Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mimpi buruk di rimba vietnam

Pemain : michael j.fox, sean penn skenario : david rabe sutradara : brian depalma resensi oleh : leila s.chudori.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CASUALTIES OF WAR Pemain: Michael J. Fox, Sean Penn Skenario: David Rabe Sutradara: Brian dePalma PERANG Vietnam menjadi sumur ilham yang tak kering bagi sineas Amerika. Hampir setiap tahun, trauma negara besar itu diekspresikan dalam film dengan berbagai gaya. Kita menyaksikan kedahsyatan perang (Apocalypse Now), kekejian tembakan di pelipis (The Deer Hunter) atau pahlawan yang memamerkan otot (Rambo). Suka atau tidak, ini semua adalah luka orang-orang Amerika yang nampaknya belum juga kering. Film Casualties of War muncul setelah keberhasilan film Platoon karya Oliver Stone. Memang mudah, melihat beberapa kemiripan antara Platoon dan karya terbaru Briande Palma ini. Intinya adalah seperti yang dikatakan Charlie Seen di akhir film Platoon, "Perang ini sebenarnya bukan melawan musuh, tapi melawan diri kita sendiri." Artinya, kedua film tersebut sama-sama menceritakan permusuhan yang justru terjadi di antara sesama prajurit Amerika ditengah Perang Vietnam. Alkisah, seorang pemuda hijau idealis bernama Errickson (Michael J. Fox) terlempar ketika kecamuk perang itu kian memanas. Ia, dibawah pimpinan sersan yang berwatak keras (dimainkan Sean Penn), bertugas menghabisi makhluk Vietcong. Sang Sersan beserta tiga anak buahnya yang lain digambarkan sebagai prajurit yang siap membabat "yang bukan Amerika" dengan membabi buta, sementara Errickson adalah seseorang yang terus bertanya-tanya tentang keberadaannya di neraka itu. Perbedaan persepsi macam ini memang sudah tergambarkan dalam Platoon. Berbeda dengan Stone, dePalma memilih sebuah lensa close-up dalam mengangkat konflik itu. Dalam Platoon permusuhan sesama prajurit itu terlukis dan terwakili oleh beberapa pihak dalam berbagai peristiwa yang sporadis dan terus-menerus. Sedangkan dePalma memfokuskan konflik itu melalui kasus perkosaan. Pada sebuah malam, Sang Sersan menunjuk sebuah peta. "Kita harus masuk desa ini. Karena perjalanannya akan melelahkan, kita akan menculik seorang anak penduduk. Kita garap dia untuk "obat kuat". Oke?" Anak buahnya bersorak. Errickson tidak. Dia bersama Diaz menahan marah melihat kawan-kawannya menculik perawan desa itu. "Kami bukan VC (Vietcong), tapi entah kau!" gelegar Sang Sersan karena Errickson mencoba menghalangi mereka. Tapi toh keganasan itu terjadi. Bahkan Diaz tak mampu menolak. Hanya Errickson, dibawah hujan, menangis sedih mendengar teriakan gadis itu, yang diperkosa secara bergantian. Selanjutnya adalah antiklimaks. Tapi dePalma mampu mempertahankan ketegangan. Errickson terus mencari jalan untuk melapor kejadian itu. Baik atasannya langsung maupun komandan tertinggi tak mau pusing. Errickson bahkan dihardik. Tapi ia nekat. Dia bahkan hampir mati dibunuh rekannya. Adegan berikutnya mungkin akan memuaskan hati penonton. Keempat prajurit pemerkosa itu tampak dungu di muka pengadilan. Kedunguan yang mewakili kesalahan orang Amerika dalam menyederhanakan kerumitan Perang Vietnam. Mereka dihukum 16 tahun penjara dan kerja paksa. DePalma kurang berhasil menunjukkan pengaruh perang gila itu pada karakter Errickson. Konflik tergambar secara hitam-putih. Penyederhanaan ini mungkin disebabkan karena Platoon adalah pengalaman pribadi sang sutradara, sementara Casualties of War diangkat dari kisah nyata yang diberitakan The New York Times. Artinya, dePalma mempunyai jarak dengan karyanya sendiri. Dibandingkan dengan karya dePalma sebelumnya (The Untouchables dan Scarface), film ini tidak memperlihatkan kecanggihan dePalma -- meski sama sekali bukan kegagalan. Ia tetap mahir menggunakan bahasa film. DePalma sengaja mengambil long shot ketika adegan perkosaan berlangsung, sementara tentara lain di mukanya menunggu giliran dengan gelisah. Dan yang penting, seluruh mimpi buruk Errickson tadi adalah sebuah kilas balik. Itu semua diawali karena matanya bertumbukan dengan seorang gadis Asia diatas keretaapi. Maka, dePalma mengakhiri adegan dengan bunyi kereta api yang berderak. Errickson kembali pada masa kini, tahun 1974. Itu terlihat dari headline koran yang dibaca seorang penumpang: "Nixon mengundurkan diri". Errickson turun dan mengejar gadis Asia itu. "Kamu seperti habis bernyanyi buruk," kata gadis itu terheran-heran. Errickson mengangguk. "Yang penting semuanya sudah berlalu," kata gadis itu lagi. Mungkin itu keinginan dePalma. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus