Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKAN bersama selalu menjadi acara istimewa bagi keluarga Parmin. Sebagai sulung dari sebelas bersaudara, ia kebagian tugas dari ibunya untuk mengatur pembagian makanan. Sudah pasti repot karena ada adik-adiknya yang lebih gembul dari yang lain. Apalagi kadang jam makan mesti ditunda karena menunggu warung gado-gado yang dimiliki keluarga itu mendapatkan pelaris. Di tengah riuh-rendah itulah sosok ibu hadir menyulut rasa syukur. Kenangan masa kanak itu dibawa penari asal Surabaya ini pekan lalu di Teater Utan Kayu, Jakarta, dalam nomor Di Balik Pintu Dua.
Diawali sepenggal penuturan, Parmin membuka rekonstruksinya dengan tembang Jawa klasik beriring gender. Lantas ia mulai memutari lingkaran kecil yang dibentuk dari kuntum bunga melati. Gerakan halusnya mirip dengan tai chi. Di tengah lingkaran ada bungkusan kain yang ternyata berisi tiga piring dan ratusan kuntum bunga. Piring-piring ini ia geser di lantai, ia bawa meluncur, dan ia tabuhkan untuk menceritakan ulang upacara di meja makan keluarganya.
Gerakan Parmin cenderung bersahaja. Tak ada yang namanya letupan akrobatik. Piring yang dibawa ke pentas pun menggambarkan kredo seni yang disebutnya sendiri tak mau aneh-aneh. "Saya memang mau jadi pengimbang mereka yang olah geraknya macam-macam," kata Parmin usai pentas. Dengan begini, ia memang jadi terbebas dari perangkap pemakaian simbol yang salah usung. Namun pilihan Parmin ini di sisi lain menjadikan nomor ini terlalu steril.
Untungnya, dalam nomor kedua Suara-Suara Sunyi, eksplorasi gerak Parmin lebih kaya. Ia tampil bersama tiga rekannya, yang semuanya berangkat bukan dari tari. Nomor ini bergulir dengan batu-batu yang digelindingkan ke sudut jauh saat arena masih gelap. Seperti dalam sajian pertama, bagian awal Suara juga dibarengi tembang klasik. Kemudian ada permainan bunyi aksara Jawa ha na ca ra ka. Ketika lampu menyala, tiga orang beringsut meraih pelepah daun pisang, sementara satu orang tetap duduk di posisinya.
Ada efek gerak tersendat karena pemakaian kaus oblong yang ditarik ke atas sehingga leher tertutup. Efek tersebut jadi menarik ketika tiga penari ini mulai memainkan pelepah. Saat vertikal, pelepah jadi mirip gunungan dalam wayang kulit. Pelepah ini pelan-pelan mulai robek daunnya. Bentuk pelepah jadi makin tak keruan saat tiga orang ini memutar-puntirkannya sekuat tenaga. Serpihan daun langsung beterbangan menyesaki ruangan karena kerasnya angin yang ditimbulkan oleh gerakan ini. Berbarengan dengan ini, satu orang yang masih duduk mulai melantunkan tembang lagi sembari menyobeki daun. Pentas diakhiri ketika si duduk ini beringsut jongkok ke belakang menggumamkan otak-atik bunyi ha na ca ra ka dan meletakkan satu-satu lembaran sobekan daun yang seakan dibacanya. Bagian ini tampaknya bisa menemukan klimaks yang tepat sekiranya si duduk yang jongkok mundur ini berhenti di tengah, dan bukannya mengejar efek diagonal sampai tepi arena.
Secara keseluruhan, sajian Parmin dan kelompok Rukun Agawe Sentosa layak dipuji, terutama Suara-Suara Sunyi. Pemakaian simbol daun pisang sebagai penggambaran rapuhnya hal-hal yang kita andalkan sebagai pelindung dalam hidup adalah pilihan yang cerdas.
Pencapaian Parmin ini jadi makin menarik mengingat semasa kencur ia meremehkan tari. Ia melihat laki-laki menari sebagai kegiatan yang kurang jantan. Soalnya, yang ia lihat tari alusan, sementara saat itu ia sedang asyik belajar silat dari kakeknya. Pada tahun 1971, saat duduk di bangku STM dan masih suka tawuran, ia baru tahu bahwa ada banyak macam gerak tari. Ia pun mulai menggeluti tari dengan bergabung ke sanggar. Pada 1984, saat ia sudah punya tiga anak, ia bahkan mengambil ujian persamaan SMA agar bisa belajar tari di sekolah tinggi seni. Namun ia cuma betah dua tahun. Bahkan ia sempat mutung dan tak mau menggeluti tari karena ia menilai olah gerak ini tidak mendatangkan apa-apa, baik kepuasan artistik maupun penghasilan. Ia lebih memilih bisnis warisan keluarga, jualan gado-gado (yang juga masih ditekuninya sekarang). Baru pada awal tahun 1990-an, ia aktif menari lagi.
Penari yang sudah pernah pentas di beberapa negara Eropa ini mengaku tiap kali mencipta gerak, acuannya adalah dirinya sendiri. Menarik untuk ditunggu apakah penari yang penjual gado-gado ini akan melebarkan karyanya dengan menciptakan nomor yang khusus dibuat untuk penari lain.
Yusi Avianto Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo