Seorang anak mati karena dianiaya ibunya. Kepalanya dibenturkan ke tembok, dan kemaluannya diremas. Kelahirannya tak dikehendaki. LOLONGAN kesakitan dari mulut kecil itu terdengar amat menyayat. Namun, tak seorang pun berani menolong Rubi Mawarjito, nama bocah enam tahun itu. Tangisannya tak berhenti juga sampai malam tiba, malah makin menyayat hati. Rupanya, malam itu, Sabtu dua pekan lalu, Rubi harus meninggal di tangan ibunya sendiri. Itulah akhir penderitaan panjang Rubi. Tetangganya di asrama polisi Polres Pati sampai hafal tangisan derita hocah itu. Dari tiga anak pasangan Nyonya Suniyati dan Kopral Satu Masnin, si bungsu Rubi memang diperlakukan berbeda. "Hampir setiap hari kami mendengar tangisan Rubi karena dihajar ibunya," begitu cerita tetangganya. Mereka sering melihat bekas memar di tubuh Rubi yang kurus itu. Para tetangganya hanya bisa mengurut dada bila mendengar jeritan Rubi, termasuk pada Sabtu itu. Bahkan, surat pernyataan yang dibuat di depan istri Kapolres Pati sebulan lalu- agar tidak menyakiti Rubi lagi- ia langgar. Apalagi teguran tetangganya. "Kalau diingatkan, ia pasti marah, lantas orang itu dimusuhinya," cerita si tetangga. Pada hari nahas itu Rubi, konon, rewel setelah pulang sekolah. Murid taman kanak-kanak itu merengek karena masuk angin. Makanan yang disodorkan ibunya ia singkirkan. Ia juga tak mau menelan obat. Suniyati dengan jengkelnya melepas baju seragam sekolah Rubi, dan memaksa anak itu dikeriki. Namun, bocah itu meronta-ronta. Biarpun Rubi meronta-ronta, Suniyati terus saja mengeriki, sampai akhirnya wanita itu menjerit karena digigit anaknya. Kontan tangannya melayang ke punggung Rubi, berkali-kali. Melihat anaknya melolong-lolong, Suniyati mereda amarahnya. Ia lalu mengenakan baju ke tubuh Rubi dan menyuruh anak itu tidur. Rubi tetap tidak mau tidur. Tangisnya tidak juga mereda biarpun sudah dibujukbujuk dengan makanan. Sampai hari gelap, Rubi masih juga merintih, tak ada yang menolongnya. Kedua kakaknya hanya bengong melihat adiknya mengerang, sedangkan sang ayah piket di kantor. Selepas magrib, tangis Rubi makin menjadi-jadi. Bentakan-bentakan Suniyati malah membuat Rubi mengeraskan tangisannya, sambil memanggil-manggil ayahnya. Suniyati pun menjadi gelap mata. Dengan geram ia menyeret Rubi turun dari tempat tidur. Muka Rubi ditamparnya, kepala anak itu dibenturkannya ke tembok, dan dengan keras kemaluan anaknya itu diremas. Tubuh Rubi langsung lunglai. Ia pingsan dan terkapar di lantai. Melihat itu, Suniyati kaget dan menangis. Sambil berteriak minta tolong, ia mengangkat tubuh Rubi ke atas tempat tidur. Tetangganya segera berdatangan. Dalam kondisi kritis, bocah malang itu dilarikan ke rumah sakit. Tapi, sebelum sempat dirawat, Rubi sudah tak bernapas lagi. Dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya keluar darah, dua tulang rusuknya patah, dan kemaluannya bengkak. Suniyati mengakui bahwa ia sebetulnya hanya menginginkan dua anak. Ternyata, tanpa disengaja, ia hamil lagi. Lahirlah Rubi. Sementara itu, ekonomi keluarga tamtama ini morat-marit. Di ruang tamu keluarga yang menghuni satu petak rumah barak di asrama itu hanya terlihat satu setel kursi tamu yang sudah usang dan sebuah pesawat televisi hitam putih kecil. "Setiap melihat Rubi saya selalu merasa jengkel dan benci. Apalagi Rubi itu cengeng," ujar bekas penyanyi dangdut itu. Namun, Suniyati bersumpah tidak sengaja membunuh anaknya. Menurut Suniyati, ia hanya bermaksud mendiamkan Rubi agar tak menangis terus. "Sekejam apa pun, saya tidak mau membunuh anak saya. Saya betul-betul khiaf waktu itu, tak bisa mengendalikan emosi," pengakuan Suniyati, seperti ditirukan Kapolres Pati, Letnan Kolonel M. Arief Husain. Apa pun alasannya, yang terpukul hebat adalah ayah Rubi, Kopral Satu Masnin. "Semuanya sudah terjadi. Semuanya saya serahkan kepada Tuhan," ujarnya lirih. Heddy Lugito (Yogyakarta) dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini