ANDA percaya pol pendapat? Bila demikian, Anda sudah menduga siapa presiden Amerika Serikat yang baru. Mestinya itu Bill Clinton, yang dalam berbagai pol pendapat sampai akhir pekan lalu tetap berada di peringkat teratas, meski perbedaan angka pol antara dia dan George Bush makin tipis. Memang, pol nasional untuk pemilihan presiden di Amerika bisa menyesatkan. Pol itu berdasarkan penjumlahan suara responden, sedangkan perhitungan siapa pemenang pemilihan presiden di AS itu berdasarkan jumlah suara Dewan Pemilih (Electoral College). Misalnya, jumlah anggota Dewan Pemilih di California 54 orang. Bila Clinton menang di negara bagian ini, meski hanya menang satu suara, ke-54 suara Dewan Pemilih milik Clinton semua. Jadi, pol yang mendekati kenyataan adalah penjumlahan pol di tiap negara bagian. Tapi dengan cara ini pun, sampai dua pekan lalu Clinton tetap juara. Menurut surat kabar New York Times Magazine, Clinton mengantongi 318 suara Dewan pemilih, Bush hanya 102. Sisanya, 118 suara (jumlah suara Dewan Pemilih seluruhnya, 538), masih belum bisa dipastikan. Perhitungan yang hati-hati dilakukan oleh majalah Time. Diduga, yang sudah hampir pasti dipegang Clinton, 266 suara, Bush 111. Sisanya, 161 suara, belum bisa ditebak. Tapi dengan perolehan tersebut, Clinton tinggal membutuhkan tambahan 4 suara, karena syarat menjadi pemenangan mayoritas adalah 270 suara (separuh jumlah Dewan Pemilih seluruhnya, 269, tambah satu). Bila dugaan itu benar, tampaknya orang Amerika Serikat memang menghendaki perubahan. Dan Bill Clinton, kandidat berusia 44 tahun itu, memang menawarkan perubahan dalam kampanye-kampanyenya. Terutama perubahan ekonomi, dengan menjanjikan peningkatan di segala bidang: manusianya, teknologinya, kapital bisnisnya. Dan tentu saja satu tawaran yang merupakan ciri Partai Demokrat: menyempitkan perbedaan kaya-miskin. Yang menarik, tampaknya para pendukung Clinton menyadari benar bahwa itu cuma janji. Lalu, Rudiger Dombusch dari Massachusetts Institute of Technology, misalnya, menulis di majalah London, The Economist. Katanya, Clinton tentunya tak akan mengubah Amerika dalam semalam menjadi "seperti Jerman yang kaya tenaga terampil dan terlatih, seperti Jepang yang menguasai teknologi, atau Swedia yang begitu bagus program kesehatan dan perawatan anaknya." Faktor lain yang juga menguntungkan calon dari Partai Demokrat ini adalah antusiasme generasi muda ambil bagian dalam pemilihan. Menurut para pengamat, sebagian besar orang muda cenderung memilih Clinton karena mereka menginginkan perubahan. Dulu, di zaman George Bush bersaing dengan Michael Dukakis, menurut surat kabar Los Angeles Times, hanya 36% generasi muda siap memilih. Kini angka itu adalah 54%. Tapi peluang yang dimiliki Bush bukannya tak ada. Pol akhir pekan lalu cenderung menyempitkan perolehan suara Bush dan Clinton, bahkan bisa menjadi kemudian suara untuk Bush melebihi Clinton. Diduga, pekan lalu muncul optimisme di kalangan orang Amerika, ekonomi bakal membaik. Menurut sebuah survei oleh Asosiasi Nasional Para Pengusaha, tahun depan defisit Amerika akan turun setengahnya, apa pun yang terjadi. Dengan kata lain, kebijaksanaan ekonomi Bush belakangan memang berhasil. Selain itu, sebuah suvei menunjukkan bahwa 60% ahli ekonomi Amerika Serikat percaya bahwa di tangan Bush ekonomi AS "akan lebih terjamin keajekan pertumbuhannya, dan terkendalikan inflasinya." Pol lain yang dilakukan oleh surat kabar USA Today di antara para ahli ekonomi menyimpulkan, 63% responden percaya bahwa Bush "akan menjalankan manajemen ekonomi lebih baik dalam empat tahun ini." Namun, seandainya dukungan pada Bush memang naik, teoretis sulit hanya dalam beberapa hari dari angka 30-an% mencapai jumlah yang disyaratkan, yakni 50% tambah satu suara. Seandainya pun Bush menang, perolehan suaranya tak akan berbeda jauh dengan perolehan suara Clinton. Berdasarkan persentase pol-pol akhir pekan lalu, tampaknya kedua kandidat yang bersaing ketat itu masing-masing hanya akan memperoleh 40-an% suara. Itu karena faktor Ross Perot, calon independen. Munculnya Perot yang berdasarkan pol-pol memperoleh suara 15-20% cukup menjadi pengacau hingga tak ada pemenang mayoritas. Memang, perhitungan berdasarkan perolehan suara Dewan Pemilihan, menurut perhitungan majalah Time yang hati-hati pun, tipis kemungkinan suara untuk Clinton terganggu oleh Perot, hingga memungkinkan pemilihan ini tanpa pemenang. Clinton tinggal membutuhkan empat suara, dan jumlah suara paling sedikit di sebuah negara bagian adalah tiga. Tapi karena jumlah minimal yang tiga itu juga, bila Clinton mengalami kekalahan di suatu negara bagian yang semula diduga dialah yang menang, turunnya angka akan besar juga. Walhasil faktor Perot ternyata bisa membuat dua kubu merugi. Dan bila hal itu memang terjadi, kemungkinan besar memang pemilihan presiden Amerika kali ini tanpa pemenang. Bila hal itu terjadi, menurut konstitusi Amerika, pemilihan presiden akan diserahkan kepada Kongres dengan cara pemungutan suara. Nah, bila itu pun yang terjadi, menurut perhitungan di kertas, Bill Clinton pula yang bakal terpilih. Soalnya, Kongres AS dikuasai oleh Partai Demokrat. Tentu saja, di negara demokrasi ini bisa saja (dan itu sah) wakil Partai Demokrat tak mendukung kandidat dari Demokrat. Tapi ini jarang sekali terjadi, dan seumpama ada, cuma dilakukan oleh satu-dua orang. Masalahnya, bisa saja pemungutan suara di Kongres tak memenuhi kuorum. Seandainya ini terjadi, giliran wakil presiden yang di-voting, untuk didudukkan sebagai presiden. Bila ini gagal lagi, ketua Kongres yang akan menjabat sebagai presiden AS. Tapi itu jarang terjadi. Sejak pemilihan presiden AS tahun 1789, hanya tiga kali Kongres terpaksa melakukan voting karena tak ada pemenang mayoritas. Menurut buku The World Almanac 1992, itu terjadi pada tahun 1824, 1876, dan 1888. Voting itu pun sekali jadi, tak sampai harus mem-voting calon wakil presiden menjadi presiden, apalagi memutuskan ketua Kongres menjabat presiden. Voting dalam Kongres pertama kali terjadi pada tahun 1824. Waktu itu jumlah kandidat empat orang: John Quincy Adams, Henry Clay, Andrew Jackson, dan William H. Crawford. Sebetulnya ada satu lagi, John Calhoun, tapi di saat-saat kampanye ia memilih menjadi calon untuk wakil presiden saja. Dalam perhitungan suara, Februari 1825, segera diketahui tak seorang calon pun memenuhi syarat 50% tambah satu. Maka, Kongres memutuskan akan memilih tiga calon yang mendapat suara terbanyak: Jackson (99 suara), Adams (84 suara), dan Crawford (41 suara). Clay, yang cuma mendapat 37 suara, tak ikut di-voting-kan. Waktu itu anggota Kongres semua ikut voting, kecuali wakil dari Negara Bagian Virginia, karena sakit. Ternyata voting ini tak sejalan dengan peringkat dalam pemilihan. Jackson hanya mendapat tujuh dukungan. Pemenangnya Adams, dengan 13 dukungan. (Empat tahun baru Jackson terpilih menjadi presiden, mengalahkan Adams). Pemilihan oleh Kongres terulang pada tahun 1876. Yang ini agak unik. Ada perhitungan jumlah suara yang agak ruwet di tiga negara bagian: South Carolina, Louisiana, dan Florida. Dua kandidat mengaku memenangkan suara di situ. Akhirnya diketahui latar belakang kericuhan itu: terjadi penyuapan, intimidasi, pemalsuan surat suara. Beberapa saksi menyatakan bahwa pihak Demokrat memaksa orang-orang hitam melakukan pemilihan lebih dari sekali. Akhirnya Kongres membentuk Komite Pemilihan terdiri dari 15 anggota, dan diberi kuasa mengadakan voting mewakili tiga negara bagian yang kisruh itu. Akhirnya, dengan perbandingan suara delapan banding tujuh, pihak Republik dinyatakan menang. Rutherford B. Hayes pun naik menjadi presiden, betapapun pihak Demokrat marah. Waktu itu memang ada yang sedikit "aneh". Kelima belas anggota Komisi Pemilihan sudah dibagi secara adil: tujuh wakil dari Republik, tujuh Demokrat. Satu lagi, seorang hakim yang dinilai independen. Tapi tokoh independen ini tiba-tiba diangkat menjabat sesuatu hingga harus menanggalkan keanggotaannya dalam komisi. Penggantinya, seorang Republik tetapi dinilai bisa berdiri di atas kedua pihak. Kenyataannya, dalam voting, ia memilih Republik. Kini, bila pemilihan lewat voting dalam Kongres terpaksa dilakukan, seperti sudah disebutkan, kesempatan menang lebih ada pada Clinton. Soalnya, Kongres dikuasai oleh Demokrat. Tapi, Bush tetap punya kesempatan mengalahkan Clinton, karena tak ada ketentuan wakil Republik mesti memilih calon presiden dari Republik. Lalu bagaimana Ross Perot, multimilyuner dari Texas, yang dianggap karena dialah pemilihan presiden Amerika tahun menjadi menarik dan meriah? Baik Perot maupun Bush pada hari-hari akhir kampanye selalu bilang "jangan mempercayai pol". Pol cuma memberi kesempatan responden yang dipilih untuk menjawab "ya" dan "tidak", mengabaikan faktor ragu-ragu. Meski lembaga pol di Amerika sudah piawai memilih responden, hingga derajat penyimpangan bisa dianggap kecil, ada faktor lain yang bisa jadi mengganggu hasil pol itu. Yakni, tulis John Brennan dari The Los Angeles Times, munculnya pemilih muda yang baru kali ini ikut pemilihan presiden. Dengan jumlah yang lebih besar daripada dalam pemilihan tahun 1988, faktor generasi muda punya dampak yang tak kecil dalam perhitungan akhir. Tapi sampai akhir pekan lalu tak ada suara-suara yang menebak Perot bakal menang. Sebaliknya, muncul berbagai analisa yang mendaftar tidak konsistennya pernyataan-pernyataan multijutawan Texas yang nyentrik ini. Misalnya, Juli lalu ia mengatakan mengundurkan diri dari pemilihan karena merasa tak mungkin akan menang, dan Partai Demokrat sudah ada pada jalur yang baik. Tapi, awal Oktober ia ikut lagi karena, katanya, alasannya Juli lalu ternyata salah. Adakah itu berarti Partai Demokrat akan tampil, setelah 16 tahun selalu kalah? Bila demikian, Bill Clinton akan meninggalkan jabatannya sebagai gubernur Arkansas, untuk menduduki kursi yang lebih tinggi di Gedung Putih. Maka, akan ada yang dijuluki sebagai "kabinet dapur". Sebutan itu muncul tahun lalu, ketika Clinton tengah makan pagi bersama Hillary Clinton, istrinya, disertai beberapa teman dekatnya, di dalam dapur rumahnya di Little Rock. Orang menduga, mereka yang ada dalam dapur itulah yang akan menjadi pejabat-pejabat baru Gedung Putih jika Clinton menang. Dan jika George Bush yang menang? Sejumlah astrolog Amerika meramalkan demikian. Dan pol yang khusus mengambil responden murid-murid sekolah juga memenangkan Bush. Maklum, Bush punya rencana melipatgandakan dana untuk program asuhan anak menjadi 127% lebih besar daripada angka tahun 1989. Perhitungan pol memang bukan plus-minus dalam matematika. Banyak faktor yang bisa disebut "tidak pasti" akan menentukan pemenang dalam "lomba" ini. Mestinya orang Amerika memilih presiden dengan asumsi bahwa dengan kebijaksanaannya Amerika menjadi lebih sejahtera, kata orang Demokrat yang yakin itu lebih bisa dilakukan oleh Clinton daripada Bush. Sebab, Bush sudah membuktikan, ia membuat angka pengangguran naik, meski ada tanda-tanda defisit anggaran pemerintah bakal turun tahun depan. Clinton, juga Perot, baru bisa berjanji, karena memang belum pernah menjadi presiden Amerika. Tapi, siapa pun pemenang itu, akan disorot kebijaksanaannya dalam ekonomi lebih dari lain-lain dalam dunia yang makin pro-reformasi ini. Dan kebijaksanaan dalam masalah penting internasional: soal Timur Tengah, Irak, Somalia, mungkin juga soal krisis di bekas Yugoslavia. Didi Prambadi TABEL -------------------------------------------------- . Pol Menjelang Hari Pemilihan ************************************************** Penyelenggara Pol Hari Clinton Bush Perot ----------------- --------- ------- ---- ----- Neewsweek 22/23 Okt 42 30 22 CNN/Time 24 Okt 38 31 17 NYT/CBS News 25 Okt 40 35 15 CNN/USA Today 26 Okt 42 31 19 ABC News 27-28 Okt 44 35 16 LA Times 28 Okt 43 32 19 CNN/USA Today 28 Okt 40 38 16 ABC News 28 Okt 42 35 20 CNN/USA Today/Gallup 29 Okt 41 38 16 CNN/USA Today 29 Okt 42 35 16 ABC News 29 Okt 43 38 11 CNN/USA Today/Gallup 30 Okt 41 40 14 CNN/USA Today 31 Okt 49 37 14 --------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini