Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA sosok berjubah itu dalam posisi tengah duduk santai, seperti sedang menikmati hidup. Kakinya selonjor, dua tangannya di belakang, menopang tubuh mereka yang subur. Wajah dengan jenggot meranggas di dagu itu berbalut pupur putih sebagaimana tampilan wajah badut. Wajah-wajah yang tengadah, terkesan pongah, seolah ingin menunjukkan keakuan.
Jubah mereka kuning, hijau, dan marun, tasbih raksasa masih melingkar di bahu. Satu-satunya yang tak mencerminkan religiositas mereka adalah bidak catur yang terhampar di kaki sosok berjubah kuning itu—satu simbol tentang permainan atau pertarungan yang tak kenal ampun.
Karya keramik bertajuk Cap Orang Tua ini memamerkan sejumlah kontradiksi simbolik. Ada citraan asketik yang biasa melekat pada kaum rohaniwan itu, berdampingan dengan sikap pongah. Citraan kepongahan itu dibalut keluguan yang menggelitik urat lucu yang kemudian ditabrakkan dengan naluri petarung yang ganas. Satu sosok yang rumit.
Endang Lestari, 32 tahun, satu dari 24 perupa yang mencoba menerjemahkan kurasi pameran bertajuk ”Kere Munggah Bale” dalam pameran bersama di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 Agustus hingga 10 September itu. Seniman keramik lulusan ISI Yogyakarta ini tidak terjebak dalam stereotipe ungkapan kere munggah bale, suatu ungkapan dalam kultur Jawa tentang sikap gamang orang yang mengalami mobilitas vertikal sehingga menimbulkan trauma perilaku berupa sifat lupa diri.
”Kere munggah bale bukan semata kritik tentang orang miskin yang tiba-tiba kaya dan lupa diri. Tapi tentang siapa saja yang tiba-tiba menjadi lupa diri dan pandai memanfaatkannya,” ujar Sindhunata, kurator pameran, dalam pembukaan pameran.
Dengan teknik keramik yang ia kuasai, Endang membuat citraan rohaniwan itu menjadi sesuatu yang lentur, dengan detail bergelombang yang terasa kenyal dan kuat, tapi sekaligus menyisakan ketegangan yang bersumber dari material keramik yang mudah pecah. Ketegangan unsur psikis dan material yang bertabrakan itu membuat karya ini lebih rumit dalam menangkap fenomena kere munggah bale. Satu citraan yang tidak hitam-putih tentang sifat lupa diri.
Tema ”Kere Munggah Bale” ini memang mudah memancing orang menggunakan idiom klise. Satu ungkapan yang populer dan bisa diterapkan pada perilaku apa pun yang menyebabkan orang lupa diri. Dalam pameran ini ungkapan kere munggah bale menerobos ke mana-mana, dari soal kekuasaan, kekuatan fisik, keserakahan, kekayaan, hingga kecantikan. Dan perilaku psiko-sosial itu diungkapkan lewat idiom rupa yang beragam. Semisal simbol kekuatan fisik dengan bentuk otot tubuh yang menggelembung, pada karya patung Adi Gunawan dari bahan perunggu. Simbol lupa diri yang ikonik dalam dunia wayang, yakni sosok Petruk berlidah panjang dengan tubuh dililit jas rapi jali lengkap dengan dasi merah pada karya lukis dengan teknik hiper-realis Irawan Banuaji.
Pelukis Susilo Budi Purwanto juga meminjam visualisasi ikonik proses evolusi manusia ala Charles Darwin dengan judul yang sudah melekat pada Darwin, Missing Link, dari sosok monyet telanjang hingga monyet yang berjas lengkap. Busana formal jas, dasi, yang dipadukan dengan kopiah, tongkat komando, tikus, dan babi dipakai sebagai idiom kekuasaan, status sosial, kerakusan, bahkan sikap antisosial berupa tindak korupsi, seperti pada karya lukis I Gede Arya Sucitra.
Toh, di tengah penggunaan idiom rupa yang sudah telanjur biasa itu, muncul bahasa ungkap yang tak biasa oleh pematung Ali Umar berupa bentuk jempol, cap jempol pada karya Nurkholis. Pada karya grafis Sri Maryanto dengan teknik cukil hardboard bertajuk Maju Terus. Di situ ia memunculkan citraan pemuda bergaya punk, memegang kuas panjang duduk di atas bentuk bom bak sedang berlayar di atas genangan yang mengesankan suasana banjir. Pemuda punk ini berpolah bak seorang kesatria mengendarai kuda yang sedang bertarung menggunakan tombak.
Yang menarik, bentuk bom sebagai idiom kekuasaan atau kekuatan fisik dihiasi ornamen bentuk daun seperti corak kain batik. Seperti perpaduan modernitas yang mematikan dengan tradisionalisme yang melenakan. Dari sejumlah citraan pada karya ini (kuas, bom, banjir) orang bisa menangkap ironi yang kini dialami banyak pelukis yang tiba-tiba menjadi orang kaya baru karena meledaknya penjualan karya lukis hingga ke batas yang tak masuk akal.
Di kalangan seniman di Yogyakarta kini muncul cerita aneh tentang mahasiswa seni rupa ini, tapi ia berhasil menjual karya lukisnya di atas Rp 10 juta. Atau pelukis yang ditunggui kolektor saat melukis, karena khawatir lukisan itu lepas kepada orang lain. Ini fenomena kere munggah bale di kalangan pelukis.
Tidak semua idiom rupa dalam karya yang dipamerkan ini mudah dicerna. Misalnya karya Terra Bajraghosa, suatu kecantikan yang robotik pada sosok perempuan yang tubuhnya berupa citraan rangkaian komponen elektronik, atau karya Ugy Sugiarto dengan teknik hiper-realis yang sangat kuat menggambarkan seorang laki-laki terkurung dalam plastik transparan tapi dengan wajah riang.
Karya Anggar Prasetya dengan teknik mix media menggambarkan hamparan lembaran putih berkerut, seperti kertas putih yang pernah basah. Ada simbol salib di bagian tengah dan ada citraan sendok, ikan, dan obyek lain berukuran kecil. Karya ini bertajuk Fragile. Bahkan Diah Yulianti cenderung impresif dalam warna merah yang sublim menggambarkan dua sosok kuning dan hitam dengan judul Maling-Maling Zaman. Lewat karya ini penonton sejenak melupakan tema pameran ini: kere munggah bale.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo