Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Museum Anugerah Allah

Museum barli di bandung dibangun oleh pelukis barli. bangunan tiga tingkat ini menyimpan karya barli dan pelukis lain. pengelolaan akan ditangani oleh sebuah dewan kurator.

7 November 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pelukis Bandung kini boleh berlega hati. Mereka tidak lagi bingung mencari tempat untuk memamerkan lukisannya. Sejak Senin lalu, Bandung punya sebuah museum seni rupa yang didirikan oleh pelukis Barli Sasmitawinata, meski letaknya jauh di kawasan Setrasari, di pinggiran kota. Para pelukis memang punya obsesi mendirikan museum yang tidak hanya bisa menyimpan karya sendiri, tetapi juga untuk memajang karya pelukis lain. Sejak tahun 1950-an impian seperti itu bahkan sudah pernah diungkapkan oleh pelukis Trisno Soemardjo. Tapi ternyata hanya pelukis yang karyanya laku keras, misalnya Affandi, yang mampu membangun sarana mahal itu. Obsesi Barli pun muncul sejak dulu. Ketika itu tahun 1964, saat ia berusia 43 tahun dan baru pulang dari belajar seni rupa di Negeri Belanda. Setiap kali usai salat, Barli selalu berdoa memohon sebuah museum kepada Allah. "Saya tidak minta uang tetapi minta museum," katanya. Maka, 28 tahun kemudian, ketika usianya mencapai 71 tahun saat ini, barulah Allah memberinya museum. Karena yang dimintanya memang museum, dan ia tak pernah menghitung-hitung uang hasil penjualan lukisannya, Barli pun kini enggan menyebut jumlah dana untuk membangun museum anugerah Allah yang dinamakan Museum Barli itu. Berdiri megah di tanah seluas 860 meter persegi, luas seluruh bangunan berlantai tiga itu tak kurang dari 1.200 meter persegi. Arsitekturnya modern, lantai dua dan tiganya berbentuk segi enam. Lantai pertama disebut Lantai Agung, mengambil nama anak sulung Barli, dipergunakan untuk pergelaran kesenian, diskusi, dan pendidikan seni rupa. Lantai kedua dinamakan Lantai Nakisbandiah, nama istri kedua Barli, sebagai ruang pameran karya Barli atau pelukis lain. Begitu pula sayapnya, yang disebut Chandra's Gallery. Lantai tiga dinamai Lantai Atikah, nama almarhumah istri pertamanya, untuk menyimpan karya Barli. Saat ini lebih dari 60 lukisan karya Barli dipajang di Lantai Atikah maupun Lantai Nakisbandiah. Dan seperti layaknya sebuah museum seni rupa, Museum Barli juga memajang karya pelukis lain. Misalnya 20 lukisan karya murid Barli, Rudy Pranadjaja, yang dipajang di Chandra's Gallery. Di sana juga ada beberapa karya Sam Bimbo. Sam adalah murid Barli yang lain, yang pada saat pembukaan museum menyumbangkan sebuah lagu. Semua lantai dilengkapi dengan perabot antik, mulai dari lampu kristal gantung sampai patung. Di Lantai Nakisbandiah, misalnya, dipajang seperangkat meja-kursi antik yang serasi dengan jambangan bunga, sedangkan di Lantai Atikah ada patung karya pematung Bali yang terkenal, Cokot, cenderamata Affandi. Di sana juga ada balai-balai antik berukir dari Madura, dan beberapa ragam hias khas Jawa Barat. Barli merupakan salah seorang pelukis yang menjadi tonggak pada awal sejarah seni rupa Indonesia, yang sejak zaman revolusi kemerdekaan -- bersama Affandi, Sudjojono, dan sebagainya -- tampil sebagai tokoh perintis seni rupa modern. Sampai kini ia tetap konsisten sebagai pelukis dan pendidik. "Itulah sebabnya saya selalu berpikir ke depan. Dan museum ini merupakan salah satu dari sikap saya yang konsisten itu," katanya. Menurut Setiawan Sabana, pelukis yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, kehadiran museum milik Barli ini merupakan imbangan yang positif terhadap beberapa galeri komersial yang mulai menjamur di Bandung. Beberapa pelukis menyatakan bahwa Museum Barli sudah memenuhi persyaratan sebagai museum seni rupa. "Kekurangannya tentu ada, tetapi untuk saat sekarang museum ini sudah cukup bagus," ujar Popo Iskandar. Maksud Barli membangun museum ini memang untuk meningkatkan apresiasi masyarakat. Pengelolaan museum ini, misalnya, kelak akan ditangani oleh sebuah dewan kurator yang bertugas menentukan atau menyeleksi lukisan yang layak dipamerkan. "Pelukis yang tidak serius tidak akan bisa berpameran di sini. Saya tidak akan memamerkan karya pelukis iseng," kata Barli. Sejak berusia belasan tahun, pada zaman revolusi kemerdekaan, Barli sudah mulai melukis. Karena ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal, lukisannya tak pernah bisa terkumpul. Itulah sebabnya, kini merupakan suatu kebahagiaan sendiri ketika ia berhasil mengumpulkan semua hasil karyanya dalam satu museum. Apalagi anak sulungnya, Agung, yang lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, juga melukis. "Bagi saya, melukis merupakan upaya untuk memuaskan batin. Saya merasa ringan, enak, dan bahagia bila tengah melukis," kata Barli, yang hingga kini sudah menghasilkan sekitar 1.000 lukisan. Ia mengaku berangkat dari realisme, lalu impresionisme, kemudian modern. "Karena sudah tua, saya tidak bisa lagi mengejar objek. Dulu, kalau menggambar gunung, saya pergi ke gunung. Tapi sekarang saya menggambar tanpa model," ujarnya. Sampai hari ini, setiap hari ia masih melukis. Setelah sarapan pagi biasanya ia langsung masuk ke studionya. Dan dengan lancar ia pun melukis. Katanya, "Inspirasi selalu datang dengan sendirinya, begitu saya melihat cat dan kuas." Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus