Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Saat Dia Menusuk Bayangan

Sebuah duet tari mengesankan yang dipentaskan oleh Eko Supriyanto di Teater Utan Kayu, Jakarta, akhir pekan silam mengalir dan bersahaja.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menggurat bayang-annya sendiri. Dia meng-guratkan ujung lancip pedang itu ke lantai. Dia menusuk memori gelapnya. Inilah sebuah tari yang semata-mata mengandalkan sepi, tubuh halus yang bertenaga, dan bayang-bayang hitam sebagai metafora sisi gelap manusia. Dua buah lampu membentuk garis cahaya. Cahaya itu seolah berkas-berkas rembang yang luruh. Selepasnya adalah ruangan gelap. Penonton bak terbelah menjadi dua bagian. Eko dengan rambut digelung. Hery Suwanto dengan rambut panjang dikuncir. Bayangan keduanya memanjang, berkecamuk di lantai bila tubuh telanjang keduanya saling berasimetri. Pedang dimainkan. Kilatan-kilatan pedang yang terpantul di dada, di wajah, memercik di lantai, sekelebat di layar hitam belakang melentingkan efek emosi cahaya lain. Inilah sebuah tafsir yang sublim atas puisi Goenawan Mohamad. Pada kutil daun-daun. Pada atom putih embun. Pada gusi merah bayi. Sesuatu lahir, kemudian kembali. Eko menafsirkan petilan syair Kali ini sebagai sebuah peperangan, bukan pergolakan fisik. Inilah perang abadi yang memunculkan duka, harmoni, atau pertanyaan. Penafsiran itu diwujudkan dalam ekspresi tubuh yang mengalir. Gerak yang muncul dari kedua penari muda itu seolah refleks yang tak henti-hentinya. Ibarat gerakan menggambar yang tak putus-putus. Sebuah teknik tari yang di Jawa dikenal dengan banyu mili (air mengalir) atau dalam tari modern dikenal sebagai released technique. Bila dalam tradisi, kesinambungan gerak disalurkan dengan tempo yang lambat, terkendali, emosi harus ditekan, tak boleh ada kejutan, dan lebih diarahkan pada pengawasan rasa. Kedua penari memperagakan permainan ruang dan waktu. Fokus duet mereka jatuh pada sebuah ruang kecil dengan sorot lampu yang membentuk elips seperti angka delapan. Di lokasi itulah keduanya membangun variasi kontras cepat-lembut. Bila satunya pasif, yang lain bergerak. Saling menopang kejutan. Eko banyak melakukan adegan mem-belakangi penonton, memperlihatkan kelenturan dan kekokohan tulang belakang tubuhnya. Peter Sellars, maestro tari dunia yang juga menjadi guru tari Eko di Los Angeles, menganggap Eko memiliki kekuatan dalam improvisasi punggung. Punggung Eko menimbulkan semacam elektrisitas, demikian tutur Sellars. Maka, Eko merekam gerakan punggungnya dengan kamera video dan melakukan penjelajahan mencari ragam yang menonjolkan punggung. Eko mengaku penciptaan karyanya selalu berangkat dari musik. Di Los Angeles, ia bersua dengan Ulali, seorang komposer Indian. Pertunjukan duet malam itu menggunakan ilustrasi komposisi Ulali dengan menampilkan dentingan piano, ada teriakan yang tiba-tiba memecah, ada desir yang suwung. Klimaks: dua tubuh itu mendekat. Kedua tangan kanan mereka seolah merebut, menggenggam pedang, tak mau melepaskan. Tiba-tiba pedang terlempar jatuh. Tertinggal sendiri. Sebuah karya lain yang menampilkan lima pemain berjudul Sinder-Sinder (bahasa Jawa yang berarti mandor) adalah gabungan balet dan tari Jawa. Ini adalah karya yang berupaya mencari sesuatu yang gres. Ketika balik dari Amerika, di Solo, Eko merasa jenuh karena melihat persamaan pola garapan pada semua koreografer di kota itu. Ia ingin mencari sesuatu yang memperkaya vokabuler gerak. Hasil penjelajahan Eko untuk nomor ini memang belum berhasil betul. Seperti yang dipentaskan di studio EKI (Eksotika Karmawibhangga), Jakarta, koreografinya yang terdiri atas tujuh bagian itu tampak eklektik, kurang utuh. Transisi dari Jawa ke balet terasa putus. Penceritaan seolah babak per babak. Musik Lou Harrison dan Andre Rieu, yang digunakan sebagai ilustrasi, terkesan terpatah di tengah. Tapi, ketika tarian itu ditampilkan hanya berupa cuplikan adegan dansa di Teater Utan Kayu, nomor itu malah menyegarkan. Tarian ini masih dalam sebuah proses penciptaan yang baru akan selesai tahun depan. Dan kita ikut menyaksikan pengembaraan penciptaan sang Penari Magelang menapak panggung dunia itu. Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus