Membaca Bingkai Kehidupan DANIEL DHAKIDAE MENJADI modern, akhirnya, menjadi seonggok nafsu. Tidak pernah bangsa-bangsa pascakolonial begitu bernafsu untuk menjadi modern. Konsep modern dan kata modern, dalam perkembangannya, berubah makna menjadi pemacu di satu pihak, dan teror di pihak lain. Sebagai pemacu, konsep itu merangsang semangat. Tapi semangat yang berlebih-lebihan akan berubah kembali menjadi nafsu yang -- sadar atau tidak sadar -- merupakan akibat teror menolak ketertinggalan. Salah satu teror adalah yang disebut indikator. Indikator menjadi alat negara-negara industri untuk mengatakan "ulangi apa yang kami buat." Di sini, ahli yang bernama Daniel Lerner sering memusingkan. Bukunya The Passing of Traditional Society sudah dikritik habis-habisan, tetapi buku itu tetap dipakai mati-matian, sebagai penuntun kebijakan. Buku Lerner dianggap mengelirukan, tapi lebih sering disalahtafsirkan. Lerner menetapkan bahwa tidak ada suatu bangsa bisa berfungsi secara efisien tanpa adanya suatu pengembangan sistem media massa. Partisipasi media dan pengembangannya secara massal merangsang hampir semua perkembangan di bidang lain: industri akan berkembang, politik bakal menjadi lebih demokratis. Apa yang lebih ideal daripada dua-duanya terjadi dalam tempo yang sama: industrialisasi dan demokrasi? Dalam hal itu, Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa bikin ulah baru lagi. Yakni, menetapkan bahwa suatu bangsa bisa disebut maju kalau proporsi antara surat kabar dan jumlah penduduk mencapai satu berbanding sepuluh. Kalau dalam suatu negara satu surat kabar dibaca oleh sepuluh orang, negara itu sudah bisa disebut maju. Maka, ditariklah sebuah kesimpulan aneh: supaya modern, tingkatkan jumlah sirkulasi surat kabar. Indonesia termasuk bangsa yang sungguh-sungguh tergerak oleh paham itu. Tetapi ukuran maju dengan menghitung perbandingan oplah surat kabar dan jumlah penduduk, sebetulnya, mengandung jebakan: apakah pengembangan media merupakan sebab atau akibat. Karena tergila-gila mengejar perbandingan itu, banyak negara berkembang menganggapnya sebagai sebab. Sekali dipilih sebagai sebab, konsekuensi akan berbeda. Dunia persuratkabaran mengambil langkah-langkah meningkatkan jumlah sirkulasi karena harus mengejar ketertinggalan itu. Bagi Indonesia, pekerjaan itu tidak main-main. Desa-desa dibanjiri surat kabar. Walhasil, pertumbuhannya tidak mengecewakan, seperti yang digambarkan dalam grafik 1. Sejak kira-kira pertengahan tahun 1980-an, bangsa ini menyaksikan suatu pertumbuhan surat kabar yang, sebelumnya, tidak pernah sebesar dan semengesankan itu. Melihat itu, tak ada kesimpulan lain yang bisa ditarik, kecuali bahwa "bangsa ini sedang tergila-gila membaca". Tapi ada satu pertanyaan lain yang lebih memusingkan: Mengapa jumlah sirkulasi surat kabar di Indonesia hanya kira-kira sepuluh juta untuk penduduk yang sudah bergerak menuju dua ratus juta. Padahal indikator, baik sebagai pemecut maupun teror, menetapkan bahwa jumlah itu sekurang-kurangnya harus menjadi 18.500.000? Dengan kata lain, dalam usaha mati-matian untuk mengejar pertumbuhan jumlah sirkulasi, dan memang dapat dibikin seperti ditunjukkan dalam grafik, kita saksikan pentas dongeng Sysiphus. Usaha mengejar kemodernan bagai memikul batu hitam menuju puncak gunung. Batu memberat, menjadi dua kali lebih berat, sejalan dengan setiap meter tanjakan. Setiap saat, pemikul dipukul mundur. Dalam grafik 2 ditunjukkan kenyataan hantu dongeng Sysiphus itu. Ternyata pertumbuhan yang seolah-olah mengesankan tidak lagi mengesankan. Pertumbuhan tinggi, tetapi perkembangan rendah. Ini tidak berbeda dengan yang terjadi dalam industri lain: high growth, less development. Tawaf yang dicapai setelah usaha mati-matian tidak mampu mengejar kembali titik tertinggi yang dicapai di akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Lantas muncul pertanyaan: mengapa begitu? Ada beberapa kambing yang bisa dipanggil untuk memikul kesalahan itu. Pertama, kambing hitam, yaitu penduduk yang berbiak terlalu cepat. Untuk hal-hal yang menyangkut pertumbuhan penduduk, biasanya, obatnya selalu sama dan sangat jelas: menurunkan jumlah kelahiran bayi. Kedua, kambing putih. Yaitu televisi, yang dikatakan terlalu mendominasi para khalayak yang lebih tertarik melihat televisi yang berwarna-warni daripada membaca koran. Untuk ini, ada lagi proses kejar-mengejar lagi. Surat kabar akhir-akhir ini juga tidak mau ketinggalan, menghiasi wajahnya dengan warna-warni. Kambing putih ini seharusnya lebih mengundang diskusi. Orang mulai mempersoalkan kultur lisan bangsa ini. Mendengar wayang modern dari kotak ajaib seperti televisi lebih mengasyikkan -- baik bagi yang buta huruf maupun sarjana tingkat tinggi -- daripada mengerahkan tenaga untuk membaca. Pada titik ini, orang melupakan Lerner. Buku tua itu (1964) mengatakan, bukan menonton tetapi membaca yang lebih membuka tabir-tabir gelap kehidupan. Kalau boleh kita tarik maknanya, maka buku lebih penting daripada televisi. Perpustakaan di desa lebih penting daripada media elektronik, dan mungkin buku-masuk-desa lebih penting daripada televisi-masuk-desa. Dengan membaca, seorang mengenyam warisan daya ingat suatu bangsa yang menembus batas-batas hidup seseorang, yakni yang disebut sebagai trans-personal memory. Pengembangan media pada tempat pertama merupakan akibat kegiatan bidang lain, bukan sebaliknya. Usaha bukan terletak di dalam meningkatkan jumlah sirkulasi surat kabar, tetapi meningkatkan taraf hidup. Dan sarana meningkatkan inti kekuatan untuk meningkatkan taraf hidup itu sendiri adalah dengan pendidikan. Karena pendidikan demi taraf hidup, dan taraf hidup pada gilirannya hanyalah suatu pertanda adanya kualitas hidup yang tinggi. Di sana letak kekuatan membaca: sekali dimulai ia menjadi wahana kemajuan yang serentak bergulir menjadi untaian sebab dan akibat kemodernan. Dengan kata lain, membaca lebih tinggi fungsinya, dan malah lebih daripada sekadar menjadi sebab atau akibat kemodernan. Membaca terangkat ke atas menjadi bingkai kehidupan dan hidup itu sendiri. * Penulis adalah doktor dari Cornell University, dengan tesis tentang pers Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini