Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARET 1961. Kapal Tampomas berangkat dari Tanjung Priok. Di lambungnya tertera tulisan ”Indonesia Floating Fair”. Tujuannya Honolulu. Inilah pementasan terapung. Di setiap negara yang disinggahi, masyarakat setempat bakal dipersilakan melihat tari-tarian Indonesia di atas kapal.
Film dokumenter ini menggarap fokus yang dilupakan para sejarawan. Pada 1952-1965, Soekarno banyak mengirim misi kesenian ke luar negeri. Misinya mengenalkan republik yang masih muda. Ratusan penari rentang tahun itu dikerahkan. Mereka dikirim tak hanya ke negara-negara Asia, seperti Bangladesh, Cina, Jepang, dan Korea Utara, tapi juga Rusia dan Eropa Timur (Ceko, Hungaria, dan Polandia), Eropa Barat (Belanda dan Paris), Afrika (Tanzania), serta Amerika (New York). Kita tahu hal ini penting karena, bagaimanapun, misi ini turut membentuk imajinasi atas Indonesia.
Dikerjakan keroyokan oleh empat perempuan yang dikenal sebagai peneliti gamelan dan tari, film ini berisi percakapan dengan para mantan anggota misi. Jennifer Lindsay mewawancarai para seniman di Solo dan Yogyakarta, sedangkan Irawati Durban Ardjo dengan mereka yang di Jawa Barat dan Makassar. Sementara itu, Menul Robi Sularto di Jakarta dan Bulan Trisna Jelantik yang ada di Bali. Mereka menggali suka-duka anggota rombongan. ”Ada 30 narasumber,” kata Jennifer. Bahan mentah wawancara sekitar 50 jam kemudian diedit dengan apik oleh Chandra Hutagaol menjadi film berdurasi satu setengah jam.
Meski dikerjakan gotong-royong dengan anggaran minim, film ini mampu membuat kita berpikiran bahwa, dibanding sekarang, Soekarno memiliki strategi kebudayaan yang jelas. Rombongan itu rombongan besar. Rombongan resmi kepresidenan, yang para penari dan pemusiknya diseleksi dari berbagai daerah di Indonesia kemudian dikumpulkan di sebuah training centre di Jakarta.
Dan dari cerita mereka tampak betul Soekarno mengawasi kesiapan rombongan. Pringgohadiwiyono, misalnya, ingat, sebelum berangkat ke Pakistan Timur, saat latihan di Jakarta, Soekarno mengoreksi tabuhan kendangnya. Andi Sapada, penari Pakarena dari Ujungpandang, juga mengatakan bagaimana Soekarno mengkritik kendangan Pakarena. ”Terlalu panjang. Jangan lebih dari 10 menit,” kata Soekarno.
Bagian yang paling menarik adalah saat mereka menceritakan perjuangan perjalanan itu. Kapal Tampomas, misalnya, sampai utara Tegal balik lagi ke Jakarta karena rusak. Dari Jakarta mereka lalu ke Honolulu naik pesawat. Dari Hawaii itu mereka melanjutkan penerbangan ke Tokyo. Di Jepang, baru Tampomas menyusul dan mereka naik kapal itu menuju Hong Kong, Filipina, dan Singapura.
Atau bayangkan tubuh mereka terguncang-guncang dan mual saat mereka dibawa pesawat Hercules menuju Amerika. ”Dari Jakarta ke San Francisco butuh waktu 11 hari,” Iim Junaedi, mantan perawit, mengenang. Rutenya adalah Jakarta-Biak-Pulau Wake. ”Di pulau itu mendarat, tapi saat siap-siap terbang, Hercules tidak mau naik,” ia menambahkan. Menginap sehari di pulau lautan Pasifik itu, kemudian penerbangan dilanjutkan ke Guam-Honolulu-San Francisco-New York. ”Sampai di New York kami semua mengeluarkan air mata,” kata Lim.
Dan di pesawat itu rata-rata mereka tetap berpakaian resmi—jas atau kebaya lengkap. ”Kami tak berani mencopot sanggul,” kata Retno Maruti. Yang membanggakan mereka adalah kedatangan mereka sering disambut resmi oleh pejabat setingkat perdana menteri, seperti Chou En Lai, Ali Bhutto, dan Lee Kuan Yew. Ada hal-hal lucu dalam pertemuan itu yang mereka kenang. ”Pak Ho Chi Min, di telinga beliau itu ada rambut,” kata Edi Sedyawati dalam film.
Kita melihat banyak anggota rombongan itu telah lama wafat sebelum film ini dibuat, seperti Bagong Kussudiardja, Wisnu Wardhana, dan Ngaliman. Juga beberapa narasumber dalam film itu, seperti pencipta wayang ukur Sukasman dan penari Andi Sapada—wafat setelah film ini dibuat. Film ini akan lebih lengkap bila ada footage rekaman film pertunjukan mereka di mancanegara. ”Kami sudah minta bantuan Salim Said mencarikan di Ceko dan di Rusia Prof. Larissa Efimova, ternyata sampai saat ini belum ditemukan,” kata Jennifer.
Setelah dari Salihara, Jakarta, film bakal diputar di Yogya, Bandung, dan Solo, atau di mana saja yang membutuhkan. Publik seni kita harus melihat. Sebab, seperti kata N. Riantiarno, dramawan yang menonton, ”Saat itu negara belum punya uang, tapi punya ide, sementara sekarang punya uang, tapi kering ide.”
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo