SIAPA yang enggak bete dengan kemacetan lalu-lintas di Jakarta? Sudah waktu banyak tersita, berbagai kesempatan bisnis pun bisa lenyap. Belum lagi stresnya selama berkendaraan di tengah kemacetan. Namun, kini, segerobak risiko itu akan sirna dengan ditemukannya seperangkat sistem pendeteksi kemacetan jalan oleh Rendra Wijaya, Fivda Harry, dan Dhanu Anggoro. Trio penemu yang belum sampai berusia 24 tahun itu adalah maha-siswa teknik informatika di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten.
Seperangkat sistem pendeteksi itu mereka sebut Traffic Viewing with Wireless Application Protocol atau Traviwap. Teknologi ini akan menghasilkan informasi akurat berupa kondisi kemacetan di suatu jalan raya pada waktu-waktu tertentu. Dengan informasi itu, pengendara juga bisa mencari jalan alternatif yang lebih kecil risiko macetnya.
Berbeda dengan informasi kemacetan lalu-lintas yang acap disampaikan lewat radio ataupun tayangan informasi di jalan tol, informasi yang disajikan Traviwap dengan memanfaatkan jaringan internet tentu lebih beragam dan canggih. Pada Februari 2002, perangkat Traviwap mulai diperagakan di Hotel Kempinski, Jakarta. Dan Selasa pekan lalu, perangkat itu diperbincangkan lagi dalam seminar "Visual Studio Dotnet" yang digelar oleh Microsoft Indonesia di Hotel Shangri-La, Jakarta.
Boleh dibilang gagasan Traviwap juga muncul lantaran Dhanu acap kesal dengan kemacetan lalu-lintas. Rupanya, kemacetan membuatnya sering terlambat mengapeli sang kekasih. Dari situlah Dhanu bersama dua rekannya tadi merancang web yang disebut Traviwap untuk menyediakan jasa informasi situasi jalan raya.
Sistem Traviwap didukung oleh alat-alat penting seperti alat sensor, modul, stasiun relai, dan server yang merupakan terminal Traviwap. Dalam proses kerja Traviwap, awalnya alat sensor dipasang pada jembatan penyeberangan di sejumlah jalan utama dan beberapa tempat strategis lainnya. Contohnya di jembatan penyeberangan di depan Universitas Atma Jaya di Jalan Jenderal Sudirman, jembatan penyeberangan di depan Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan jembatan penyeberangan di depan Bursa Efek Jakarta. Alat sensor itu terdiri atas dua bagian, yaitu emiter, yang ditempatkan di bagian samping jembatan penyeberangan, dan dua buah reseptor, yang ditanam di jalan raya. Jarak kedua reseptor itu sekitar dua meter, dengan posisi depan-belakang.
Ketika sebuah mobil lewat, kedua reseptor akan mencatat kecepatan mobil. Bila mobil berhenti persis di atas reseptor, kecepatan mobil akan tercatat sebesar nol kilometer per jam. Artinya, di jalan itu sedang terjadi kemacetan total. Kedua reseptor secara otomatis mengirimkan data tadi ke sebuah modul yang dipasang tak berapa jauh. Dari modul itulah data terus dikirim ke stasiun relai yang juga dipasang di sekitar jembatan penyeberangan.
Namun, stasiun relai bisa cuma satu dipasang, umpamanya, di Jembatan Semanggi. Soalnya, sebuah stasiun relai bisa menerima data dari sejumlah modul dalam jangkauan radius satu kilometer. Karena itu, stasiun relai di Jembatan Semanggi bisa mencatat data yang dikirim oleh modul di jembatan penyeberangan di depan Polda Metro Jaya, jembatan penyeberangan di depan Universitas Atma Jaya, dan jembatan penyeberangan di depan Bursa Efek Jakarta.
Secara terus-menerus, himpunan data yang tertampung di stasiun relai akan dikirim ke terminal server Traviwap. Server inilah yang akan menerima berbagai data dari beberapa stasiun relai yang ditempatkan di pelbagai lokasi penting di Jakarta. Data itu nantinya didistribusikan ke sejumlah web server, yang kini menjamur di Jakarta.
Rentetan dan trend data tersebut juga akan diolah oleh para pengelola server untuk memprediksi kecenderungan kecepatan kendaraan di sejumlah ruas jalan utama di Jakarta. Misalnya kecenderungan laju kendaraan pada jam-jam sibuk di Jalan Sudirman, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Thamrin. Dari kecenderungan itu pula bisa diduga waktu terjadinya kemacetan total yang menyergap jalan-jalan utama, dan juga jalan alternatif mana yang mudah dilewati. Tentu data semacam itu penting bagi pengendara.
Masih ada lagi manfaat data dimaksud. Menurut Fivda, data itu berguna buat perusahaan yang mempromosikan produknya di jalan-jalan utama di Jakarta. Mereka jadi bisa mengiklankan produknya di jalur-jalur yang lambat agar lebih lama ditatap oleh pengguna jalan. Alhasil, harga iklan jalanan pun terpengaruh. Katakanlah, harga iklan yang dipasang di Jalan Sudirman lebih mahal dari iklan yang dipasang di Jalan Thamrin kendati keduanya merupakan jalan utama dan terletak di pusat kota. Sebab, arus kendaraan di Jalan Sudirman cenderung lebih lambat ketimbang arus kendaraan di Jalan Thamrin.
Dan berbagai pelayanan jasa informasi di atas, kata Fivda, kelak akan makin mudah. Sebab, Microsoft, yang memiliki jaringan Visual Studio Dotnet?sebuah layanan yang bisa menghubungkan web server dengan telepon seluler (ponsel) Anda?bersedia membantu ketiga penemu muda itu. Sejumlah perusahaan besar juga dikabarkan bersedia mendanai proyek Traviwap. Maklum, perlu banyak uang untuk membeli sejumlah peralatannya. Harga sebuah alat sensor saja sekitar US$ 16 atau Rp 160 ribu pada kurs Rp 10 ribu per dolar AS.
Belum lagi bila segenap kawasan penting di Jakarta harus dipantau oleh terminal Traviwap. Tentu diperlukan ribuan alat sensor. Apalagi harga modul, stasiun relai, dan sejumlah peralatan lainnya dipatok dalam kurs dolar. Itu sebabnya ketiga penemu tadi berharap ada perusahaan lagi yang berminat. Bila semua anggaran Traviwap bisa ditutup, diharapkan proyek itu bisa dilaksanakan di Jakarta pada akhir tahun 2002.
Persoalannya: mungkinkah penerapannya efektif? Dulu memang, sebelum teknologi internet merambah Indonesia, juga banyak kamera pengontrol kemacetan lalu-lintas di Jakarta. Toh, akhirnya kamera-kamera itu tinggal menjadi barang rongsokan. Untuk soal ini, rencananya, proyek Traviwap akan didukung oleh Pemerintah Daerah Jakarta, setidaknya untuk mengamankan berbagai peralatan tadi.
Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini