TANPA disangka-sangka, namanya masuk daftar 150 "pembayar pajak terbesar" untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Waktu itu Harjoko Trisnadi, anggota direksi Grafiti Pers (perusahaan yang menerbitkan TEMPO ini sedang cuti. Dia kaget. Banyak yang mengucapkan selamat. Bukankah namanya ditulis sederet dengan nama sejumlah pengusaha besar di Jakarta? Tapi Harjoko serba salah. Ada temannya yang kirim teleks. Isi nya: mengucapkan selamat, karena Harjoko adalah seorang pembayar pajak yang baik dan sekaligus seorang yang "rendah hati". Rupanya, teman itu percaya Harjoko, bekas wartawan majalah Star Weekly dan Djaya yang terbit sekitar 25 tahun yang lalu, sudah jadi konglomerat. Hanya penampilannya selama ini terlalu "tidak mencolok". Harjoko berterima kasih bahwa kerajinannya membayar pajak di hargai, tapi ia mengeluh juga: "Orang yang menganggap saya ini konglomerat kan bisa menyangka saya pelit." Berapa pajak yang dibayar Harjoko? Dalam daftar nama 150 pembayar "pajak terbesar", Harjoko menduduki peringkat ke-142. Orang TEMPO yang lain, Fikri Jufri, Direktur Pemasaran dan Wakil Pemred TEMPO, terdaftar di nomor 146. Selain mereka berdua, penerbit TEMPO tercantum di peringkat 51 dari 150 badan pembayar terbesar untuk DKI Jakarta. Semua karyawan dan anggota direksi sudah lama memang sudah memutuskan tak akan mencoba "main mata" dalam soal pajak. Sebab pertama: karena sistem anggaran TEMPO, yang disusun banyak orang, tak memungkinkan banyak rahasia dalam soal keuangan. Sebab kedua, seperti dipesankan Pemimpin Umum TEMPO, Eric Samola, yang juga tercatat sebagai pembayar pajak yang baik di tingkat nasional: "Kita sering menyoroti orang lain, maka kita harus membayar pajak." Kalau kemudian Harjoko dan Fikri jadi repot, agaknya karena Kompas 7 Agustus 1990 memuat keterangan konglomerat Eka Tjipta Widjaja yang menyebutkan bahwa tahun lalu ia membayar pajak sebesar sekitar Rp 500 juta. Padahal, raja minyak goreng dan pemilik puluhan perusahaan gede itu tercantum dalam nomor urut 129. Artinya, Harjoko dan Fikri, yang peringkatnya tak begitu jauh terpaut dari Eka Tjipta, tentulah sudah membayar pajak ratusan juta rupiah pula. Benarkah? "Tahun lalu saya membayar Rp 11 juta lebih," ujar Fikri Jufri yang sedang sakit ketika penghargaan diberikan oleh Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad, dan seperti halnya Harjoko, tak dapat hadir. Harjoko membayar sedikit di atas jumlah yang dibayar Fikri. Artinya, rata-rata sebulannya mereka masing-masing membayar sekitar Rp 1 Juta. Mula-mula mereka menyangka jumlah itu banyak sekali, karena termasuk dalam kategori "terbesar", tapi setelah dibandingkan dengan Rp 500 juta... Besar atau kecil tentu relatif. Dan yang penting tentu bukan cuma jumlahnya. Bak kata seorang pejabat Ditjen Pajak yang tak bersedia disebutkan namanya: "Kalau dilihat, orang yang rajin bayar pajak itu ya malah rakyat kecil. Mungkin mereka tak tahu caranya mengelak, sedang orang gede-gede di Jakarta ini kan pinter-pinter."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini