Jika vaginamu berdandan, apa yang ia pakai?" Perempuan pertama menjawab ia akan mengenakan sarung sutra, yang kedua bilang kaus oblong, dan yang berikutnya memekikkan nama Oscar Lawalata. Penonton pun sontak ketawa. Naskah The Vagina Monologues karya Eve Ensler, yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, akhir pekan lalu, memang sarat dengan kalimat menggelitik. Contoh lain, pengibaratan vagina seperti Segitiga Bermuda: ada kegelapan begitu pekat dan ke-rahasiaan yang melilitnya, tak ada yang melapor kembali dari sana.
Masih banyak kalimat lain yang mengundang tawa. Namun, sesungguhnya drama yang disutradarai Jajang C. Noer ini bukan sebuah drama komedi. Sesungguhnya Vagina Monologues adalah sebuah gugatan lantang atas kekerasan terhadap perempuan. Hanya, ia sering memilih jalan berkelok untuk kemudian menghantam di belakang. Misalnya, cerita tentang satu wanita yang dipaksa merasa bersalah oleh pasangannya karena ia orgasme saat bercumbu. Atau, ada juga kisah yang menghantam melalui cerita tentang seorang wanita Bosnia yang mengalami pemerkosaan brutal. Adegan yang dibawakan Ayu Azhari dan Wulan Guritno ini jadi semakin menyentuh disajikan dengan proses pergantian masa lalu dan masa kini. Dulu, vagina wanita adalah desanya yang teduh. Kini, pusakanya bernanah dan rusak berat karena tersodok laras baja senapan.
Hanya, pementasan pekan lalu itu terasa monoton dan tersaruk-saruk di beberapa bagian. Membicarakan seksualitas secara blak-blakan memang bukan perkara mudah. Soalnya, kultur panjang yang menabukan hal itu tak mungkin diubah secara mendadak. Hal ini terasa di atas dan di bawah panggung. Ketika seorang pemain berteriak lantang tentang vaginanya, ia malah terlihat sangat tidak rileks. Pemilihan setting yang tidak konsisten—kadang cerita ditarik ke kawasan lokal, tak lagi Amerika—terasa mengganggu.
Vagina Monologues ditulis Ensler pada tahun 1996 setelah ia mewawancarai sekitar 200 wanita. Respondennya dari bocah kencur hingga wanita sepuh, pelbagai profesi serta etnis. Semula, di Amerika Serikat naskah ini nyaris tak bisa dipentaskan karena judulnya yang mengundang perasaan risi. Stasiun radio, misalnya, menolak mengudarakan iklan pertunjukan karena judul ini dianggap porno. Namun, Ensler maju terus dan menolak mengganti titel seperti yang disarankan teman-temannya. Begitu ia berhasil menggelar pertunjukan perdana, bisik-bisik si vagina ini tak lagi bisa dibendung. Terle-bih, bintang-bintang tenar Hollywood seperti Meryl Streep, Glenn Close, dan Winona Ryder berbondong ingin berpartisipasi.
Penulisan Vagina Monologues sebetulnya tak lepas dari pengalaman pribadi Ensler. Tumbuh di keluarga kaya di New York, Ensler mengalami kemalangan yang bertubi-tubi. Ayahnya merundunginya secara seksual sampai umurnya 10 tahun. Setelah itu, ia masih menerima perlakuan kasar dari sang ayah. Alhasil, ketika remaja ia berkembang jadi pemabuk, pecandu obat bius, dan militan. Jalan hidupnya berubah setelah ia menikah dengan Richard Mc Dermott, seorang bartender, pada tahun 1978. Ia mulai bisa berdamai dengan kepahitannya sendiri dan mampu memberikan maaf kepada ayahnya. Perkawinan mereka akhirnya berujung perceraian. Namun, hubungan Ensler dengan Dylan Mc Dermott (pemeran utama film seri The Practice), anak tirinya, tetap baik hingga kini. Terlebih, Ensler-lah yang mendorong Dylan sekolah akting hingga kini ia jadi aktor terkenal.
Naskah Vagina Monologues telah mendatangkan Obie Award bagi Ensler, dan belakangan menjadi pementasan rutin di Off Broadway yang laris. Selain itu, naskah ini telah pula dipanggungkan di sekitar 30 negara. Pada bulan ini saja, ada 800 pertunjukan Vagina Monologues di seluruh dunia. Kesuksesan ini membuat Ensler beroleh nama baru, Vagina Lady, julukan yang awalnya membuatnya takut.
Sekalipun pertunjukan Vagina jadi fenomena, mendatangkan penonton pria pada awalnya tidak mudah. Rata-rata pria Amerika menolak menonton karena tak ingin jadi semacam voyeur di bilik pengakuan. Namun, ketika si jelita Brooke Shields dipasang untuk pertunjukan di New York, antrean calon penonton lelaki langsung mengular. Di Jakarta, boleh jadi nama Ayu Azhari, Sarah Azhari, Ria Irawan, Cindy Fatikasari yang membuat sebagian penonton pria datang. Mudah-mudahan mereka datang bukan hanya karena pemeran yang jelita, tetapi karena memahami bahwa cerita ini adalah sebuah gugatan bagi (sebagian) lelaki yang tak mampu menghargai keperempuanan secara manusia.
Yusi Avianto Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini