ARGA negara Indonesia di Kuwait akhirnya bisa pulang. Senin pekan ini, pemerintah Irak mengizinkan mereka kembali ke tanah air setelah pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak mengirimkan pasukan ke Arab Saudi, seperti yang diminta pemerintah Arab Saudi. Jumlah orang Indonesia yang berada di Kuwait sekitar 740 orang, belum termasuk staf KBRI dan petugas perwakilan lainnya. Setelah Kuwait diduduki Irak, beberapa di antaranya mencoba lari keluar. Ada yang mengikuti majikannya mengungsi ke Arab Saudi melalui jalan darat. Ada yang lari lewat London. Ternyata, sudah ada yang berhasil selamat dan tiba di tanah air. Contohnya Atih Nuryani binti Ajil Djaelani, asal Kampung Ranca Bungur, Desa Cijurey, Kecamatan Gegerbitung, Sukabumi. Wanita berusia 18 tahun itu pada 17 Agustus lalu menginjakkan kaki di kampung halamannya lagi. Dua tahun lamanya Atih bekerja pada keluarga Abdul Hasein -- seorang petugas kepolisian Kuwait -- dengan gaji sekitar Rp 150 ribu sebulan. Sebelumnya Atih tidak pernah membayangkan Kuwait bakal bau mesiu. Baru pada Kamis, -2 Agustus, televisi dan radio Kuwait mengumumkan keadaan bahaya. Dentum meriam dan roket mulai menggelegar. Waktu itu Atih sedang mengantar nyonya majikannya belanja ke supermarket. Tapi, entah sejak kapan, tentara Irak mengepung tempat itu. Buru-buru mereka putar kemudi. Tak lama kemudian terdengar ingar-bingar. Pusat perbelanjaan itu hancur lebur, setelah tentara Irak menghalau semua pembeli. Nyali Atih langsung mengkeret. Hari itu juga keluarga Abdul Hasein mengungsi ke rumah saudaranya yang terletak di pinggir kota. Atih dan seorang pembantu asal Filipina ikut. Dua hari kemudian majikannya kembali ke kota. Tapi, mereka cuma menemukan rumah tiga tingkat mereka telah jadi puing, dan mungkin sekali menimbun anak tertua Abdul Hasein. "Majikan saya menangis histeris. Saya juga ikut menangis," ujar Atih. Dengan tongkat besi, majikannya mengais-ngais puing, mencari anaknya yang mungkin telah jadi arang. Tidak ada. Atih juga perih. Emas 30 gram dan duit 300 dinar yang dikumpulkannya selama dua tahun lenyap. Dua kopor penuh pakaian ludas. Paspor raib. Padahal rencananya, 23 Agustus, Atih akan mudik ke Indonesia. "Saya malu, pulang ke lndonesia nggak bawa apa-apa," rintih Atih. Lantaran situasi Kuwait makin gawat, Hasein mengajak sanak familinya mengungsi ke Arab Saudi. Lima buah mobil mengangkut 30 orang, termasuk Atih. Mereka cuma membawa pakaian seperlunya agar tidak mengesankan niat untuk mengungsi. Mereka menghindari jalan beraspal agar tak kena cegat. Tapi di padang pasir sebuah mobil terperangkap. Terpaksa mereka kembali ke Kuwait. Hanya dalam beberapa jam Kuwait penuh puing. "Saya lihat tentara Irak meledakkan rumah tanpa menyuruh penghuninya keluar," kata Atih. Toko-toko juga dibikin porak-poranda. Esok harinya keluarga Hasein mencoba mengarungi sisi padang pasir yang lain. Beberapa kali mobil mereka terperangkap, tapi masih bisa diselamatkan. Setelah berjalan sekitar 100 kilometer -- ditempuh selama 19 jam -- mereka berhasil memasuki Arab Saudi dengan selamat. Seminggu Atih tinggal di hotel di Riyadh bersama majikannya sambil menunggu paspor sementara yang dijanjikan KBRI. Rupanya, Tuhan masih bersama Atih. Selain memperoleh tiket gratis dari KBRI, dia juga menerima 2.000 rial -- kira-kira Rp 600 ribu -- dari majikannya. Semua dibelikan emas putih di Arab Saudi. Dia juga masih menyimpan 3 gram emas seharga 17,5 dinar dan sebuah jam tangan seharga 100 dinar. Tapi, stres Atih belum pupus. "Saya masih ingat perang. Menakutkan!" katanya. Berbondong-bondong orang mendatanginya. Mereka bertanya tentang tiga orang Ranca Bungur lainnya yang bekerja di Kuwait. Konon, mereka selamat meski belum pasti betul. Widi Yarmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini