Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gusti, Kula Nyuwun…

Romo Gregorius Budi Subanar SJ dan perupa Samuel Indratma mencetuskan gagasan musikalisasi sajak-sajak Jawa mendiang Romo Kuntara Wiryamartana SJ. Salah satunya sajak Panyuwunan. Dinyanyikan berbagai kalangan, dianggap sebagai doa di tengah pandemi.

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kuntara Wiryamartana. Dok. TEMPO/Usman Iskandar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gusti, kula nyuwun saras:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarasing sukma—resiking maras

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gusti, kula nyuwun tamba:

Tambaning jiwa—segering raga

SAJAK “Panyuwunan” karya mendiang Romo Kuntara Wiryamartana SJ mendadak dikenal banyak orang. Sajak tentang harapan senantiasa diberkahi kesehatan tersebut dijadikan komposisi lagu oleh musikus Dimawan Krisnowo Adji dari Yogyakarta yang kemudian mengunggahnya ke media sosial. Tak dinyana, unggahan itu mendapat respons dahsyat. Seminggu ini, di berbagai grup WhatsApp, lagu tersebut banyak dibagikan. Komposisi Dimawan sederhana, bernuansa Gregorian, menyentuh. Banyak yang kemudian mengaransemen dan menyanyikan sendiri lagu itu.

Musikalisasi sajak Romo Kuntara adalah bagian dari proyek Romo Gregorius Budi Subanar SJ alias Romo Banar dan perupa Samuel Indratma. Di era pandemi Covid-19 ini, bersama sejumlah pemusik dan dalang di Yogyakarta, mereka menggulirkan program Sraddha—Jalan Mulia Art Project. Romo Kuntara dikenal sebagai pakar Jawa kuno. Ia wafat pada 2013. Ia dikenal tekun melakukan studi mengenai kakawin atau puisi Jawa kuno. Disertasinya, “Arjunawiwaha”, adalah sebuah magnum opus bagi kajian filologi Nusantara.

Buku Sraddha - Jalan Mulia Dunia Sunyi Jawa Kuna karya I. Kuntara Wiryamartana

Dalam disertasi itu, Romo Kun—panggilan akrab Romo Kuntara—menekankan pentingnya skriptorum-skriptorum (pertapaan) di lereng Merapi-Merbabu pada masa Jawa kuno dan pertengahan. Karya religi yang ditulis oleh resi-resi di lereng itu, menurut Romo Kun, banyak diacu dalam teks-teks spiritual istana Jawa. Dalam disertasinya, Romo Kuntara membuktikan bahwa sumber rujukan “Serat Wiwaha Jarwa” yang ditulis Paku Buwono III pada 1778 adalah lontar yang ditulis para empu di Merapi-Merbabu. Bahkan Romo Kun berpendapat bahwa pujangga besar istana seperti Ronggowarsito juga banyak mengambil sumber acuan dari lontar yang ditulis para agamawan di gunung tersebut.

Betapapun Romo Kun dikenal sebagai pengkaji puisi Jawa kuno, tak banyak yang tahu bahwa diam-diam ia sesungguhnya juga menulis puisi. Bahkan para redaktur di majalah Basis tempat Romo Kun biasa mengirim artikel tak pernah tahu. “Romo Kuntara pernah mengatakan kepada redaktur Basis, B. Rahmanto, bahwa dia memiliki geguritan (sajak Jawa), tapi sampai akhir hayatnya tak pernah diperlihatkan,” kata Romo Banar. Karena itu, ketika suatu hari Romo Banar menemukan arsip geguritan milik Romo Kun terselip dalam koleksi Pustaka Artati di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, B. Rahmanto, menurut Romo Banar, kaget dan segera teringat pada perkataan Romo Kun. “Geguritan itu sudah terbundel. Judulnya “Panglocipta. Geguritan 1968-1979 Pro manuscript”. Ini wilayah dalam dari Romo Kun yang tak pernah diungkap ke publik,” tutur Romo Banar.

Romo Banar memutuskan memasukkan sajak-sajak Romo Kun itu ke buku kumpulan tulisan Romo Kun, Sraddha—Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuna, yang ia himpun pada 2014. Cover buku yang diterbitkan oleh Universitas Sanata Dharma itu bergambar sosok Romo Kun menuntun sepeda yang hanya memiliki roda depan. Cover itu dibikin oleh Samuel Indratma. “Saya mempelajari riwayat Romo Kun. Dia dikatakan seorang ‘mistikus’ yang kesepian. Dia sering membawa wayang Petruk yang kucirnya dijalin dari rambutnya sendiri. Cover itu melambangkan jalan sunyi Romo Kun,” ucap Samuel. Emmanuel Subangun, yang menulis epilog dalam buku itu, mengaku terkejut saat tahu bahwa Romo Kun ternyata sudah menjadi penyair Jawa sebelum masuk Jurusan Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Romo Greogorius Budi Subanar. wayangukur.org

Ada 48 sajak berbahasa Jawa karya Romo Kun yang dimuat dalam buku itu. Semuanya, dari “Solitude”, “Grimis”, sampai “Kidung Wengi”, berisi suasana hati ingin menyepi. Sajak “Panyuwunan” sendiri dibuat di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, pada 1968. “Tampaknya saat itu Romo Kun sakit. Kalau dilihat tahun pembuatannya, itu masa-masa setelah beliau lulus Novisiat Girisonta dan baru kuliah di UGM,” ujar Romo Banar. Pada 2016, Romo Banar dan Samuel memiliki gagasan memusikalkan sajak-sajak Romo Kun. Saat itu sedang berlangsung festival keroncong di Taman Budaya Yogyakarta. Dosen keroncong Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Imung, kemudian diminta mengaransemen dan menyanyikan salah satu sajak Romo Kun berjudul “Tresno Jati”. Penyanyi keroncong Endah Laras, yang berpartisipasi dalam acara itu, tertarik pada komposisi tersebut. Ia akhirnya membuat aransemen sendiri dan menyanyikannya dalam pembukaan ArtJog 2017 di Jogja National Museum.

Ide memusikalkan sajak Romo Kun oleh Romo Banar-Samuel itu diteruskan saat pandemi merebak. Dibuatlah proyek Sraddha—Jalan Mulia. Awalnya, musikus Giwang Topo tertarik membuat komposisi dan animasi sajak Romo Kun. Kemudian seorang lulusan Sekolah Menengah Pertama Eksperimental Mangunan (sekolah yang didirikan mendiang Romo Y.B. Mangunwijaya) bernama Denting menyanyikan dua sajak: “Oe Sapa” dan “Cantrik Janaloka”. “‘Oe Sapa’ ini dibuat Romo Kun di Kupang. Sajak itu bercerita tentang daun-daun enau yang banyak tumbuh di Kupang. Saya duga saat itu Romo Kun tengah meriset daun enau yang memang dalam penulisan sastra Jawa dan Bali kuno dijadikan lempir-lempir penulisan lontar,” kata Romo Banar. Sedangkan “Cantrik Janaloka” dibuat di kampus Bulaksumur UGM. “Puisi itu bertema penghancuran sastra oleh pembangunan,” Romo Banar menambahkan.  

Samuel Indratma. Youtube/Huhum Art Organizer

Samuel dan Romo Banar lalu mengumpulkan sejumlah seniman dan dalang Yogyakarta, antara lain Dimawan Krisnowo Adji dari Sa’unine String Orchestra, dalang Ki Catur Benyek Kuncoro, dan komunitas seni musik jalanan Wayang Polah. Ki Catur Benyek, misalnya, tertarik berkolaborasi dengan Dimawan dalam musikalisasi sajak berjudul “Branjangan”. Branjangan adalah nama burung. “Branjangan dulu katanya banyak di Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta), tapi sekarang sudah hampir punah. Sebagai dalang yang mempelajari karakter burung untuk keperluan pewayangan, Ki Benyek melihat sajak Romo Kun itu ‘aneh’. Branjangan dikenal tak suka air. Tapi, dalam sajak, dilukiskan seekor branjangan menyentuhkan pipinya pada air di bawah pohon gayam,” ucap Samuel. Dalam kolaborasi itu, Ki Catur Benyek melantunkan suluk dan tembang, sementara Dimawan mengiringinya dengan piano. “Ini seperti Pavarotti Jawa,” tutur Romo Banar.

Adapun Dimawan jatuh hati pada sajak “Panyuwunan”. Ia membuat komposisi di studionya di Yogyakarta. “Aslinya 7 menit. Hanya bagian refrain yang sesungguhnya kami unggah ke media sosial. Refrain itu berupa kor suara satu, dua, tiga yang semua dinyanyijn Dimawan sendiri,” ujar Romo Banar. Romo Banar menceritakan bagaimana Dimawan saat mengambil suara kor itu agak mbrebes mili alias matanya berkaca-kaca. Setelah diunggah, komposisi lagu itu “meledak”. Dalam satu hari, langsung datang sambutan dari mana-mana. Orang biasa seperti seorang peternak lele dari Desa Brayut, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, bernama Agustinus Prasetya Bawa Nugraha, musikus, sampai mahasiswa di Groningen, Belanda, merespons dengan mengirim video rekaman mereka sendiri menyanyikan “Panyuwunan” kepada Romo Banar dan Samuel. Bahkan, saat mengajak masyarakat lintas agama mengheningkan cipta serentak dalam aksi Hening Cipta Indonesia, Sabtu, 10 Juli lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menggunakan klip video “Panyuwunan” di akun media sosialnya. “Responnya luar biasa. Kami tidak menyangka,” kata Samuel.

Samuel Indratma. Youtube/Lebumi Yogyakarta

Bahkan anak-anak pun tertarik. Seorang murid SD Rumah Citta, Yogyakarta, bernama Garda Gandara, 7 tahun, mengirim rekamannya menyanyikan “Panyuwunan”. Suaranya sangat bagus. Dia bisa memainkan piano dan menciptakan komposisi sendiri. Di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menurut Romo Banar, sebuah komunitas paduan suara anak-anak tengah berlatih menyanyikan “Panyuwunan”. “Saya sama sekali tidak membayangkan ‘Panyuwunan’ dinyanyikan oleh anak-anak. Bahkan Dimawan sampai ingin membikin notasi khusus untuk anak sekarang karena sesungguhnya komposisi ‘Panyuwunan’ tinggi suaranya diperuntukkan bagi orang dewasa,” tutur Samuel.

Akan halnya komunitas Wayang Polah mengaransemen “Panyuwunan” dalam gaya hip-hop dan rap. Sementara itu, Komunitas Kebaya Indonesia Yogyakarta—sekelompok perempuan yang giat mempromosikan penggunaan kebaya—melakukan panembrama alias menembangkan bersama-sama “Panyuwunan”, memvideokan, dan menyebarkannya. “Cepat sekali mereka berkumpul, latihan kor dengan gending,” kata Romo Banar. Di hari-hari ini, agaknya lagu tersebut seolah-olah merepresentasikan harapan semua orang: selamat, sehat, pandemi segera berlalu. “Lagu itu mungkin menenteramkan ketegangan. Sejenis sastra lamentasi. Tapi bukan ratapan kepada kematian, melainkan doa kesembuhan. Harapan agar diberi daya hidup terus-menerus dalam situasi yang sulit ini. Lagu itu mungkin menjadi semacam music healing,” ujar Romo Banar.

Gusti, kula nyuwun seneng:

Senengin manah—tulaking sereng

Gusti, kula nyuwun sabar:

Sabaring budi—nalar jembar

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus