SULIT ditemukan dokumen tertulis di zaman Khmer Merah yang menggambarkan keadaan waktu itu. Dan saksi-saksi mata hanya melihat kejadian di tempat mereka. Saksi-saksi berikut berasal dari tempat berbeda, dan dari latar belakang berbeda. Satu hal persamaan mereka, barangkali, mereka selamat hanya karena nasib: punya kenalan, menjawab pertanyaan yang kebetulan menyenangkan kader Khmer Merah yang galak, atau dibisiki orang agar tak naik sebuah truk. Chhean Vam dan Kol Touch Keduanya boleh dibilang sebaya. Mereka sama-sama dibesarkan di Kamboja di masa penjajahan menjelang Perang Dunia II. Vam pernah bersekolah di Perancis dan menjadi guru di Lycee Sisowath. Touch menekuni bidang kehutanan. Touch kemudian bekerja di rimba Kamboja, membangun jalan-jalan di hutan Kompong Cham di awal tahun 1940-an. Tak sebagaimana kebanyakan elite di Kamboja, reputasi kedua lelaki ini baik: tulus, adil, dan toleran. Mereka juga dikenal berfisik tangguh dan mampu bekerja keras tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri saja. Di bawah rezim mana pun, Chhean Vam bisa mendapatkan hak-hak lebih. Ia salah seorang pendiri Partai Demokratik dan Perdana Menteri Kamboja pada tahun 1948, yang tak diragukan lagi memegang mandat dari kaum nasionalis. Setelah meninggalkan politik, Vam menjadi pengusaha. Ia tetap tak tercemar oleh hubungan dekatnya dengan Sihanouk dan Lon Nol. Istrinya, Thiounn Hol, adalah saudara seorang pemimpin Khmer Merah. Selama perang saudara, Vam tetap berhubungan dengan kerabatnya di kelompok perlawanan itu. Hubungan ini memberinya sedikit keistimewaan pada tahun 1978: ia dipekerjakan tak jauh dari Phnom Penh. Ketika itu, Vam, yang sudah memasuki umur 60-an tahun, bekerja sebagai petani. Begitu juga istri dan ibunya yang sudah renta. Dalam gelombang evakuasi, Vam dan keluarganya memerlukan waktu empat hari menempuh jarak 16 kilometer dari Phnom Penh ke Samrong, dekat Kompong Speu. Setelah beberapa hari di sana, mereka dijemput kader Khmer Merah dan dibawa naik truk ''dengan babi-babi dan hasil pertanian'' ke sebuah kampung terdekat. Kondisi di situ amat buruk. Tapi Vam merasa beruntung setelah tahu bahwa kepala kelompok di situ, Cheng An, dan istrinya, yang juga anggota Khmer Merah, pernah dipenjarakan oleh Sihanouk pada tahun 1960-an. Vam ingat, ia pernah mendengar pidato Pol Pot dalam sebuah rapat akbar di stadion, 30 September 1978 -- mungkin dalam perayaan ulang tahun partai. Ia tahu dari salah satu iparnya, yang menghadiri pertemuan itu, bahwa seorang pengawal di stadion itu dieksekusi karena senjata karabennya terisi, konon, secara tak sengaja. Rupanya, tentara Khmer Merah hanya diperbolehkan mengisi amunisi bila pergi berperang. Ini bukti nyata adanya ketidakpercayaan dan kecurigaan di antara pemimpin-pemimpin partai waktu itu. Adapun Kol Touch bergabung dengan kaum Demokrat pada tahun 1940-an dan kemudian kecewa dengan langkah-langkah Sihanouk tahun 1960-an. Ia kemudian pensiun sebagai pegawai negeri, tahun 1961, dan mengurus kebun karet milik pemerintah di Tapao di Kompong Cham. Touch kemudian diangkat sebagai menteri pertanian, tahun 1967. Tapi kemudian ia mengundurkan diri karena tidak tahan melihat korupsi di kalangan pegawai negeri dan kembali ke Tapao. Pada Mei 1975, Touch bersama lebih dari seribu orang lainnya mencari tempat mengungsi di sebuah kampung di Kompong Cham. Desa itu begitu parah. Touch dan sejumlah pendatang baru yang tak lari menghabiskan hidupnya dalam bulan-bulan pertama di rumah-rumah bawah tanah di kampung itu. Tempat itu pada masa sebelum revolusi dipakai sebagai kandang ternak. Penduduk desa, yang ''selalu percaya'' apa kata orang-orang komunis, mengancam pendatang baru. Namun, lambat laun mereka melihat beberapa di antara pendatang baru ini, khususnya Kol Touch, orang yang sangat ringan tangan dan bersahabat. Sampai Oktober 1975, padi yang tumbuh di daerah itu dikonsumsi orang luar. Pangan rakyat desa hanya bergantung pada hasil barter bambu dengan penduduk di sepanjang Sungai Mekong sampai ke barat. Kondisi membaik bagi Kol Touch, terutama setelah seorang penduduk wanita dalam tim kerja Touch ingat bahwa Touch pernah meminjamkan uang kepada orang tuanya beberapa tahun sebelumnya. Di pertengahan tahun 1976 Touch ingat bahwa ''mereka sudah tahu tidak perlu ada yang ditakuti dari saya.'' Untuk mendapatkan kepercayaan dari tentara muda di kampung itu, yang semuanya adalah warga setempat, Touch menanam tembakau di samping pondoknya. Dengan begitu, para pemuda dan pemudi bisa datang ke sana dan merokok bersamanya pada waktu senggang. Pertengahan tahun 1976 sudah ada laporan konflik bersenjata antara serdadu Khmer Merah dan tentara Vietnam sepanjang perbatasan. Di tahun itu pula, tanaman padi di beberapa lahan dekat perbatasan dicabuti dan ditanam kembali oleh orang-orang Vietnam dengan akar menghadap ke atas, sebagai suatu penghinaan atau peringatan. Di tingkat desa, tidak ada yang jelas: baku hantam, seperti yang sering terjadi pada masa sebelum revolusi, terjadi akibat pencurian ternak atau barang-barang berharga oleh ''orang seberang''. Ketika perang dengan Vietnam pecah, tahun 1977, Touch ingat sebagian orang Kamboja mencari tempat persembunyian di Vietnam, dengan harapan lepas dari kondisi yang berat. Tapi mereka segera dipulangkan dan ditukar dengan hewan sebelum dibawa pergi dan kemungkinan besar dihukum mati sebagai pengkhianat. Seperti umumnya wilayah Kamboja, kampung yang dihuni Touch ketinggalan informasi tentang dunia luar. Pada masa-masa yang paling nyaman pun, orang-orang kampung hanya tahu sedikit tentang dunia di luar Kompong Cham, dan sebagian bahkan tidak pernah pergi ke pasar terdekat, yang jaraknya kurang dari 25 kilometer. Tak mengherankan bila mereka rawan terhadap desas- desus. Pada awal tahun 1977, ketika suara artileri sampai ke kampung, beberapa warga berpikir bahwa ''putra Sihanouk'' sedang memimpin pasukan untuk menyelamatkan mereka. Begitu perang dengan orang Vietnam makin intensif pada tahun 1977, pertemuan-pertemuan politik makin sering. Penduduk kampung diberi tahu bahwa ''tidak diperlukan warga baru yang bisa membaca dan menulis''. Awal tahun itu Touch nyaris dieksekusi. Untung, seorang kader wanita yang mengenalnya di zaman prarevolusi melindunginya dari tuduhan suaminya sendiri. Wanita itu menyebut Touch ''orang penting tapi baik''. Tentara-tentara yang direkrut dari daerah setempat digantikan oleh para pemuda dan pemudi yang dibawa dari kawasan tengah dan barat daya. Wajah-wajah baru, menurut pendapat Touch, dipersenjatai dengan lebih baik dan lebih terlatih daripada yang lama. Ribuan lelaki dan wanita tak bersenjata dibantai oleh tentara Khmer Merah dengan wajah gembira. Mereka dianggap bersalah karena gagal mempertahankan wilayah dari invasi Vietnam. Dalam suatu kesempatan, ketika orang-orang digiring ke truk, seorang tentara muda membisiki Touch agar terus saja berjalan. Ternyata kemudian, semua yang naik ke truk dibunuh. Pada akhir tahun 1978, ketika Vietnam melancarkan serangan terakhir, Kol Touch tahu-tahu sudah berada dalam kerumunan manusia, ikut mengalir, dan begitu saja sampai di pinggiran Phnom Penh. Tidak seperti puluhan ribu warga Kamboja lainnya dari kawasan timur dan hampir semua yang pernah menjadi anggota kabinet Sihanouk atau Lon Nol, Touch selamat melewati zaman Khmer Merah. DENISE AFFONCO Denise Affonco, orang Perancis, adalah putri seorang guru sekolah yang berasal dari Pondicherry -- guru yang pernah mengajar Sihanouk di sekolah dasar di Phnom Penh tahun 1930-an. Ibu Affonco adalah orang Vietnam yang mengungsi ke Vietnam pada awal 1975. Pada waktu itu, Affonco kawin dengan seorang Sino- Khmer yang condong menjadi pengikut Mao. Ia pemasok fasilitas hotel di Bandara Phnom Penh. Karena ia suka omong tentang retorika revolusioner dengan ramai, misalnya ia pernah mengaku bisa berbicara Khmer seperti mereka, ia punya masalah dengan Khmer Merah. Ia hilang di pertengahan tahun 1976, meninggalkan Affonco dan dua anaknya -- keluarga yang hanya tahu berbahasa Perancis. Pada September 1975, Affonco dan anaknya dievakuasi dengan truk dan kemudian kereta api ke Phnom Leap di utara Pursat. Pada tahun 1977, kader-kader di sana disingkirkan dan digantikan dengan kader-kader dari barat daya. Wajah-wajah baru, katanya, lebih adil tapi keras dan telah mendapat doktrin politik. Dalam satu kesempatan, seorang kader berbicara kepadanya dan menanyakan apa yang akan dilakukan Affonco andaikata ia bisa kembali ke Perancis. Dengan diplomatisnya Affonco menjawab, ''Saya telah mempelajari usaha baru. Terima kasih kepada Organisasi, saya bisa tahu bagaimana menanam padi'' -- tampaknya, jawaban ini memberi kepuasan pada si penanya. Orang-orang yang selamat di kampung itu harus bekerja dan ikut rapat. Ia ingat, dalam suatu rapat, ia diberi tahu bahwa mereka tidak ''senilai dengan satu peluru''. Ia ingat kejahatan- kejahatan sepele diganjar hukuman berat. Selama musim kering, setiap orang di situ diharuskan pergi ke pematang yang jauh. Affonco sendiri setiap hari disuruh menggali lubang sedalam tiga meter dengan luas satu meter persegi. Mereka yang tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target tidak diberi makan. Ia ingat pernah pulang merangkak, membawa jagung hasil panen, di bawah penerangan bulan. Ia melihat kader Khmer Merah di kampungnya punya banyak makanan. Ketika itu, banyak wanita yang menstruasinya berhenti, sedangkan istri-istri kader hamil dengan normal. Kerap wanita-wanita Khmer Merah itu muncul di lapangan dan bekerja selama satu jam atau lebih, seakan-akan memberi contoh. Kenyataannya, tanpa disadari, mereka menghidupkan kembali kebiasaan para penguasa di masa lalu. Dulu, Sihanouk mengundang para diplomat dan pejabat turun ke lapangan untuk ikut bekerja seperti rakyat, satu kali dalam sebulan, dan setelah pemerasan tenaga itu mereka lalu piknik minum-minum sampanye. KRU KHMER CHEN Kru Khmer Chen atau ahli pengobatan tradisional -- demikian ia ingin dijuluki -- adalah seorang Sino-Khmer yang belajar mengobati orang sakit di Cina antara tahun 1955 dan 1962. Pada akhir tahun 1975, ia dan keluarganya dievakuasi dari Poipet. Keahlian Chen disukai oleh Khmer Merah karena sesuai dengan doktrin Khmer Merah yang lebih menyukai obat tradisional daripada obat impor. Malangnya, kader-kader itu tak percaya bahwa pengobatan tradisional pun memerlukan keterampilan. Tanpa konsep tentang kebersihan, diagnosa, atau peralatan kedokteran yang steril, perawat-perawat di seluruh negeri membunuh ribuan orang dengan jarum yang tercemar, salah diagnosa, sembrono, dan karena tidak peduli. Di kampung pertama yang ditinggalinya, Chen menyembunyikan latar belakangnya. Tapi, ketika orang melihat ia merawat dan mengobati sendiri anaknya, mereka pun datang untuk minta tolong. Kader-kader yang merasa hal itu sebagai ancaman merancang pertemuan untuk ''memberikan pelajaran'' kepada Chen karena ''tidak ada dokter yang diperkenankan praktek dalam masa revolusi''. Tapi akhirnya mereka melunak dan mengizinkannya untuk praktek. Pada akhir 1976, Chen melatih suster-suster dan tenaga paramedis untuk melayani seluruh kamp. Ia bersemangat untuk memilih anak-anak miskin dengan kulit gelap sebagai muridnya dan melatih mereka ''sesuai dengan ajaran-ajaran revolusi''. Kursus itu memakan waktu sebulan. Awalnya, ia dibantu oleh dua pria dengan kualifikasi tenaga medis, tapi kemudian keduanya mendapat kesulitan dengan pihak penguasa. Mereka dibawa pergi untuk mendapatkan pendidikan kembali, dan selanjutnya tak pernah terlihat lagi. Hidup Chen sendiri bersentuhan dengan bahaya. Ia selalu dicurigai memiliki kekuatan gaib yang dikhawatirkan oleh kader dan tentara digunakan untuk merugikan mereka. Ketika kader dari barat daya menggantikan rakyat setempat pada tahun 1977, Chen ''dikeluarkan'' dari pekerjaan medisnya. Ia disuruh mengurus ternak babi, lalu merawat ''70.000 ayam dan bebek''. Suatu ketika, ia dikenali oleh seorang kader yang ingat keterampilan medisnya, dan ia pun diizinkan melanjutkan prakteknya. Mula-mula sekretaris di situ anaknya sembuh di tangan Chen, dan Chen pun lalu disukai. Namun, Chen mendapatkan kesulitan karena memutuskan untuk memakai obat-obatan dari Barat dan menolak mengikuti instruksi bagaimana merawat pasien. Chen lalu dituduh sebagai pengkhianat. Ketika beberapa pasiennya mati atau tak sembuh, Chen dituduh mencoba membunuh mereka. Suatu malam, Chen diambil dari desanya untuk dianiaya atau dibunuh seperti lazimnya bila penghuni wilayah ini dibawa malam-malam. Tapi hujan turun dengan lebatnya. Pengawalnya mengajaknya pulang. Dan lucunya, besoknya, keduanya seperti lupa sama sekali pada rencana semula. Kasien Tejapira Tidak seperti saksi yang lain, Kasien Tejapira bukan korban revolusi Kamboja. Ia peserta revolusi. Ketika itu, ia, orang Thailand yang baru saja direkrut oleh Partai Komunis Thailand, ditugaskan berpropaganda di timur laut Thailand. Juni 1977, menghindari penangkapan dari pemerintah Thai, ia masuk dan tinggal di Kamboja, di desa bernama Kampung Delapan Maret. Kampung yang terletak di selatan Surin ini adalah salah satu dari kantong Kamboja di sepanjang perbatasan Thai-Kamboja, berada di bawah perlindungan Khmer Merah. Diperkirakan ada 200 penduduk Thai di sana. Kampung itu terisolasi, tapi persediaan makanan, nasi, dan ikan asin, yang dikirim dengan truk dan kereta bertenaga lembu, berlimpah-limpah. Tejapira dan rekan-rekannya terpesona sekaligus sedih melihat revolusi Kamboja. Revolusi itu sendiri berhasil dan Khmer Merah berkuasa. Tapi, di lain pihak, Tejapira melihat adanya sikap loyalitas buta, kekerasan, dan semangat asal tabrak di antara pengikut Khmer Merah karena miskinnya pengetahuan. Tentara- tentara muda itu, umpamanya, mengasumsikan setiap orang yang memakai jam tangan, kacamata, atau berkulit pucat adalah kapitalis yang harus dimusuhi. Kebodohan itu sebagian disebabkan oleh fakta bahwa revolusi adalah cara memenuhi mimpi-mimpi kebanyakan petani miskin ini. Dalam kata-kata Tejapira sendiri: ''Khmer Merah memahami revolusi mereka dengan pikiran murni yang paling ekstrem. Salah satu lagu perjuangan yang digemari ... dimulai dengan semboyan mengesankan Padevat borisut l'oo l'aa (revolusi yang murni, layak, dan indah). Dasar revolusi itu tampaknya untuk memenuhi karakter kepapaan kelas bawah -- revolusi orang tertindas, yang tak punya apa-apa. Maka, impian menghilangkan rasa tertindas, ekploitasi, kesenjangan ekonomi, dan perbedaan kelas mengkristal sebagai suatu gebrakan yang hebat.'' Dalam revolusi Kamboja, korban sipil meningkat, tujuan politik terlupakan. Akhirnya, orang Kamboja terlalu senang berperang dan merampas. Banyak keluarga Thai tercerai-berai ketika kembali ke Kamboja. Ketika sekitar 300 petani akhirnya dibawa ke Kampung Delapan Maret, hampir semuanya marah dan ingin pulang. Dan setelah berminggu-minggu mengikuti kursus politik, hanya dua orang dari mereka berniat untuk bergabung dalam revolusi. Yang lain mengeluh karena keadaannya terlalu buruk. ''Di kampung kami,'' kata mereka, ''kami makan ayam. Di sini kami cuma makan ikan asin.'' Tapi kader Partai Komunis Thailand sendiri mengizinkan Khmer Merah membantai tentara Komunis Thailand dengan dakwaan lalai dalam menjalankan tugas. Dari waktu ke waktu, menurut ingatan Tejapira, ia melihat mayat bergelimpangan di hutan. Mereka penduduk setempat yang menghilang atau mereka yang mencoba lari dari Kamboja ke Thailand. Seng Kan Seng Kan, berasal dari Takeo, berpendidikan insinyur di Phnom Penh tahun 1950-an. Lebih dari 20 tahun kemudian, ia menjabat direktur pekerjaan umum di Svay Rieng. Seperti Kol Touch, hubungannya dengan penduduk desa dan reputasinya yang baik membawa keberuntungan untuknya di zaman Khmer Merah. Dua atau tiga bulan setelah kejatuhan Phnom Penh, ia berkeliling dengan jalan kaki atau naik sepeda mencari tempat tinggal. Pertama-tama ia menaksir kampungnya sendiri, Takeo, dekat Phnom Chisor. Namun, kondisinya amat buruk. Ia kemudian beralih ke S'aang. Di situ ada keluarganya, tapi miskin makanan dan tak ada rumah. Mengira keahliannya mungkin diperlukan di Phnom Penh, ia berjalan ke kota. Di daerah pinggiran, di Ta Khmau, ia menjumpai lima teman insinyurnya tinggal serumah dengan seorang penasihat Khmer Merah. Tapi salah seorang dari temannya malah berkata, ''Jangan ke sini. Jika keadaan membaik, mereka akan menembakmu.'' Esoknya ia meninggalkan teman-temannya, dan belakangan ia tahu bahwa kelima temannya dibantai tak lama setelah ia pergi. Juni 1975, Kan memutuskan tinggal di Svay Prohout di Svay Rieng. Di situ ada saudara-saudara bekas istrinya, dan ia pikir anak-anaknya bisa dirawat oleh mereka. Namun, ketika tiba, ia langsung dipenjarakan. Sepuluh bulan Kan disekap, bersama lebih dari seratus bekas tentara republik dan beberapa pejabat tinggi sipil seperti dirinya. Kehidupan begitu muram, pekerjaan sangat berat. Tapi mereka mendapatkan makanan yang cukup sehingga cuma sedikit yang mati. Sebelum orang-orang sipil dibebaskan menjelang tutup tahun 1976, mereka diinapkan di gedung penjara. Di lingkungan penjara, Kan akrab dengan tukang masaknya -- bekas polisi di Kota Svay Rieng. Si koki sering menolongnya. Begitu juga kerabat sekretaris politik adalah rekan kerja Kan di tahun 1960-an. Setelah Kan keluar penjara, kesejahteraannya terjamin berkat akrabnya ia dengan seorang kader di wilayah timur, yang istrinya pernah dibantu Kan di zaman republik. Penjara itu ditutup oleh penguasa lokal pada April 1976. Dua hari kemudian, Kan bersama beberapa ribu orang lainnya kembali bekerja. Secara berkelompok, mereka memperbaiki jalan-jalan yang dulu dibuat di bawah pengawasan Kan. Tahun 1977 pecah perang dengan Vietnam. Pada waktu itu, Khmer Merah melakukan pembersihan di wilayah timur. Sedikit demi sedikit Organisasi tercabik-cabik. Perwira-perwira level atas sering datang ke desa itu dan beristirahat. Dalam satu kesempatan, Kan bertanya kepada komandan resimen secara pribadi, apa yang akan dialaminya nanti. Perwira yang kelelahan itu menjawab dengan tamsil pohon pisang untuk menggambarkan, tampaknya, struktur politik Khmer Merah. ''Saya akan mengatakan satu hal kepada Anda, dan satu itu saja. Saya memiliki sepuluh hektare kebun pisang di Kompong Cham. Tahun pertama (setelah kemenangan Khmer Merah) kami memotong daunnya tahun kedua, kami hajar buahnya tahun ketiga (berarti tahun ini, 1977) kami robohkan pohonnya sendiri.'' ''Apakah itu terjadi pada semua jenis buah?'' tanya Kan. ''Jangan bertanya lagi,'' kata si komandan. ''Jika itu terjadi pada saya, itu akan dialami oleh semuanya.'' BSU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini