnya jawaban berarti Parvati Rahayu, redaktur seni mingguan berita yang belakangan sering menerima laporanku, lumayan bergairah. “Boleh telepon?” Maksudku ingin meneleponnya, ternyata malah ponselku yang berdering. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Koran-koran sini ramai banget,” begitu mulai kujawab pertanyaan Parvati tentang Pithecanthropus erectus yang sekarang disebut Homo erectus asal Trinil yang riuh jadi pemberitaan pers Belanda. Maklum, fosil manusia yang di sini disebut de Javamens alias manusia Jawa itu bertengger pada urutan teratas daftar warisan budaya kolonial yang diminta kembali oleh pemerintah Indonesia. Sesudah itu, masih ada tujuh koleksi lain, termasuk patung-patung Candi Singosari dan pelbagai ukiran Bali yang termaktub dalam koleksi Pita Maha. 

“Masak, masih ada yang menolak pengembalian?” Parvati terdengar tak begitu percaya. Jelas dia paham duduk perkaranya. Setelah permintaan maaf Raja Belanda dalam kunjungan kenegaraan pada awal 2020 ke Jakarta atas kekerasan ekstrem oleh prajurit Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia, pengembalian koleksi-koleksi masa kolonial yang tersimpan di Belanda terdengar masuk akal belaka. “Ini Belanda, Jeng!” Begitu Parvati biasa kupanggil, sekaligus kuingatkan bahwa urusan dengan si bekas penjajah pasti akan selalu rumit.

Lalu kukabarkan bahwa Museum Naturalis di Leiden menolak mentah-mentah pengembalian fosil Homo erectus. Sikap ini jelas bertolak belakang dengan Museum Volkenkunde, juga di Leiden, yang berlapang dada mengembalikan patung-patung Singosari yang dipajang dekat pintu masuk. Di situ juga terdapat keris Klungkung yang digunakan oleh raja wilayah Bali itu untuk melakukan puputan karena menolak tunduk kepada Belanda. 

“Apa kata Naturalis?” Parvati kedengaran makin tidak sabar. “Alasan mereka lucu banget, yang penting mereka tidak mau tahu soal kolonialisme,” jawabku serius. Tentu saja Parvati keheranan. “Gimana mungkin bisa mengingkari kolonialisme?” tanyanya lagi. 

Mati-matian aku menahan geli. “Menurut Corine van Impelen, Direktur Komunikasi Naturalis, fosil Homo erectus itu bukan barang seni kolonial buatan manusia dan dijarah dari candi. Fosil-fosil ini ada di alam bebas yang juga bebas untuk diambil. Katanya seperti menemukan batu indah waktu liburan, jadi temuan itu bisa dibawa pulang.” Maka gagallah upayaku menahan tawa, apalagi ketika terdengar Parvati bergelak dahulu. “Gila amat,” katanya. “Sedeng abis, emang!” jawabku dalam deraian tawa. 

Kami bersepakat bahwa aku mewawancarai Corine van Impelen untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Pasti dia belum pernah dihubungi pers Indonesia. Mungkin juga wawancara dengan Marieke van Bommel, Direktur Umum Museum Volkenkunde, yang begitu berlapang dada dengan langsung menyatakan akan mengembalikan patung-patung Singosari. 

Tak kuduga ternyata sulit bukan kepalang menghubungi Corine van Impelen. Dia tidak ada di tempat, begitu jawaban penerima telepon Museum Naturalis. Aku dipersilakannya mengirim surel. Tapi, ketika kutanya alamat surelnya, jawaban yang kuterima cuma surel umum, bukan alamat surel Van Impelen sendiri. Ketika kudesak lagi, jawabnya memang itulah alamat untuk minta wawancara.

Berbeda benar dengan Marieke van Bommel, Direktur Umum Museum Volkenkunde. Tatkala menelepon museum, penerima berkata bahwa mevrouw 1) Van Bommel tidak di tempat, aku langsung diberi tahu nomor telepon genggamnya. Ketika kuhubungi, Van Bommel terdengar ramah. Jawabannya terucap dalam dialek Belanda selatan yang terdengar menawan. Dia bersedia diwawancarai asal wawancara tatap muka, bukan melalui telepon. Aku setuju. Berarti aku harus ke Leiden. Dia sediakan waktu keesokan harinya. Pagi boleh, siang juga bisa. Hari itu juga harus dapat kulakukan wawancara dengan Corine van Impelen, Direktur Komunikasi Museum Naturalis. 

Segera kutulis surel dengan alamat tidak langsung yang diberi tahu Naturalis. Setelah sekitar dua jam tak datang juga jawaban, aku telepon lagi museum itu. “Museum Naturalis, met Dewi van Rooijen,” 2) begitu penerima telepon menjawab, dengan menyebutkan namanya yang sebagian jelas nama Indonesia. 

Aku jelaskan bahwa tadi sudah menelepon dan sudah pula mengirim surel, tapi belum juga ada jawaban, sementara aku butuh kepastian karena besoknya akan ke Leiden untuk mewawancarai Marieke van Bommel, Direktur Museum Volkenkunde. Alangkah baiknya kalau sesudah atau sebelum itu, bisa mewawancarai Corine van Impelen. Mungkin aku terdengar seperti merengek mengucapkan desakan itu. Sekali lagi kujelaskan bahwa aku menulis untuk mingguan berita Indonesia papan atas yang bergengsi karena dahulu pernah diberedel oleh si orang kuat Orde Baru.

Dewi van Rooijen terdengar ikut prihatin dan bertanya-tanya adakah cara lain untuk menghubungi sang Direktur Komunikasi Museum Naturalis. Aku mendesaknya supaya meneruskan masalah ini kepada Corine van Impelen. Dia memastikan, kalau sudah mengirim surel, pasti akan dibaca oleh yang dituju. Aku jawab butuh jawaban secepatnya karena batas akhir sudah tinggal tiga hari lagi. Dia berjanji akan berupaya sekuat tenaga.

Tunggu punya tunggu, ternyata jawaban tidak juga berdering. Sore hari menjelang tutup, masih aku telepon lagi, dan waktu terdengar jawaban suara pria, segera aku minta bicara dengan Dewi van Rooijen. Untung dia masih ada, dan begitu mengenali suaraku, langsung kudengar permintaan maafnya bahwa belum ada jawaban dari Corine van Impelen.

Bisa-bisa harus siap menelan kecewa, begitu aku membatin. Besok ke Leiden hanya untuk satu wawancara. Padahal, jauh-jauh dari Maastricht, begitu kuhitung jarak tiga jam yang bakal kutempuh dari tempat tinggalku di ujung selatan Belanda. Sementara melihat-lihat jadwal kereta api, tiba-tiba ponsel berdering. Nomor muncul tanpa nama, tidak pernah kukenal sebelumnya. Aku berharap-harap cemas, moga-moga ini Corine van Impelen. Begitu kusebut namaku, “Met Adhisurya,” 3) terdengar suara yang kukenal, “Goede middag meneer, u spreekt met Dewi van Rooijen”. 4) Aha, Dewi yang seharian menjawab pertanyaan-pertanyaanku kini giliran menelepon, tapi kenapa dari telepon lain?

Katanya, dia dalam perjalanan pulang, tapi ada informasi penting yang ingin disampaikannya kepadaku. “Oh begitu, informasi seperti apa itu?” Suaranya bernada hati-hati tatkala berkata bahwa sekarang Direktur Komunikasi Corine van Impelen ditegur oleh Direktur Umum Edwin van Huis. Akibat jawaban menggelikan itu, dia tidak boleh lagi bicara dengan pers. Di lain pihak, Dewi terdengar lebih berhati-hati lagi, Edwin van Huis sendiri mendapat teguran dari dewan penyantun Museum Naturalis karena dinilai mengeluarkan pernyataan yang berada di luar wewenangnya. Baru aku sadar betapa situasi ini menarik sekali untuk ditulis, walau mungkin sedikit rumit. 

Memang sudah kubaca di salah satu koran Belanda pernyataan Edwin van Huis bahwa fosil berbeda dengan patung atau keris yang merupakan buatan manusia. Baginya, fosil adalah buatan alam yang juga milik alam. Van Huis juga menekankan bahwa museum yang dipimpinnya berhasil membentuk tim ilmuwan yang mempelajari fosil-fosil yang dihimpun oleh Eugène Dubois. Keberhasilan ini menyebabkan koleksi Dubois tidak bisa dipindahkan begitu saja ke tempat lain. Kalau sampai itu terjadi, demikian kata sang direktur, Belanda tidak akan punya peran lagi dalam penelitian asal-usul umat manusia.

“Ucapan-ucapan seperti itu,” demikian kata Dewi van Rooijen, “Jelas berangkat dari pendirian bahwa Naturalis adalah pemilik sah koleksi Dubois.” Padahal kepemilikan itulah yang sekarang dipermasalahkan. Edwin van Huis dianggap berbicara di luar wewenangnya karena secara resmi koleksi Dubois berada di bawah tanggung jawab pemerintah Belanda. 

Amboi, betapa pelik tapi menarik perkara ini! Jelas kemungkinan wawancara dengan Naturalis mengecil. Walau begitu, aku tetap terdorong untuk ingin tahu mengapa Dewi van Rooijen memberi tahu semua ini? “Terus terang saya bersimpati pada Indonesia, negeri asal ibu saya,” ujarnya, dan perempuan keturunan campur ini makin terdengar serius. “Menurut saya, koleksi Dubois harus dikembalikan, tidak pantas terus disimpan di Belanda.”

Aku terus terpana, tidak percaya pada telinga sendiri. “Boleh saya wawancara Anda, Dewi?” Hanya itu yang bisa kuucapkan karena terus terang aku hanya memikirkan tugas menulis. “Saya bukan apa-apa, Meneer, 5) saya cuma sekretaris Corine van Impelen. Itu pun sekretaris sementara, menggantikan sekretaris tetap yang cuti hamil,” Dewi van Rooijen terdengar rendah hati dan jujur. Ah, pantas dia tahu apa yang terjadi. Pasti dia hadir pada banyak rapat. Sebagai sekretaris, dia pasti bertugas menulis notulen juga. Tidaklah mengherankan pengetahuannya begitu banyak. Jelas dia bukan seperti yang diakuinya. 

“Untuk sekarang, jelas belum ada yang siap diwawancarai,” kata Dewi. “Baik Corine van Impelen maupun Edwin van Huis masih menghadapi masalah sendiri-sendiri.” Katanya lagi, wawancara paling cepat baru dua-tiga minggu lagi, begitu ada kejelasan. Wah, bagaimana ini? Dewi van Rooijen mengusulkan supaya aku datang saja ke Museum Naturalis, melakukan peliputan. Kalau perlu, bisa wawancara pengunjung. “Mungkinkah kita ketemu? Pasti ada beberapa hal yang butuh penjelasan.” Kupancing dia dengan ajakan minum di salah satu kafe. Dan pancingan mengena, “Baik, Meneer,” 6) tukasnya. “Begitu kerja selesai, saya akan datang.”

Dalam banyak hal, Museum Volkenkunde adalah kebalikan Museum Naturalis. Gedung Museum Volkenkunde (yang berubah nama menjadi Wereldmuseum alias museum dunia) jelas bangunan lama, dibangun pada abad ke-19. Sedangkan gedung Museum Naturalis, yang diresmikan pada 31 Agustus 2019, tampak sebagai kantor hipermodern. Museum Volkenkunde dengan senang hati memulangkan patung-patung koleksinya ke Indonesia. Direktur umumnya, Marieke van Bommel, menyambutku dengan keramahan seorang tuan rumah yang lega karena akhirnya datang juga permintaan Jakarta supaya sebagian koleksinya, antara lain beberapa arca Singosari, dipulangkan. Dia tidak khawatir museumnya akan kehabisan koleksi untuk dipamerkan. Museum Naturalis tidak bersikap semodern bangunannya. Pimpinannya berkelit dalam seribu kelokan demi menolak permintaan pemulangan ke Jakarta. Pimpinan itu juga sulit dihubungi wartawan.

Di balik pelbagai perbedaan mencolok itu, ternyata masih ada juga persamaan di antara kedua museum di Leiden ini. Pelbagai obyek (rampasan) asal Indonesia mereka pamerkan secara mencolok. Patung-patung Singosari tampil mencolok dekat pintu masuk Volkenkunde. Begitu pula fosil Homo erectus memperoleh tempat sangat istimewa di Naturalis. Pengunjung masuk ke ruang De vroege mens, manusia dini, untuk melihat perkembangan tengkorak, dari kera sampai manusia. Suasana terasa serius. 

Ruang manusia awal itu hanya berisi manusia Jawa ditambah beberapa tengkorak untuk menjelaskan evolusi umat manusia. Penyajian khusus ini tampaknya mengandung pesan bahwa manusia Jawa adalah puncak koleksi Museum Naturalis. Di ruang sempit dipertontonkan bagian atas fosil tengkorak manusia Jawa ditambah fosil tulang paha dan fosil kerang yang jelas tergores. Di samping tiga fosil itu, terdapat model manusia Jawa, seorang perempuan dini tak berambut, tapi jelas memiliki payudara. Ketiganya berada dalam lemari kaca kedap peluru. Cahaya dalam ruang kecil ini juga hanya diarahkan pada obyek pameran. Keluar dari ruang sempit ini, pengunjung masuk ke ruang yang lebih besar berisi penjelasan mengenai evolusi manusia, termasuk manusia Jawa. Menariknya, tak secuil pun tertera penjelasan tentang kolonialisme. 

Melengkapi pengamatan ini, kulakukan wawancara dengan beberapa pengunjung. Semula sekelompok remaja yang berujar model wanita purba itu bukan tipe idaman mereka, kemudian pasangan suami-istri Visscher yang lebih serius dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Yang jelas keduanya setuju fosil Javamens (manusia Jawa) dipulangkan ke Tanah Air. Begitu wawancara selesai, ponselku bergetar. Dewi van Rooijen menelepon. Dia boleh pulang lebih dulu. Dengan atasan yang absen, tidak banyak yang harus dikerjakannya. Kami bersepakat untuk bertemu di pintu masuk. Bergegas ke sana, aku benar-benar ingin tahu penampilan perempuan yang berpendirian tegas ini. 

Di pintu masuk, segera tampaklah dia: seorang perempuan muda berjas musim dingin warna biru laut. Dia balas lambaian tanganku dengan senyuman ramah. Wajahnya merupakan kombinasi Asia dan Eropa, persisnya pipi Asia dan hidung Eropa dengan kulit lebih cerah dari kuning langsat. Kami berjabat tangan dan saling menyebutkan nama. Dengan cepat, kami bersepakat untuk berlanjut ke sebuah kafe di stasiun Leiden Centraal, tidak sampai 10 menit berjalan kaki ke arah timur. 

Melangkah bersama, Dewi bertutur tentang kerjanya yang tidak banyak pada hari itu. Antara lain mengetik pengumuman untuk dipasang pada pintu masuk ruang De vroege mens, manusia dini, tempat fosil manusia Jawa dipamerkan. “Pengumuman lama dicabut karena dianggap tidak jelas oleh dewan penyantun,” katanya. Aku dibikin penasaran, bagaimana isi pengumuman baru ini? Dia buka tas untuk meraih selembar kertas dan menyodorkannya kepadaku “Ini, silakan,” kata Dewi. Jelas sudah disiapkannya khusus untukku. Pada lembaran itu terbaca pengumuman dalam dua bahasa: Belanda dan Inggris: “Dalam ruangan ini dapat dilihat fosil-fosil yang pada masa kolonial abad ke-19 digali di Indonesia. Sebagai museum kerajaan, Naturalis mengelola koleksi yang merupakan milik negara. Kini pemerintah Indonesia meminta supaya koleksi Dubois ini dikembalikan. Permintaan ini tengah diteliti oleh komisi khusus.”

Terpana dan tak sanggup berkata-kata, aku hanya dapat berujar, “Wauw.” Mereka jelas terpaksa mengoreksi pernyataan sendiri yang tidak mau mengakui aspek kolonialisme dan berperilaku seolah-olah pemilik sejati koleksi Dubois, begitu kukatakan kepada Dewi van Rooijen. Dia ternyata punya gagasan yang lebih tepat lagi. 

“Begini,” kata Dewi begitu kami duduk di kursi kafe di dalam stasiun. “Bahasa Belanda memiliki pepatah yang tepat sekali untuk melukiskan perilaku Naturalis,” ujarnya dengan sorotan mata bersyukur tapi menahan geli. “Oh ya, seperti apa itu?” Kembali aku dibikin penasaran. 

Pronken met andermans veren,” tegasnya. Dewi rupanya membaca mimik wajahku yang menyorotkan tanda tanya. Dia berbicara tentang memamerkan bulu orang lain, tapi apa artinya? “Jadi maksudnya memamerkan sesuatu yang membelalakkan mata, membuat orang kagum, tapi sebenarnya itu milik orang lain, bukan milik sendiri,” kontan kami berdua tergelak. Pahamlah diri ini. Maka pengumuman yang tadi diketik Dewi untuk dipasang di pintu masuk ruang pameran tidak lebih dari pengakuan bahwa Naturalis sudah melakukan pesan peribahasa itu: berbangga dalam memamerkan barang milik orang lain. 

Deraian gelak tawa kami itu kuhentikan dengan keherananku bahwa ternyata masih ada juga orang Belanda yang bersikap kolonial, walau Indonesia sudah hampir delapan puluh tahun merdeka. Seketika raut muka Dewi van Rooijen berubah, menjadi lebih serius. Setelah seteguk kopi susu, dia menyatakan punya pengalaman sendiri, tidak usah jauh-jauh dan repot-repot mencari.

“Bekas pacar saya juga begitu,” tegasnya. “Dan terus terang saja dia termasuk keturunan Dubois, dari pihak ibu, maka tidak bermarga itu,” Dewi makin serius. “Dia setuju koleksi moyangnya tetap disimpan di Belanda, tidak ingin koleksi itu dipulangkan ke Indonesia. Menurut dia, Indonesia masih terbelakang, tidak mampu mengurus peninggalan penting moyangnya. Bahkan, sebagai keturunan Dubois, ibunya memiliki tiruan tiga fosil di museum. Itu diperoleh dari pamannya yang mewarisi benda-benda itu dari orang tuanya. Rupanya begitulah tradisi keluarga Dubois. Pamannya tidak punya anak, jadi waktu dia meninggal akibat Covid, ketiga fosil tiruan diserahkan kepada ibunya. Sebagai anak pertama, bekas pacar saya ini pasti akan menerima tiga fosil tiruan itu. Mungkin karena itu dia tidak setuju fosil aslinya dipulangkan. Saya tidak betah menghadapi mental kolonialnya, karena itu saya putus dengan dia, padahal kami punya rencana nikah.”

Aku hanya bisa terbelalak mendengar penuturan Dewi van Rooijen. Daguku mungkin juga kubiarkan saja patuh pada gaya tarik bumi. 

Keterangan:
1) Nyonya atau ibu
2) Dengan Dewi van Rooijen, diucapkan ketika menjawab telepon
3) Dengan Adhisurya, diucapkan ketika menjawab telepon
4) Selamat sore, bapak berbicara dengan Dewi van Rooijen
5) Bapak atau tuan
6) Bapak atau tuan


Joss Wibisono adalah penulis dan jurnalis. Tinggal di Amsterdam, Belanda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus